Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahasa Using Banyuwangi: Kurikulum, Identitas, dan Kepentingan

4 Januari 2022   17:25 Diperbarui: 7 Februari 2022   07:49 2147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Qowim menganggap bahwa para peneliti bahasa seringkali melakukan “kesalahan”, terkait metodologi seperti penentuan daerah penelitian, sampel, teori, teknik, serta kerap tidak sesuai metodologi penelitian bahasa. Tidak mengherankan, kalau temuan-temuan yang dihasilkan jauh dari kenyataan dan kebenaran berbahasa yang berlangsung dalam masyarakat. 

Tidak hanya sampai di situ, menurut Qowim mayoritas peneliti bahasa Oseng tampak “tidak mau berpikir” dan “sudah membawa jawaban dari rumah atas penelitian yang akan dilakukan”. Ditambah lagi, waktu yang dimiliki peneliti bahasa Oseng sangat terbatas sehingga tidak maksimal dalam menjaring dan menganalisis data.

Tentu saja, tuduhan kejam Qowim terhadap para peneliti bahasa Using bisa dibaca sebagai resistensi terhadap kemapanan penelitian yang sebagian besar dilakukan oleh para peneliti non-Banyuwangi. Sebagai usaha diskursif untuk menggelorakan semangat meneliti kaum intelektual asli Banyuwangi, tuduhan itu tentu sah-sah saja. 

Namun, pertanyaannya adalah “apakah Qowim sudah membaca semua hasil penelitian yang sudah dilakukan?” Selain itu, apakah Qowim sudah melakukan kajian-kajian yang lebih sesuai secara metodologis maupun lebih komprehensif dalam temuannya? Kalau belum, berarti ia secara sepihak hanya ingin mengonstruksi legitimasi bahwa hanya penelitian-penelitian yang (akan?) ia dan kawan-kawannya lakukan di Pusat Studi Bahasa Oseng lah yang paling benar. 

Apa yang harus dicatat adalah melalui tuduhan tersebut, Qowim secara implisit melakukan politik wacana dengan mengklaim bahwa kebenaran akademis tentang kebahasaan tidak bisa muncul dari para peneliti non-Banyuwangi. Tentu, ini adalah bentuk “kesombongan akademis” yang kebablasan dari intelektual yang merasa menjadi wakil representatif Banyuwangi. Tentu, apa yang dilakukan Qowim tidak mewakili intelektual dan aktor kultural Banyuwangi secara keseluruhan.

Buktinya, Antariksawan Yusuf membuat beberapa tulisan bersambung di blog pribadinya soal beberapa keberatan, kritik, dan masukan terhadap acara seminar tersebut. Pertama, terkait penggantian istilah “Using” menjadi “Oseng” merupakan tindakan tanpa rujukan dan hanya menegaskan ‘syahwat’ panitia untuk diakui menjadi pihak yang paling tahu soal bahasa Using serta berpotensi memunculkan kebingungan di kalangan guru (Antariksawan, 2015a). 

Lebih jauh Antariksawan (2015b, 2015c) mengatakan bahwa istilah “Oseng” itu baru sebatas usulan yang belum layak untuk menggantikan istilah “Using” yang sudah dibahas sampai disertasi doktoral oleh Suparman Herusantosa, “Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi”, serta sudah di-perda-kan. Artinya, penggantian yang dilakukan oleh panitia bisa dibaca sebagai sebuah usaha diskursif yang mencoba berangkat dari realitas pengucapan di masyarakat. 

Namun, tidak mengindahkan aturan-aturan linguistik yang sudah disepakati dalam kalangan akademis. Kedua, dalam dunia akademis sangat wajar ketika seorang peneliti menyalahkan para peneliti lain dan temuan mereka, tetapi tidak dengan cara mencaci-mereka di depan peserta seminar dan, celakanya, Qowim tidak menunjukkan hasil penelitiannya terkait bahasa Using (Antariksawan, 2015a). 

Dengan kata lain, menurut saya, ia sedang meninggikan kemampuannya tetapi dengan menunjukkan kepada publik bahwa ia sebenarnya tidak—atau belum—menghasilkan karya akademis tentang bahasa Using; sebuah dekonstruksi terhadap diri-sendiri.

Perdebatan ramai antara pihak yang pro dan yang anti penggunaan terma Using berlangsung pula di jagat media sosial. Akibatnya, banyak pihak yang mengetahui. Pengurus DKB dan PPBO yang tetap ingin menggunakan istilah “Oseng” karena secara pengucapan di masyarakat bukanlah “Using”. 

Karena perdebatan yang semakin memanas, Emilia Contessa, putri (alm) Hasan Ali (penulis Kamus Bahasa Using), anggota Komisi III DPD RI, sampai harus membuat himbauan terbuka di media on-line. Emilia Contessa (2016) menegaskan bahwa Seminar Ilmiah Nasional Bahasa Oseng/Using tidak digelar dengan tujuan menciptakan perpecahan atau suasana tidak nyaman, juga tidak bertujuan melupakan atau mengkhianati karya besar Hasan Ali sebagai tokoh yang membidani lahirnya kamus bahasa Using. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun