BAHASA USING DI MASA PASCAREFORMASI
Kalau Pemkab di masa Orde Baru hanya memasukkan kurikulum bahasa Using untuk sekolah dasar di komunitas Using, rezim pasca Reformasi 1998 mewajibkan pembelajaran bahasa Using untuk seluruh siswa SD dan SMP seluruh Banyuwangi, tanpa memandang identitas sukunya.
Perjuangan untuk melegitimasi bahasa Using dalam institusi akademis akhirnya bisa diwujudkan pada masa pasca Reformasi. Adalah Bupati Samsul Hadi yang pada tahun 2003 mengesahkan bahasa Using sebagai bagian kurikulum bermuatan lokal untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di seluruh Banyuwangi, tanpa memandang latar bekalang etnis mereka. Kebijakan ini disambut antusias oleh para budayawan, tokoh adat, maupun intelektual berlatar Using.
Hasan Sentot (2008) menjelaskan di blog-nya sebagai berikut.
Alhamdulillah, setelah puluhan tahun perjuangan, akhirnya Bahasa Using diajarkan di tingkat SD dan SMP. Ini tidak lepas dari uapaya keras dari Budayawan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dan Budayawan Hasan Ali yang menyusun Kamus Using. Berangsung-angsur wong Using juga mulai menunjukkan eksistensi dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan sempat menempatkan Samsul Hadi yang orang Using sebagai Bupati, meski akhirnya terjerat sejumlah kasus korupsi.
Sebelumnya, Bupati Banyuwangi selalu dijabat orang dari luar dan tentara tentunya...Saat Orde Baru, ternyata meneruskan Mataram. Bisa percaya bisa tidak, dua pejabat Bupati banyuwangi berasal dari Mojokerto (dulu Majapahit), yaitu Djoko Supaat dan T. Purnomo Sidik. Saat Mataram menguasai Blambangan, juga menggunakan background Majapahit dalam cerita Damarwulan untuk mendiskreditkan Raja Blambangan.
Ucapan “Alhamdulillah, setelah puluhan tahun perjuangan” menegaskan ungkapan syukur dari Hasan sebagai salah seorang intelektual berlatar Using karena perjuangan panjang yang dilakukan sejak awal Orde Baru akhirnya membuahkan hasil manis pada masa Reformasi.
Bahasa Using yang dulu dimarjinalkan oleh kekuatan Mataraman dari para penguasa sebelumnya, bisa dijadikan muatan kurikulum di SD dan SMP. Nuansa politis yang dikonstruksi dalam pendapat Hasan semakin kentara ketika persoalan bahasa tersebut dikaitkan dengan keberhasilan banyak warga Using dalam “berbagai aspek kehidupan”.
Dan, rujukan utama bagi keberhasilan tersebut adalah terpilihnya Samsul Hadi sebagai bupati Banyuwangi. Artinya, politik identitas melalui bahasa Using berjalin-kelindan dengan posisi politis yang sekian puluh tahun tidak pernah disandang oleh warga Using. Tentu saja, penyejajaran tersebut merupakan sesuatu yang wajar.
Mengapa? Karena warga Using yang selama ini mengklaim sebagai penerus langsung trah Blambangan selalu berada dalam posisi subordinat di tanah mereka sendiri akibat fakta politis yang tidak pernah memenangkan mereka. Namun, upaya untuk terlalu membanggakan Bupati Samsul sebagai orang Using, pada akhirnya, menegasikan usaha yang dilakukan Purnomo Sidiq yang menginisiasi penerapan bahasa Using sebagai muatan lokal pada era sebelum Reformasi.
Berkaitan dengan pembahasan di atas, bisa kami katakan bahwa kemenangan akan bahasa merupakan kemenangan politik dari kelompok subordinat yang secara kultural-historis semestinya menempati posisi ordinat atau dominan. Digemarinya lagu-lagu Banyuwangian yang berbahasa Using sejak zaman kemerdekaan sampai masa Reformasi dianggap belum cukup karena posisi di ranah akademis dan politis belum diraih.
Dengan diputuskannya bahasa Using sebagai muatan lokal, maka pembalikan posisi politiko-linguistik yang pada awalnya dikuasai oleh pendatang dengan sokongan rezim kurikulum di tingkat pusat bisa berlangsung. Kalau sebelum keputusan yang diambil Bupati Samsul anak-anak Using harus mau belajar bahasa Jawa Mataraman, dengan keputusan tersebut mereka hanya butuh belajar bahasa ibu sendiri. Dengan demikian, mereka tidak harus terbebani harus belajar bahasa Mataraman serta secara politis bisa diperkenalkan mulai dini dengan bermacam aspek kultural yang direpresentasikan melalui praktik berbahasa.
Melalui pengajaran bahasa Using kepada para siswa Jawa dan Madura, misalnya, posisi dominan secara simbolik bisa diwujudkan, karena bahasa mereka yang pada masa lampau dianggap menindas bisa diarahkan sesuai keinginan para budayawan dan birokrat yang berkiblat atau menjadikan bahasa dan budaya Using sebagai rezim kebenaran yang harus dituruti.