Dini, mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember angkatan 2014 yang belajar di sekolah yang sama dengan Nindia, mengatakan hal serupa. Kalau diruntut dari moyangnya, Dini adalah keturunan etnis Mandar yang memang sejak zaman Kerajaan Blambangan sudah ada.Â
Meskipun berasal dari Mandar, Dini bisa sedikit berbicara dengan bahasa Using karena tempat ia tinggal, Desa Lemahbang, mayoritas dihuni komunitas Using. Â Namun, dalam pergaulan sehari-hari di sekolah, ia lebih banyak menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Itupula yang menyebabkan Dini tidak mahir berbahasa Using.
Hal serupa dialami Erisa Meutia, mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember angkatan 2015. Erisa berasal dari komunitas Madura di Kalibaru. Ketika SMP dia mendapatkan pelajaran Bahasa Using. Karena komunitas tutur sehari-harinya berbahasa Madura dan Jawa, Erisa menemukan kesulitan dalam proses belajar bahasa Using.Â
Apalagi guru yang mengajar adalah guru umum yang tidak begitu bisa mengajarkan seluk-beluk kebahasaan. Wajar, kalau dia tidak pernah mahir berbahasa Using meskipun telah lulus mata pelajaran tersebut ketika duduk di bangku SMP. Dengan satir Erisa mengatakan bahwa ia bisa sedikit bahasa Using ketia kuliah di Jember karena kawan-kawannya suka lagu pop-etnis Using.
Pengakuan ketiga mahasiswa tersebut menunjukkan bahwa efektifitas pembelajaran bahasa Using sebagai muatan lokal yang secara ideal diharapkan bisa meningkatkan kecakapan bahasa Using dan kecintaan terhadap identitas khas Banyuwangi masih bisa dipertanyakan. Memang, bagi pelajar yang bahasa sehari-harinya adalah bahasa Using, mereka mungkin tidak akan mendapatkan kesulitan berarti dalam proses pembelajaran, meskipun guru mereka berasal dari guru pelajaran lain.Â
Namun, bagi pelajar yang bukan berasal dari komunitas Using atau yang dalam bahasa sehari-harinya non Using, tentu mereka akan menemukan kesulitan dan ketidasyikan dalam proses belajar. Itulah yang menjadikan mereka belajar bahasa Using sekedar untuk bisa lulus ujian dan mendapatkan nilai, bukan untuk memperkuat identitas mereka sebagai suku atau komunitas Using di Banyuwangi.
Menurut Suryono, Nendy Angga, dan Iswaji, guru SDN Sumberagung 03 Pesanggaran, pembelajaran bahasa Using untuk siswa dari etnis Jawa tidak masalah, bahkan mereka mendukung dengan alasan agar siswa tahu salah satu karakteristik budaya yang ada di Banyuwangi, bukan hanya bahasa dan budaya Mataraman yang memang relatif kuat di Pesanggaran. Selain itu, bagi para guru, pembeajaran bahasa Using juga tidak terlalu berat karena hampir sama dengan bahasa Jawa.Â
Tentu saja pendapat ini tidak bisa dilepaskan dari model jawaban standar pandangan guru terkait kurikulum tertentu. Dari evaluasi pembelajaran yang mereka lakukan, mayoritas siswa berlatar etnis Jawa memberikan respon cukup baik kepada diajarakannya bahasa Using di ruang kelas.Â
Dengan belajar bahasa Using, siswa dari etnis Jawa bisa mengetahui dan memahami serta sedikit mempraktikkan bahasa yang unik dan menjadi identitas kultural Banyuwangi. Muatan lokal Using juga akan mengenalkan mereka kepada budaya Banyuwangi khususnya Using.Â
Meskipun demikian, para guru mengakui bahwa para siswa SD lebih menyukai pelajaran bahasa Jawa di sekolah karena mereka sehari-hari memang menggunakan bahasa Jawa. Kenyataan ini tentu bisa menjadi pertimbangan tentang tujuan sebenarnya pembelajaran bahasa Using untuk siswa dari etnis Jawa, Madura, dan yang lain.Â
Apakah perlu para pelajar atau komunitas etnis yang sudah memiliki bahasa ibu harus diwajibkan mempelajari bahasa Using? Bukankah tujuan sebenarnya dari pembelajaran bahasa Using itu untuk melegitimasi Using sebagai bahasa daerah yang sah untuk komunitas yang menggunakannya di Banyuwangi, sekaligus untuk memperkuat identitas etnis dan budaya Using? Kalau tujuannya demikian, berarti komunitas Jawa tidak perlu disasar kebijakan ini karena mereka sudah memiliki bahasa dan identitas sendiri yang ikut mewarnai Banyuwangi multikultural.