Penguatan identitas berbasis bahasa lokal bisa dimaksimalkan untuk memapankan solidaritas guna mengikis ketergantungan linguistik dan kultural terhadap kekuatan Jawa-Mataraman yang dari era kolonial hingga Orde Baru menjadi kekuatan dominan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Setidaknya, penerapan bahasa Using sebagai muatan lokal menjadi penawar penting kekhawatiran akan punahnya bahasa ini di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Ketika bahasa Using diajarkan di sekolah, terdapat integrasi bersifat strategis yang menjadikan pembelajaran bahasa sebagai sarana dan mekanisme untuk mempertemukan para siswa dengan karakter linguistik yang ikut membentuk pandangan dan menyebarluaskan kebudayaan.
Para budayawan yang memperjuangkan penetapan dan pengajaran bahasa Using menyadari sepenuhnya bahwa bahasa tidak bisa dilepaskan dari identitas budaya. Bagi kelompok yang dalam ranah regional maupun nasional diposisikan sebagai minoritas, usaha untuk mewariskan bahasa ibu merupakan bentuk “politik linguistik” demi menyemaikan dan menyebarluaskan sense of beloning dan komunalisme di antara anggota kelompok.
Mengikuti pemikiran Appiah (2005: 102) terkait urgensi bahasa ibu untuk eksistensi kelompok-kelompok minoritas minoritas di sebuah negara, kemampuan anak-anak untuk menguasai bahasa ibu berperan sangat penting dalam penguatan identitas, selain penguasaan terhadap bahasa resmi. Melalui bahasa ibu anak-anak sebagai generasi penerus diarahkan, dibentuk, diberikan pemahaman dan diajak menjalankan nilai dan tindakan kultural.
Demi kepentingan itulah, pembelajaran kepada anak-anak usia sekolah menjadi penting. Meskipun demikian, bukan berarti mereka tidak perlu mendapatkan pembelajaran bahasa politis atau bahasa resmi negara. Bahasa resmi tetap dibutuhkan agar memudahkan mereka masuk ke dalam pergaulan nasional agar mereka bisa memahami persoalan-persoalan yang lebih luas serta bisa memosisikan kelompok dan budaya mereka di tengah-tengah yang nasional.
Perjuangan menghilangkan rasa malu dan minder dalam diri komunitas Using di Banyuwangi merupakan kepentingan strategis di balik penetapan bahasa Using sebagai bahasa daerah yang berbeda dari bahasa Jawa dan perlu diajarkan di sekolah. Target utamanya, sekali lagi, adalah membiasakan generasi penerus dengan kebahasaan yang sekaligus mengantarkan mereka untuk mengenali, mencintai, dan mempraktikkan adat istiadat, ritual, maupun kesenian Using di tengah-tengah keberagaman masyarakat Banyuwangi.
Dengan pendidikan bahasa ini, generasi penerus diharapkan tidak lagi akan memosisikan subjektivitas mereka sebagai Jawa-Banyuwangi atau Jawa-Blambangan yang masih membawa elemen Jawa, melaikan dirimereka sebagai orang Using yang berbeda dengan Jawa sebagaimana dikonstruksi selama ini.
Meniadakan relasi edukatif dengan Jawa Mataraman atau Jawa Kulonan yang biasanya dihadirkan di dalam kelas melalui pembelajaran bahasa daerah, menjadi titik awal untuk menunjukkan dan mempertegas positioning bahasa Using dan ke-Using-an bagi masyarakat serta menyiapkan generasi penerus yang bangga dan siap dengan budaya sendiri
Bahasa Using dan Penguatan Identitas dalam Kendali Rezim Negara
Salah satu dampak terpenting dari legitimasi kebahasaan adalah menguatnya kebanggaan identitas Using yang tidak hanya dikaitkan dengan aspek budaya tetapi juga persoalan suku. Entah, sejak kapan muncul istilah suku Using untuk menamai komunitas keturunan Blambangan.
Bisa diasumsikan bahwa munculnya istilah suku itu sejalan dengan menguatnya istilah bahasa dan budaya Using yang semakin biasa di masa Orde Baru. Artinya, labelisasi Using yang di era kolonial beraroma negatif karena menjadi stigma untuk menjelekkan warga keturunan Blambangan dibalik menjadi sesuatu yang sangat positif dan konstruktif demi sebuah proyek identitas yang dilegitimasi rezim penguasa.