Apa yang perlu dicatat adalah bahwa Hasan Ali bukanlah pakar bahasa, bukan pula sarjana yang terdidik dalam disiplin linguistik di perguruan tinggi. Pertemuan intens-nya dengan Suparman secara langsung memberikannya kesempatan untuk belajar beberapa konsep linguistik yang dibutuhkan untuk menginvetarisir bahasa ibu di sebuah daerah.
Ketelatenannya untuk mengumpulkan data demi data kebahasaan, khususnya kosa kota Using dari praktik tuturan masyarakat, merupakan modal utama yang tidak dimiliki oleh penggiat bahasa dan budaya lain di Banyuwangi pada masa itu. Apa yang tidak pernah diekspos adalah pihak-pihak lain yang ikut membantu proyek bahasa yang diperjuangkan Hasan Ali.
Perjumpaan saya dengan Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi, Dwi Yanto, pada pertengahan tahun 2018, sedikit banyak membuka informasi terkait pihak-pihak yang ikut membantu Hasan Ali dalam penyusunan kamus tersebut. Dwi Yanto adalah salah satu pihak yang ikut memberikan “urun-rembug” kepada Hasan Ali.
Dia dimintai bantuan untuk permasalahan tulisan dan bunyi. Misalnya, terkait penulisan sakit dalam bahasa Using, apakah "loro" atau "lara". Sebagai guru muda yang pernah belajar di IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya/UNESA), persoalan tersebut tentu bukan hal yang sulit.
Untuk membantu Hasan, Dwi Yanto menggunakan pedoman penulisan dari bahasa Jawa. Kedekatan kedua bahasa yang masih berasal dari satu rumpun bahasa Jawa Kuna merupakan alasan Dwi untuk menggunakan bahasa Jawa sebagai pembanding demi memudahkan kerja-kerja penyusunan kamus.
Apalagi bahasa Using memang belum punya pedoman baku dalam penulisannya. Buku yang ia tulis antara lain: Paseh basa Using ('Fasih berbahasa Using') terbit pada 1997 dalam tiga jilid, dan cetakan kedua keluar pada tahun berikutnya 1998a, 1998b, 1998c).
Meskipun mayoritas warga Banyuwangi tidak mengetahui perannya, Dwi Yanto tidak pernah mempermasalahkannya karena yang terpenting adalah masyarakat Using memiliki kamus yang bisa menjadi dasar bagi pengembangan kebahasaan lainnya, seperti tata bahasa. Dengan demikian, identitas bahasa yang menjadi salah satu penyokong utama bagi keberadaan budaya Using bisa tetap dipertahankan.
Pembelajaran bahasa Using di era akhir Orde Baru ini merupakan salah satu tonggak penting bagi penybarluasan istilah Using sebagai bahasa yang sekaligus berdampak kepada pemapanannya sebagai budaya, dan, selanjutnya, suku. Using bukan lagi diposisikan sebagai salah satu dialek dari bahasa Jawa, seperti bahasa Jawa Banyumasan.
Karena bahasa diposisikan sebagai penanda indeksikal terpenting dari sebuah budaya dan suku, maka Using mulai disosialisasikan sebagai budaya yang berbeda dari Jawa; begitu pula dengan sukunya. Artinya, apa yang diperjuangkan oleh para budayawan seperti Hasan Ali, bukanlah sekedar memperjuangkan bahasa.
Mereka sangat sadar bahwa bahasa berkontribusi penting untuk membingkai solidaritas dan pemahaman komunitas akan kesamaan kultural dan linguistik sehingga mereka akan merasa berada dalam identitas yang sama. Lebih dari itu, bahasa adalah medium untuk memroduksi wacana, pengetahuan dan praktik budaya dan memperkuat solidaritas komunal di antara para anggota yang berlatar sosial berbeda.
Masuknya bahasa Using ke dalam kurikulum, menjadikan keinginan ideal untuk untuk mengembangkan dan memapankan identitas komunitas lebih mudah dilakukan karena para siswa tidak harus susah-payah mempelajari bahasa Jawa Kulonan dan mereka juga bisa lebih fokus dalam mempelajari bahasa ibu sendiri yang sekaligus terdapat pelajaran-pelajaran tentang budayanya.