Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahasa Using Banyuwangi: Kurikulum, Identitas, dan Kepentingan

4 Januari 2022   17:25 Diperbarui: 7 Februari 2022   07:49 2147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keterancaman akan kuatnya pengaruh bahasa Jawa dan bahasa Indonesia sebagai kurikulum yang diajarkan secara formal di sekolah, menjadikan orang-orang terdidik dan aktivis budaya merasa khawatir. Dengan alasan tidak ingn melihat bahasa semakin terdesak, pihak yang peduli mulai membuat langkah-langkah taktis.  

....pada 1974 Abdurrahman, seorang dosen hukum Universitas Jember, setelah dikunjungi oleh seorang "mahasiswa Belanda", tergerak menyusun tulisan pendek berjudul "Sekedar petunjuk untuk dapat berbicara bahasa Osing" yang berisi dialog-dialog beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Pertimbangan pengarang adalah "makin terdesaknya bahasa aslinya" dan "ingin menghidup-hidupkan kembali, mempertahankan, bahkan ingin mengembangkan bahasa daerah kami", yaitu "bahasa Banyuwangi." (Arps, 2010: 232)

Mari kita perhatikan ungkapan yang dikemukakan Abdurrahman, “makin terdesaknya bahasa aslinya”. Ungkapan ini menjadi dasar utama dibuatnya “Sekedar petunjuk untuk berbicara bahasa Osing”. Kata terdesak menjabarkan sebuah kondisi di mana ada kekuatan linguistik luar yang menjadikan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat Using mengalami peminggiran. 

Bisa dikatakan kondisi itu terjadi karena para pelajar Using diwajibkan belajar bahasa Jawa Kulonan di ruang sekolah. Para guru banyak yang berasal dari etnis Jawa, baik yang berasal dari kawasan Mataraman ataupun yang keluarganya sudah tinggal di Banyuwangi. 

Kasus ini juga terjadi di Jember, di mana banyak guru di sekolah-sekolah di wilayah etnis Madur diajar guru yang berasal dari kawasan Mataraman Jawa Timur. Selain itu, jajaran birokrat di Banyuwangi juga diisi oleh para pegawai yang berasal dari etnis Jawa. Tidak mengherankan kalau bahasa Jawa semakin dikenal di Banyuwangi. Kenyataan linguistik itulah yang menjadikan akademisi seperti Abdurrahman merasa bahasa asli masyarakat penerus Blambangan terdesak.

Keterancaman  yang dirasakan akademisi seperti Abdurrahman memunculkan keinginan untuk menjalankan “misi penyelamatan bahasa”. Artinya, sesederhana apapun usaha yang dilakukan akan dibingkai dengan keinginan ‘suci’ dan mulia, seperti “menghidupkan-kembali, mempertahankan, dan mengembangkan bahasa Banyuwangi”. 

Ungkapan “menghidupkan-kembali” memang berdimensi revitalisasi dengan anggapan bahwa bahasa cara Using diposisikan terancam akan mati atau sudah hampir mati seingga perlu dilakukan usaha-usaha konkrit untuk menghidupkannya atau menjadikannya populer di  tengah-tengah masyarakat pemakainya. 

Sementara, usaha “mempertahankan bahasa Using” bisa diposisikan sebagai perjuangan untuk terus menggunakan dan menyebarluaskan bahasa ini sebagai bahasa sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Adapun ungkapan “mengembangkan” mengindikasikan kesadaran untuk memanfaatkan bahasa Using sebagai sumber kreatif bagi proses berkebudayaan yang sekaligus bisa untuk mempertahankan dan melestarikannya. 

Wacana penyelamatan dipadukan dengan perjuangan sekaligus pengembangan yang, tentu saja, berjalin-kelindan dengan keingian sebagian budayawan yang berada dalam lingkaran ideologis rezim Pendopo. Apa yang perlu dicatat, usaha yang dilakukan Abdurrahman ini merupakan usaha personal sebagai akademisi yang merasa prihatin dan setelah ia kedatangan tamu dari Belanda yang (mungkin?) butuh pengetahuan khusus tentang bahasa lokal Banyuwangi. Setidaknya, Abdurrahman telah memberikan reasoning tentang pentingnya untuk merintis penulisan bahasa Banyuwangi.

Adalah Hasan Ali, seorang Kepala Bagian Kesejahteraan Masyarakat Pemkab Banyuwangi yang memiliki concern untuk menjadikan bahasa Jawa dialek Using sebagai bahasa tersendiri, meskipun harus melalui proses kompleks. Arps (2010: 233) mencatat secara rapi bagaimana peran awal Hasan Ali dalam proses menuju penumbuhan kesadaran berbahasa Using sebagai berikut.

Dalam konsep buku Selayang-pandang Blambangan...yang disusun atas perintah bupati Banyuwangi ketika itu, Kolonel Joko Supaat Slamet, yang bertujuan mengumpulkan data historis dan etnografis yang dapat mendasari pembangunan daerah ini "untuk mencapai kejayaan daerah Blambangan dalam rangka kesatuan dan keutuhan Nusantara", dibahas tentang "masyarakat Jawa Osing". 

Pada awal bagian tentang bahasa, “bahasa Jawa Osing” masih disebut “dialek”...tetapi beberapa halaman kemudian ada pernyataan "Sesungguhnya dialek Jawa Osing bukanlah dialek tetapi sudah dapat disebut sebagai bahasa, yaitu BAHASA OSING"...Di sinilah tampak titik awal proses pencarian pengakuan...Hasan Ali-lah yang menyusun bagian buku itu yang berkenaan dengan bahasa. 

Selanjutnya, Hasan Ali akan memainkan peranan kunci dalam proses pengakuan tadi. Salah satu keyakinan Hasan Ali adalah bahwa bahasa Using merupakan bahasa yang mandiri, bukan sekadar varian bahasa Jawa. Salah satu tujuannya adalah membuktikan keyakinan itu secara ilmiah.

Saya perlu mengutip paparan Arps secara panjang lebar untuk mengetahui usaha memunculkan dan menawarkan istilah “bahasa Using” ke kalangan birokrat yang bisa jadi sangat berpengaruh. Menarik kiranya, Hasan dengan sengaja menyatakan bahwa dialek Jawa Osing sebenarnya bisa disebut bahasa Osing. 

Ini merupakan pernyataan formal dalam produk birokrat, buku Selayang Pandang Banyuwangi, yang menegaskan bahasa Using sebagai bahasa independen yang bukan merupakan dialek Jawa Mataraman. Arps mengatakan bahwa itu merupakan titik awal proses pencarian pengakuan. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun