Kesepakatan antara rezim negara dan aktor kultural memunculkan ‘percumbuan manis’ antara kepentingan untuk melestarikan budaya yang dianggap asli/khas dengan kekuasaan untuk mengendalikan gerak kultural masyarakat. Sementara, untuk mencegah komersialisasi terhadap usaha pelestarian kesenian Using, Ketua RKPD mengeluarkan Surat Edaran No 51/RKPD/V 1972 yang berisi larangan pengedaran dan penjualan lagu-lagu daerah Banyuwangi bagi para pengusaha rekaman swasta (Waluyo & Basri, 2007).
Pelarangan ini, menurut kami, merupakan bentuk kekhawatiran rezim negara terhadap perkembangan liar dari industrialisasi kesenian yang bisa mengarah ke praktik swastanisasi secara massif, sehingga mereka akan kesulitan untuk mengendalikan proyek pelestarian karena naluri bisnis swasta selalu berorientasi pasar tanpa memikirkan kepentingan budaya.
Tentu saja, keliaran diskursif industrialisasi musik Banyuwangian dikhawatirkan akan mengusung lirik-lirik atau mempopulerkan genre musik yang bertentangan dengan arah kebijakan rezim, atau bisa mengganggu kemapanan kekuasaan. Meskipun dalam catatan Arps (2009: 3) dikatakan bahwa sampai dengan tahun 1983 ketika dia memulai riset lapangannya di beberapa desa Banyuwangi masih banyak ditemukan masyarakat yang mengidentifikasi kesukuan dan kebahasaan mereka dengan “Jawa” dan bukan “Using”.
Program musikal, bahasa, dan sastra yang dilakukan oleh RKPD dengan pelibatan para seniman yang disokong rezim negara bisa dikatakan sebagai bentuk penyemaian awal bahasa dan budaya Using sebagai identitas khas masyarakat Banyuwangi yang multi-etnis dan multi-bahasa.
Lebih dari itu, program-program tersebut juga memberikan peluang lebih besar bagi konsolidasi dan penguatan identitas Using oleh para aktor kultural yang ditopang oleh negara. Kalaupun masih banyak warga pribumi Blambangan yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Jawa, hal itu bisa jadi dipengaruhi oleh perjalanan historis yang mendudukkan Using sebagai sebutan yang mengejek.
Dalam perkembangan dari 1980-an sampai dengan 1990-an, penyemaian dan pengembangan identitas Using masih terus berlangsung dalam arahan dan kebajikan rezim negara Orde Baru, meskipun memunculkan juga riak-riak kecil yang dilakukan oleh individu-individu dan pihak swasta. Ragam wacana digunakan untuk mensosialisasikan dan menyebarluaskan identitas Banyuwangi ini ke tengah-tengah masyarakat.
Arps (2007) menyebutnya discursive ambience, di mana banyak ragam wacana di tempatkan di banyak lingkungan masyarakat Banyuwangi serta melibatkan banyak institusi, individu, kelompok, sehingga akan mempengaruhi pola pikir, imajinasi, dan pemahaman masyarakat terhadap wacana ke-Using-an.
Menariknya, perluasan dan pelipatgandaan medium ke-Using-an ini diramu secara manis dengan banyak kisah-kisah heroik seputar Kerajaan Blambangan, penetapan hari jadi, tradisi kuliner, etnisisasi ikon di tempat publik, pakaian, populeritas kesenian berbasis Using, dan lain-lain; sebuah glorifikasi dan valorisasi masa lampau untuk kepentingan masa kini.
Identifikasi identitas Using yang merujuk pada kisah-kisah heroik disebarluaskan oleh para budayawan—dulunya para seniman yang dilibatkan dalam proyek budaya rezim negara—dan sejarahwan yang, sekali lagi, mendapatkan legitimasi dari rezim pemerintah kabupaten.
Bahkan, penetapan hari jadi pada tanggal 18 Desember 1771 setelah melalui perdebatan dalam banyak seminar yang juga melibatkan akademisi dari Bali, Jember, dan Yogyakarta juga merujuk pada perlawanan Wong Agung Wilis terhadap penjajah Belanda, di mana pasukan pimpinannya berhasil untuk sementara waktu mengalahkan penguasa asing tersebut.
Meskipun pada masa itu kabupaten ini masih bernama Kerajaan Blambangan, rujukan pada tanggal, bulan, dan tahun tersebut jelas ditujukan untuk memunculkan kebanggaan regional berbasis kisah kepahlawanan. Identifikasi heroisme sebagai basis untuk menentukan hari lahir selain berkaitan dengan kebanggaan juga berkaitan dengan mendapatkan legitimasi politiko-historis yang bisa memperkuat solidaritas sebagai sama-sama warga pewaris kejayaan Blambangan.