Dua bulan berlalu, setelah nenek merestui hubungan kami, juga orang tua Mira merestuinya, pernikahan kami digelar. Ada banyak tamu undangan di pernikahan kami, temanku, teman Mira, juga undangan rekan kerja orang tuanya Mira. Pernikahan kami berlangsung meriah. Sepertinya kisah cintaku tidak serumit kisah cinta segitiga nenek, Oma, dan kakek. Syukurlah.
***
Di meja pojok tempat pesta pernikahan Rion dan Mira.Â
Seseorang duduk di sana, tersenyum getir menyaksikan semuanya. Menatap bisu semua kemeriahan, menghela napas berkali-kali, juga berkali-kali menyimpul senyum palsu di wajah. Menampilkan ekspresi seolah semua baik-baik saja, padahal di dalam, di dalam hatinya sana, dia sedang hancur. Bagaimana tidak, jika seseorang yang dicintainya menikahi orang lain. Matanya berkaca-kaca melihat itu semua, dan berkali-kali juga dia mengusap matanya. Berusaha keras menahan air matanya tumpah.Â
"Di sini rupanya kau, nak?" Nenek, ya neneknya Rion bicara dengan seseorang itu.
Seseorang itu menoleh, tersenyum. Tidak ada air mata lagi di wajahnya, dia telah mengusapnya tadi, hanya senyum bahagia yang tergambar di wajahnya. "Duduklah, nek. Nenek mau sesuatu biar aku ambilkan."
Nenek menggeleng, "Tidak, nenek hanya ingin bicara denganmu."
Seseorang itu mengangguk.
"Entahlah, apa yang harus nenek katakan padamu. Kau jelas memiliki pemahaman yang hebat tentang hidup ini. Bram pasti mengajarimu banyak hal."
Seseorang itu mengangguk lagi.
"Tapi aku sedih, Nak. Kau yang harus menerima kesedihan untuk kebahagiaan cucuku. Kau mengorbankan perasaanmu sendiri."