Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahasa Using Banyuwangi: Kurikulum, Identitas, dan Kepentingan

4 Januari 2022   17:25 Diperbarui: 7 Februari 2022   07:49 2147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai saat ini keberagaman linguistik masih melekat dalam perjuangan untuk melawan bentuk-bentuk dominasi. Ia juga berargumen bahwa dalam gerakan pribumi kontemporer untuk keamanan linguistik, bahasa itu sendiri tidak semata-mata dikonsepsikan sebagai objek perjuangan politik, tetapi juga sebagai alat untuk melestarikan ruang bagi aksi dan permusyawaratan lokal; sebuah politik komunitas lokal. Keberagaman bahasa dan pewarisan kekuasaan politik pada level lokal berada dalam hubungan yang saling memperkuat secara mutual.   

GENEALOGI KEKHAWATIRAN & INDEPENDENSI KEBAHASAAN

Kurikulum Muatan Lokal dan Kepentingan 

Ketika memberikan paparan mengenai diperolehnya status sebagai bahasa dari dialek Using di Banyuwangi, Arps (2010: 226), salah satu peneliti tradisi lisan Nusantara, secara kritis mengatakan:

Bagaimana menjelaskan perubahan status linguistik, sosial, dan politik bahasa yang digunakan di daerah Banyuwangi ini, dari dialek Jawa yang terkesan kedesa-desaan-yang bahkan berbeda dari desa ke desa dalam sebuah kontinuum dialek menjadi sebuah bahasa daerah yang otonom, yang patut dibanggakan dan wajib diajarkan serta dipelajari di sekolah-sekolah? Perubahan ini adalah hasil sebuah proses politik yang mengambil waktu beberapa dasawarsa. Bagi orang dan lembaga yang memprakarsai dan memotorinya, proses ini boleh disebut sebuah perjuangan. 

Pendapat Arps ini cukup menarik karena memberikan celah untuk melihat persoalan penetapan dialek Using sebagai bahasa Using di masa Orde Baru. Hipotesis kritis yang dimunculkan bahwa perubahan status tersebut merupakan proses politik cukup memberikan keleluasaan untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi terkait kepentingan-kepentingan yang bisa jadi saling melintasi, baik dalam skala regional maupun nasional. 

Munculnya konsensus di antara budayawan, bahasawan, dan pemerintah kabupaten untuk memperjuangkan ‘kelahiran’ dan kemapanan bahasa Using tentu bukan sekedar bukan semata-mata proses kultural dan linguistik untuk menegaskan adanya budaya berbahasa yang berbeda dari masyarakat Jawa dan Madura serta masyarakat etnis lain di Banyuwangi.

Lebih dari itu, sebagai proses politik, semua perjuangan tersebut melibatkan kepentingan-kepentingan strategis yang mengindeks kepada identitas etnis yang juga harus diciptakan karena keberadaan bahasa Using yang berbeda dari bahasa lain. Pelibatan budayawan, linguis lokal, pemerintah kabupaten, dan pengelola industri budaya di Banyuwangi sejak Orde Baru menegaskan bahwa proses menjadikan Using sebuah bahasa bukanlah proses sederhana yang bisa diatasi dengan simsalabim.

Dibutuhkan lobi-lobi kepada pimpinan daerah, pemberian pemahaman kepada para pakar bahasa Jawa, kajian para pakar yang sepaham, dan kampanye dalam bentuk aktivitas-aktivitas dalam ranah lain yang mendorong penggunaan cara Using dalam berbagai macam arena. 

Maka, pilihan ‘melahirkan’ dan memapankan bahasa Using merupakan pilihan linguistik yang tidak semata-mata ada karena keinginan adanya usaha untuk membakukan bahasa ini dalam sistem kurikulum. Lebih jauh lagi, pilihan itu juga berkaitan desain ketakutan akan tergesernya atau terpinggirkannya bahasa lokal oleh bahasa lokal dominan seperti Jawa dan bahasa nasional, bahasa Indonesia. Tentu saja, kekhawatiran tersebut juga tak bisa dipisahkan dari kekhawatiran akan tergerusnya identitas lokal.

Genealogi 'kekhawatiran' merupakan sesuatu yang wajar di tengah-tengah dominasi etnis Jawa Kulonan yang cukup kuat  dalam arena birokrasi dan pendidikan, sehingga dikhawatirkan banyak anak muda Banyuwangi yang mulai melupakan bahasa ibu. 

Artinya, populerisasi istilah bahasa Using sebenarnya bukan berasal dari sejarah panjang kolonial karena pada masa itu meskipun sudah muncul istilah wong Osing, labelisasi bahasa Using belum begitu familiar. Setidaknya, kekhawatiran akan terdesaknya cara Using mulai menguat sejak 1970-an. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun