Aku tersenyum, berusaha menahan tawa.
"Maaf, Nek. Habisnya Rion..." Dia melotot ke arahku.
"Kenapa Rionnya? Dari tadi dia santai makan kok, sudah, lanjutkan makannya."
Setelah makan, nenek bilang ingin istirahat duluan, kami berdua mengangguk, kami bisa membereskan meja jua mencuci piringnya. Mira cekatan mengambil piring-piring kotor di atas meja, membawanya ke belakang untuk dicuci. Sementara aku bertugas merapikan, membersihkan apa pun di atas meja. Mengelap meja makan itu, ada gambar bunga-bunga berhamburan di atasnya, aku tersenyum sepertinya nenek memang penyuka bunga sejati. Lihatlah setiap jengkal rumahnya dipenuhi oleh bunga, mulai dari bunga yang memang benar-benar bunga, maupun hanya sebatas gambar saja seperti di meja makan ini. Tapi... apa yang dikatakan Mira tadi. Apakah itu sungguhan atau hanya kata-kata isengnya saja karena terbawa emosi? Tapi Mira tidak pernah bicara ngawur, separah apapun emosinya. Gerakan tanganku mengelap meja perlahan berhenti, mataku menatap kosong, pikiranku dipenuhi banyak pertanyaan. Luka? Kalau itu luka bagi nenek, kenapa nenek merawatnya? Bukankah jika seseorang terluka oleh sesuatu, dia akan langsung membuang sesuatu itu, berusaha melupakannya? Kenapa harus dirawat?
"Hei! Ngelamun saja, bersihin yang benar mejanya." Mira menepuk bahuku, membuatku terbangun dari lamunan.
"Iya, iya. Ini juga lagi dibersihin."
Mira duduk di salah satu kursi, tangannya terjulur mengambil sembarang buah. Aku yang sudah selesai mengelap meja ikut duduk di kursi.Â
"Mir"
"Iya" dia menjawab dengan mulut sambil mengunyah buah apel.
"Ngomong-ngomong..."
"Jangan bicara soal orang itu lagi ya, jika kamu bicara tentang dia lagi, kamu ku coret dari daftar nama teman masa kecilku." Mira mengancam.