Maka, untuk memperkuat posisi politis tersebut, meskipun banyak mendapat kritik dari akademisi maupun masyarakat non-Using, kebijakan pemberlakukan bahasa Using sebagai muatan lokal tetap dilaksanakan di masa Bupati Samsul Hadi. Legitimasi formal dari penguasa, dengan demikian, menjadi faktor penting yang menopang kebanggaan bagi para aktor di balik pengusahaan bahasa Using dalam kurikulum muatan lokal sekolah.
Lebih jauh lagi, pilihan menjadikan bahasa Using sebagai muatan kurikulum lokal di Banyuwangi serta menginvestasi makna beraroma pembalikan politis dari kekuatan dominan—Mataraman—merupakan pilihan cerdas dari para budayawan dan aparatus negara. Hal itu tidak hanya mengkonsolodikasikan kekuatan politiko-linguistik bagi generasi penerus komunitas, tetapi juga menegaskan kepada masyarakat non-Using tentang peralihan posisi politis di bumi Blambangan.
Meskipun rezim penguasa berganti kepada bupati yang bukan berasal dari etnis Using, penetapan bahasa Using sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal tetap dipertahankan. Ketika Ratna Ayu Lestari (selanjutnya disingkat RAL) terpilih sebagai Bupati Banyuwangi periode 2004-2009, dia membuat keputusan yang memperkuat keputusan yang dibuat Bupati Samsul. Bupati RAL mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pembejalaran Bahasa Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar.
Meskipun selama kepemimpinannya banyak ditentang oleh budayawan, tokoh adat, dan seniman karena dianggap kurang atau tidak berpihak kepada penguatan masyarakat dan budaya Using, ternyata RAL masih memberikan perhatian kepada bahasa Using dengan Perda tersebut. Namun, RAL tetap dianggap tidak melakukan usaha konkrit dalam pembejalaran bahasa Using karena, dia memangkas anggaran penerbitan buku sebesar Rp. 150.000.000 yang biasanya dianggarkan oleh rezim sebelumnya.
Berikut ini saya kutipkan beberapa pasal penting dari Perda yang dijadikan dasar berpikir dan bergerak para aktor kultural untuk menegaskan legitimasi penerapan bahasan Using sebagai muatan lokal.
Pasal 3
Pembelajaran bahasa Using sebagai kurikulum muatan lokal wajib dilaksanakan pada seluruh jenjang pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta, di Kabupaten Banyuwangi.
Pasal 4
Sekolah pada jenjang pendidikan dasar wajib mengajarkan bahasa daerah lainnya yang masih dipelihara dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat sekitarnya sesuai latar belakang bahasa ibu peserta didik atau pilihan wali peserta didik.
Dengan dua pasal di atas, implikasi lanjutnya adalah bahwa bahasa Using wajib diajarkan sebagai muatan lokal di seluruh SD dan SMP, baik negeri maupun swasta, di seluruh Kabupaten Banyuwangi. Termasuk di sekolah-sekolah yang berbasis etnis Jawa dan Madura.
Para siswa harus belajar bahasa Using, selain bahasa Jawa dan Madura. Terdapat 5 materi yang diajarkan dalam pembelajaran, yakni “cara membaca”, “mendengarkan”, “menulis”, “sastra Using”, dan “berbicara”. Meskipun terdapat banyak kendala dalam penerapannya, kebijakan ini tetap dijalankan. Bagi generasi tua, kewajiban tersebut bisa jadi hanya dianggap sebagai kewajiban di sekolah buat anak-anak mereka.
Namun, bagi para siswa, kewajiban tersebut merupakan bentuk institusionalisasi sejak usia pendidikan dasar kepada mereka terkait keunggulan bahasa dan budaya Using. Artinya, usaha simbolik untuk membalik logika politik bahasa bisa berimplikasi terhadap penguatan eksistensi budaya Using sebagai identitas yang membanggakan bagi seluruh masyarakat Banyuwangi.
Menariknya, idealisasi yang diyakini oleh para aktor kultural di Banyuwangi terkait pembelajaran bahasa Using harus berhadapan dengan kebijakan kurikulum yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Antariksawan Jusuf (2014) mencatat bahwa aturan Kurikulum 2013 yang mengharuskan seorang guru tingkat SMP mengajar mata pelajaran sesuai dengan keahliannya menjadikan tak seorang guru pun yang mengajarkan bahasa Using karena tidak ada di antara mereka yang bergelar Sarjana Bahasa Using.
Celakanya lagi, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, per April mengeluarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 19 Tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal wajib di Sekolah/Madrasah, di mana bahasa daerah di Jawa Timur hanya terdiri dari Bahasa Jawa dan Bahasa Madura. Dan, sama sekali tidak menyebut bahasa Using. Artinya, dua peraturan yang berasal dari pusat dan provinsi sama sekali tidak melegitimasi pembelajaran bahasa Using di Banyuwangi.
Pergub ini diposisikan sebagai ancaman terhadap eksistensi bahasa Using sebagai identitas masyarakat Banyuwangi, atau lebih tepatnya komunitas Using. Antariksawan (2014) menyebutnya sebagai “lonceng kematian bahasa Using”. Lebih jauh ia menjelaskan:
...Peraturan Gubernur yang sewenang-wenang ini makin mempercepat proses kematian Bahasa Using...Tanpa aturan yang membela keberadaannya, masa depan Bahasa Using sudah suram. Secara teori, peraturan itu mengancam keberlangsungan bahasa Using, sesuatu yang sangat bertentangan dengan rumusan para founding fathers negara ini.
Yaitu kebudayaan Indonesia adalah sumbangsih puncak-puncak kebudayaan lokal. Suatu hukum besi yang memberi ruang kebudayaan daerah untuk maju pesat. Artinya, kegelapan yang sama mengintai pada eksistensi masyarakat etnik Using Banyuwangi yang berjumlah hampir satu juta orang.
Sebuah jumlah yang sangat signifikan untuk mempertahankan identitasnya. Tanpa Bahasa Using sebagai pelajaran, kematian Bahasa Using semakin cepat. Dan kematian bahasa ini ke depan akan memusnahkan kesenian Gandrung, misalnya. Karena lirik-lirik lagu dalam kesenian Gandrung atau upacara-upacara tradisional lainnya misalnya ritual trance Seblang, Kebo-keboan dan ritual lainnya, menggunakan bahasa Using. Pada akhirnya, keberadaan masyarakat Using yang menjadi sasaran.