Penentuan bahasa lokal tertentu sebagai bahasa resmi atau bahasa yang diajarkan di sekolah bukan sekedar memenuhi kepentingan pelestariannya di tengah-tengah pengaruh banyak bahasa dan budaya. Ditetapkannya bahasa Using sebagai bahasa daerah yang harus diajarkan di Banyuwangi, merupakan “usaha ideologis” untuk memvalorisasi dan memobilisasi identitas partikular yang melekat pada subjektivitas komunitas Using.
Bahasa, bagaimanapun juga, telah menjadi alat indeksikal yang merujuk pada komunitas atau masyarakat dengan budaya spesifik yang berbeda dengan komunitas lainnya. Bahasa menjadi pengikat solidaritas yang cukup efisien di antara warga yang berasal dari satu keturunan nenek moyang.
Pada kondisi ketika mereka terdesak oleh kekuatan kultural lain yang lebih dominan, kekhawatiran linguistik menjadi menguat di antara para pelaku budaya di Banyuwangi. Kondisi inilah yang menjadikan mereka mendekati pimpinan daerah untuk mengesahkan bahasa Using diajarkan di sekolah.
Kekuatan birokrasi untuk melegitimasi dan mengembangkan bahasa Using di tengah-tengah komunitasnya mendorong semakin populernya bahasa ini di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi multikultural. Dampak langsungnya adalah semakin terkenal dan menguatnya identitas budaya dan suku Using, baik di Banyuwangi maupun di luar Banyuwangi.
Penguatan linguistik ini sekaligus menjadi misi ideologis yang dijalankan oleh para pelaku budaya yang berjuang untuk mematangkan identitas Using sebagai yang semestinya dominan di tanahnya sendiri. Meskipun Jawa dan Madura secara kuantitas lebih besar, secara kultural Using lah yang bisa menjadi kekuatan dominan karena faktor historis dan karakteristiknya yang tidak ada di wilayah lain.
Namun demikian, kita melihat adanya keuntungan politik yang didapatkan rezim negara Orde Baru dengan melegitimasi bahasa Using. Pemerintah kabupaten sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat bisa memformulasi kebijakan budaya yang menjadikn Using sebagai ekspresi yang dirayakan untuk kepentingan pencarian unsur-unsur budaya bangsa.
Lebih jauh, pengaruh kebijakan ini adalah pemerintah memberikan ruang dan ekspresi budaya kepada para seniman dan masyarakat sehingga mereka terikat dengan kebersamaan. Solidaritas yang semakin menguat bukanlah solidaritas untuk melawan penindasan atau ketidakadilan dari kekuatan luar ataupun rezim negara. Solidaritas berbasis bahasa dan budaya tersebut hanya menjadi ikatan kebersamaan tanpa nilai ideologis sebenarnya.
Artinya, negara berhasil mengebiri kekuatan-kekuatan ideologis dari bahasa dan budaya. Yang tidak bisa diabaikan adalah ketika selebrasi linguistik ikut memperkuat budaya dan etnisitas, pada saat bersamaan, rezim negara mendapatkan keuntungan strategis karena mereka memperoleh konsesus dari pewaris tanah Blambangan.
Selain itu, rezim negara juga berhasil menetralisir residu ideologis komunisme yang sempat mempengaruhi gerak budaya Banyuwangi. Dengan demikian, perkembangan bahasa dan budaya Using pada era Orde Baru membawa lapisan kepentingan yang beririsan satu sama lain, meskipun memiliki partikularitas yang disesuaikan dengan kepentingan sektoral mereka.
Pada masa pasca Reformasi 1998, euforia lokalitas semakin meluas. Konsep putra asli daerah memungkinkan rezim pemkab Banyuwangi bersama para pelaku kultural yang masih ingin terus mengembangkan bahasa dan budaya Using melakukan terobosan-terobosan kebijakan.
Identitas Using dimainkan secara massif sehingga para pelaku budaya memberikan respons positif. Perluasan pembelajaran bahasa Using di masa Samsul Hadi menjadikan bupati ini mendapatkan konsensus dari masyarakat dan pelaku budaya. Di sinilah, Samsul mendapatkan keuntungan politik dengan memobilisasi identitas berbasis kebahasaan dan budaya.