Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahasa Using Banyuwangi: Kurikulum, Identitas, dan Kepentingan

4 Januari 2022   17:25 Diperbarui: 7 Februari 2022   07:49 2147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang perlu dicatat adalah bahwa rezim negara juga membatasi secara ketat berkembangnya-kembali kekuatan-kekuatan identitas berdimensi politik, semisal bahasa, ritual, dan kesenian yang bisa menyatukan imajinasi dan ikatan komunal kedaerahan. Rezim negara tidak ingin di daerah berkembang sentiman politik berbasis identitas daerah karena bisa mengganggu kemapanan rezim penguasa dan berpotensi memunculkan perlawanan dan tuntutan-tuntutan politik lainnya.

Dengan kata lain, penggunaan nilai-nilai keindonesiaan sebagai patokan dalam berkebudayaan punya misi khusus untuk menghadapi pengaruh budaya asing yang mulai berkembang sejalan dengan tumbuhnya budaya konsumen. Kebijakan pemerintah Indonesia ini, ternyata, sejalan dengan kebijakan serupa yang diambil oleh beberapa negara Asia Tenggara. Jones (2012: 153) memaparkan:

Di Asia, penyebaran budaya konsumen dan cepatnya pergerakan informasi yang berkaitan dengan barang dan jasa kapitalis memunculkan kekhawatiran di antara pemerintah nasional. Pemerintah Singapura, Malaysia, Indonesia, Cina, dan Burma melawan perubahan budaya dan pesan politik dan sosial terkait yang diduga disebarluaskan oleh kapitalisme internasional dengan wacana yang disebut “nilai-nilai Asia” yang menekankan kerja keras, nilai keluarga, penghormatan terhadap penguasa, tanggung jawab sosial, disiplin, dan dukungan warga negara terhadap pemimpin. 

Atas nama melestarikan nilai-nilai Asia, pemerintah mengkonsolidasikan kekuatan politik mereka dengan mengarahkan oposisi populis melawan Sang Barat, momok yang tampak memberikan rasa nyaman dan nilai-nilai yang dilanggarnya, serta mereka menjalankan kontrol politik dengan membatasi kebebasan pers dan hak asasi manusia  dengan melabeli mereka sebagai “Barat”. Dengan demikian, pemerintah mendefinisikan mereka sebagai yang bertentangan dengan cara hidup Asia.

Tidak mengherankan, di Indonesia, melalui pendidikan, seminar, dan banyak penelitian, pemerintah menggiatkan nilai-nilai keindonesiaan sebagai bagian dari nilai-nilai Asia yang tampak memperkuat budaya lokal dan budaya nasional. Namun, kita tidak boleh lupa, bahwa target sebenarnya adalah terjaganya kekuasaan karena masyarakat diberikan acuan-acuan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak yang tidak menimbulkan peluang resistensi terhadap pemerintah.  

Beragam budaya daerah diteliti oleh para dosen atau peneliti dari universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia, dengan tujuan mengungkapkan nilai-nilai unggul yang bisa mendukung pengembangan dan penguatan budaya nasional. Dalam keadaan demikian, praktik pelestarikan kearifan lokal, kesenian, ritual, dan bentuk-bentuk budaya daerah lainnya tidak pernah dimaksudkan untuk memberikan kemampuan ideologis-komunal bagi para pelakunya. 

Sebaliknya, pelestarian tersebut menjadikan budaya daerah tampai ramai di permukaan, tetapi sebetulnya sudah kehilangan mayoritas kekuatan ideologisnya. Ritual agraris, misalnya, hanya diapahami sebagai ritual yang patut dirayakan, tetapi kemanfaatannya untuk lingkungan hanya dicatat dalam penelitian. 

Padahal pada masa sebelumnya, kesenian rakyat mendapatkan porsi utama dalam menyampaikan kritik ataupun ajakan untuk perjuangan sosial. Kampanye nilai-nilai keindonesiaan dalam kerangka jati diri dan kepribadian bangsa, dengan demikian, menjadi justifikasi politik untuk mempraktikkan kekuasaan otoriter guna merespoen kritik yang berasal dari kalangan demokratik-liberal (Jones, 2012: 154). 

Apa yang menarik dicermati lebih lanjut adalah bagaimana rezim negara mentransformasikan hubungan rakyat dengan praktik budaya; ikatan ideologis perlahan-lahan dimarjinalkan untuk kemudian ditiadakan. Acciaioli (1985) memaparkan bagaimana di tengah-tengah kuatnya ‘agama sipil’, Pancasila dan pembangunan, rezim Suharto mengubah fungsi ritual dari kesenian, mentransformasi adat tertentu menjadi ‘kesenian’ dan menata-kembali kehidupan dalam komunitas di mana adat masih diikuti. 

Acciaicoli (dikutip dalam Jones, 2012: 154), setidaknya, mengidentifikasi 3 elemen terkait proses tersebut yang berhubungan dengan kebijakan budaya. Pertama, transformasi ritual untuk memenuhi agama sipil negara, termasuk penerapan standar moral yang sesuai dengan agama lokal dominan (seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha). 

Kedua,  para aparat harus mampu mengarahkan perubahan tersebut ke dalam komunitas. Ketiga, pemerintah Indonesia mengkonsepsikan dirinya sebagai “pembawa budaya yang benar” ketimbang sebagai pembawa pandangan yang lebih antropologis dari budaya sebagaimana dibentuk oleh cara hidup berbeda, sebuah tafsir lebih luas yang akan menjadikannya mungkin negara untuk mendorong dan menyuburkan keragaman budaya,baik adat istiadat maupun pan-Indonesia. 

Dengan perspektif itulah, pemerintah daerah melakukan proyek budaya yang sesuai dengan keinginan Jakarta. Kesenian-kesenian daerah dihidupkan lagi setelah sempat mati suri pasca 1965. Ritual adat disemarakkan dengan arahan yang sesuai dengan keinginan pemerintah dalam menyukseskan pembangunan. Bentuk-bentuk budaya lain seperti bahasa daerah atau bahasa ibu juga dikembangkan untuk mendukung dan memperkuat identitas budaya lokal dalam kendali negara. 

Di Banyuwangi, setelah beberapa kali dilobi oleh pelaku seni yang sekaligus menjadi birokrat, Bupati Joko Supa’at Slamet berkenan mengumpulkan para seniman dari beragam latar belakang ideologis. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah bupati menginginkan kegiatan budaya di Banyuwangi kembali semarak tanpa harus membawa embel-embel ideologi partai politik seperti masa sebelum 1965 (Sariono, Subaharianto, Saputra & Setiawan, 2010). 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun