Wacana yang dikonstruksi oleh Antariksawan sebagai intelektual Using lebih menekankan kepada apek legal-formal dalam pengembangan dan pemapanan bahasa Using sebagai bentuk identitas komunitas Using di Banyuwangi. Pergub yang dikatakan “sewenang-wenang” tersebut tidak memberikan perlindungan hukum bagi usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten maupun budayawan yang sudah sekian tahun memperjuangkan legitimasi bahasa Using di SD maupun SMP.
Asumsi konseptual yang dibangun adalah terdapat relasi langsung antara keberadaan peraturan yang melindungi kurikulum lokal bahasa Using dengan pembiasaan anak-anak Using dan juga anak-anak Banyuwangi dalam menggunakan bahasa ini. Karena dengan belajar di sekolah, mereka akan bisa mengetahui dan memahami lebih jauh signifikansi bahasa Using.
Sebenarnya, logika ini cenderung formalistik dalam memahami eksistensi bahasa ibu di tengah-tengah masyarakat. Namun, cara pandang ini memang masih dibutuhkan di tengah-tengah semakin terbukanya hubungan antara satu etnis dengan etnis lain di Banyuwangi, meskipun harus terus dievaluasi. Ketika anak-anak tidak ‘dipaksa’ untuk mempelajari bahasa ibu, sangat mungkin mereka akan lebih suka memilih bahasa Indonesia atau bahasa Jawa yang sudah semakin biasa di Banyuwangi.
Lebih jauh lagi, untuk memperkuat argumennya, Antariksawan menghubungkan ketiadaan payung hukum pengajaran bahasa Using dengan ancaman terhadap semakin tergerus atau terpinggirkannya budaya Using, dalam hal ini kesenian dan ritual. Gandrung, seblang, kebo-keboan, sebagai ritual yang menggunakan bahasa Using dimunculkan untuk meyakinkan pembaca tentang pentingnya payung hukum bagi pengajaran bahasa ini.
Tentu saja, yang dimaksudkan Antariksawan adalah bahwa ketika bahasa maupun mantra yang digunakan dalam ekspresi kultural tersebut tidak bisa lagi dipahami oleh generasi penerus, maka dikhawatirkan mereka tidak akan menggemari dan memahami gandrung, kebo-keboan, seblang, dan ekspresi kultural lain yang tembang dan mantranya menggunakan bahasa Using.
Argumen yang diajukan Antariksawan merupakan wacana yang sudah sangat lazim dalam perspektif kepunahan bahasa dan revitalisasinya. Marianne Mithum, linguis yang menggeluti bahasa kaum pribumi Amerika Utara, menjelaskan bahwa bahasa merupakan aspek kreatif dari kebudayaan dan sisi paling intim dari pikiran. Kepunahan bahasa akan menjadikan generasi berikutnya kesulitan untuk menemukan dan mengapresiasi aspek paling kreatif dari pikiran manusia (dikutip dalam Ahearn, 2011: 247-248).
Bahasa merupakan cara manusia membayangkan, menciptakan, dan mengomunikasikan kekayaan dalam kehidupannya melalui beragam karya seni, sastra, dan ritual. Menjadi wajar kalau penguasaan terhadap bahasa bisa menjadi kunci utama untuk bisa menikmati dan memahami hal-hal kreatif terkait kebudayaan dan identitas sebuah komunitas.
Lebih jauh, K. David Harrison (dikutip dalam Ahearn, 2011: 248) mengingatkan bahwa kepunahan sebuah bahasa bisa berimplikasi kepada beberapa tragedi. Pertama, erosi pengetahuan manusia, khususnya pengetahuan ekologis lokal yang sangat berguna untuk mencegah dampak buruk yang lebih luas dari krisis lingkungan dewasa ini. Kedua, hilangnya warisan budaya. Ketiga, kegagalan untuk memahami secara menyeluruh kapasitas kognisi manusia.
Masalahnya, terlalu kaku dalam memahami proses kepunahan atau kematihan sebuah bahasa lokal beserta dampak-dampak negatifnya bagi kebudayaan, terkadang bisa melupakan kompleksitas faktor dan permasalahan yang dihadapi oleh para penutur bahasa tersebut.
Sudut pandang esensial dan eksotis terhadap sebuah bahasa lokal bisa menegasikan peran para penutur sebagai agen yang terus berusaha menuturkannya di tengah-tengah kompleksitas masalah yang mereka hadapi. Mereka bukan sekedar “ikon” atau “penjaga” yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Apa yang patut diwaspadahi, menurut Ahearn (2011: 251) adalah jangan sampai kepentingan untuk kampanye penyelamatan bahasa ibu tersebut hanya menjadi kebutuhan para peneliti, dinas pemerintah, dan LSM, sedangkan para penutur di komunitas-komunitas bahasa lokal tidak berkepentingan.