Dalam gairah untuk melegitimasi bahasa dan memperkuat budaya Using itulah, kita bisa menemukan formasi diskursif dan praksis melalui aktivitas-aktivitas linguistik dan kultural yang saling diintegrasikan. Apa yang tidak boleh dilupakan adalah adanya keterhubungan erat antara proyek legitimasi bahasa dan identitas Using dengan konteks budaya secara nasional yang berada dalam medan ideologis kepentingan rezim penguasa.
Sebelum berkembangnya gagasan bahasa Using sebagai bahasa daerah yang diajarkan di sekolah yang sejalan dengan pengembangan budaya Using, di Banyuwangi gairah budaya relatif semarak. Tidak hanya bahasa dan budaya “cara Using”, tetapi juga Jawa, Melayu, Madura, Bali, dan yang lain.
Meskipun berada dalam pengaruh ideologis parpol tertentu, semua pelaku memberikan kontribusi kepada pengembangan budaya Banyuwangian yang tidak hanya menonjolkan satu identitas budaya. Artinya, sebuah entitas budaya yang berkembang dalam masyarakat Banyuwangi multikultural mendapatkan kesempatan berkembang dalam arahan lembaga-lembaga kebudayaan.
Semua lembaga kebudayaan yang ada berkesempatan sama untuk berekspresi dan berkembang, meskipun terkadang juga dibumbuhi pertentangan ideologis, tapi tidak pernah berujung pada konflik fisik (Sariono, Subaharianto, Saputra & Setiawan, 2010). Pada waktu itu, ada lembaga yang bergerak mengembangkan seni dan budaya Blambangan, Jawa, Madura, Melayu, dan yang lain.
Secara nasional, semua lembaga kebudayaan beorientasi ideologi tertentu juga saling berkompetisi dan berkontestasi dalam hal pemikiran dan karya, sehingga wajah Indonesia sangat dinamis sebelum terjadinya tragedi berdarah 1965 (Lindsay, 2012). Dengan demikian, di level nasional dan lokal terdapat penghargaan terhadap proses berkebudayaan berbasis ideologi sehingga warna multikultural benar-benar terasa.
Misi berkebudayaan bukanlah misi sekedar perayaan, tetapi memberikan makna terhadap bangunan keindonesiaan yang beradab. Di masa kepemimpinan Soekarno, budaya Banyuwangi mengedepankan pluralitas yang merupakan kontinyuitas dari zaman kerajaan hingga kolonial.
Semua karakteristik tersebut “mati” karena tragedi berdarah 1965. Entah berapa anggota, simpatisan, atau orang yang dituduh PKI serta anggota lembaga yang dianggap underbow PKI, seperti Lekra dibunuh dan dipenjara. Peristiwa tersebut memunculkan trauma berkepanjangan di kalangan seniman rakyat.
Sepinya gairah berkebudayaan pasca tragedi berdarah 1965 rupa-rupanya juga dirasakan oleh pemerintah, dari tingkat pusat hingga kabupaten. Tahun 1970-an hingga 1980-an, pemerintah pusat mulai mendesain kebijakan untuk memasukkan bahasa, kesenian dan budaya tradisional sebagai bagian penting yang membentuk budaya nasional sekaligus mendukung pembangunan nasional.
Konstruksi budaya nasional sebagaimana diinginkan rezim penguasa Orde Baru berasal dari “puncak-puncak kebudayaan daerah” yang bisa dijadikan kekuatan strategis dalam pembangunan sekaligus alat untuk menangkal pengaruh negatif modernisme dan modernistas yang mulai dirasakan oleh masyarakat luas.
Sebagaimana dijelaskan dalam dalam REPELITA II (Rencana Pembangunan Lima Tahun II) 1974/1975-1978/1979 dalam idealisasi rezim Suharto, budaya asing lainnya harus diposisikan secara proporsional. Ia boleh saja ditiru dan diserap secara selektif sebagai pengetahuan yang berkontribusi dalam pembangunan nasional.
Namun, proses pengawasan dan seleksi terhadap nilai dan pengetahun yang masuk dilakukan secara ketat karena ditakutkan ada yang bertentangan dengan ajaan Pancasila yang memang tengah digalakkan oleh rezim. Sebaliknya, budaya daerah atau tradisional divalorisasi dalam konstruksi “nilai-nilai adiluhung” yang memperkuat identitas masyarakat daerah dan bangsa serta diposisikan sebagai saringan ketat terhadap gaya hidup Barat dan budaya pop.