Ia tidak menginginkan nama, karya, dan pemikiran Hasan Ali digunakan sebagai alat propaganda, menebar kebencian, saling menghujat, mengadu domba, memfitnah, dan dipakai untuk menyerang pihak-pihak tertentu yang memicu perdebatan di media sosial.
Tidak lupa, Emilia berharap seluruh masyarakat, pemerhati bahasa, hingga peneliti, hendaknya saling menghargai perbedaan dan tidak melarutkan diri ke dalam perbincangan dan perdebatan yang berujung pada perpecahan. Semua pihak harus bersatu demi tercapainya sebuah pengakuan bahwa bahasa Oseng/Using sebagai bahasa daerah.
Menurut saya, kalaupun para pengurus DKB dan Pusat Studi Bahasa Oseng ingin mengugurkan penggunaan “Using” dan menasbihkan diri mereka sebagai “yang paling paham” bahasa warga penerus Blambangan, sudah seharusnya mereka menunjukkan keseriusan dalam meneliti dan menjalankan program penguatan di tengah-tengah masyarakat.
Tanpa karya akademis yang disebarkan secara luas, mereka hanya akan dibaca publik sebagai pihak yang tiba-tiba muncul ke permukaan ketika sedang ada ‘hajatan proyek’. Sebaliknya, pihak-pihak yang secara nyata berkontribusi terhadap pembelajaran dan penguatan malah dihilangkan suaranya dari pemberitaan media.
Dengan demikian, tegangan diskursif-konfliktual di antara pihak-pihak yang saling kontra sebenarnya kurang berpengaruh terhadap komunitas Using secara menyeluruh. Mereka telah terbiasa menggunakan bahasa itu di dalam percakapan sehari-hari, bahkan sejak usia dini. Namun, tegangan tersebut berlangsung di tangan para intelektual yang tentu akan terus berusaha menemukan fakta historis, sekaligus melanjutkan pertentangan dan pertarungan dalam medan kebudayaan.
SASTRA BERBAHASA USING UNTUK IDENTITAS
Ketika banyak pihak mengatakan bahwa budaya Using miskin karya tulis, ketika banyak pihak masih gembar-gembor mana yang benar Osing, Using, atau Oseng, beberapa intelektual-pegiat sastra dan budaya memutuskan berkarya di bawah bendera SKB, Sengker Kuwung Belambangan.
Lembaga yang digawangi oleh Antariksawan Yusuf ini aktif dalam menyelenggarakan kegiatan literasi di bumi Banyuwangi. Yang saya maksudkan dengan literasi adalah upaya edukasi dan kreasi untuk mengampanyekan pentingnya menulis karya sastra berbahasa Using dan karya-karya akademis yang ditulis oleh sastrawan dan intelektual Banyuwangi.
Meskipun hanya digerakkan oleh beberapa penggiat, lembaga ini telah mampu menyumbangkan sesuatu bagi pengembangan dan penguatan identitas Using, baik di ranah regional maupun nasional. Kegiatan mereka berupa pelatihan penulisan sastra, lomba penulisan cerpen berbahasa Using, diskusi sastra dan budaya, lomba mengeja bahasa Using, serta penerbitan karya-karya sastra dwi bahasa (Using dan Indonesia) dan karya-karya akademis tentang kebudayaan Using.
Dalam catatan Antariksawan (2016), sejak tahun 2013, SKB melakukan lomba cerpen berbahasa Using dan diterbitkan dalam bentuk buku antologi berjudul Kembang Ronce. Tentu saja, even lomba dan penerbitan ini menjadi sumber inspirasi dan kekuatan kultural baru untuk menyemaikan dan menyuburkan tradisi tulis bahasa Using ketika institusi pemangku kepentingan kebudayaan di Banyuwangi nyaris tidak berbuat apa-apa selain larut dalam euforia festival dan karnaval yang sangat dibanggakan bupati.
Di tahun 2013, Kembang Ronce, bersama-sama dengan karya lain seperti, Nawi BKL Inah (Antariksawan Yusuf dan Hani Noer) yang ditulis dalam bahasa Using dan Indonesia serta Kemiren: Kisah Barong Jakripah dan Paman Iris (Aekano H) yang ditulis dalam bahasa Using dan 5 bahasa lainnya (Jawa, Inggris, Perancis, Belanda, dan Italia), mampu menjadi penanda penting dimulainya aktivitas literasi yang ditujukan kepada generasi muda dan masyarakat secara umum.