Islam memandang penderitaan sebagai ujian yang diberikan Tuhan kepada setiap individu untuk mengukur keteguhan iman dan kesabaran. Dalam Al-Qur'an, penderitaan sering kali dihubungkan dengan ujian kehidupan yang memiliki tujuan lebih besar, yaitu mendekatkan manusia kepada Tuhan. Penderitaan bukanlah sesuatu yang bersifat sia-sia atau tanpa makna, tetapi memiliki nilai intrinsik dalam proses pembentukan karakter moral dan spiritual. Dalam hadits Nabi Muhammad, disebutkan bahwa umat Islam yang sabar dalam menghadapi penderitaan akan memperoleh pahala besar di akhirat. Ini menunjukkan bahwa penderitaan dalam Islam dilihat sebagai bagian dari ujian hidup yang mengarah pada kesempurnaan diri dan keberkahan ilahi.
b. Penderitaan dalam Buddhisme
Teori penderitaan dalam Buddhisme berakar pada konsep dukkha, yang berarti ketidakpuasan atau penderitaan yang terus-menerus ada dalam hidup. Dalam ajaran Buddha, dukkha tidak hanya meliputi rasa sakit fisik, tetapi juga ketidakpuasan eksistensial yang muncul karena keterikatan pada dunia fana dan ketidaktahuan tentang sifat sejati dari kehidupan. Empat Kebenaran Mulia mengajarkan bahwa penderitaan memiliki sebab, dan penyebabnya adalah keinginan dan keterikatan pada hal-hal duniawi. Solusi untuk penderitaan, menurut Buddhisme, adalah dengan mengikuti Jalan Mulia Berunsur Delapan yang mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang realitas dan pembebasan dari penderitaan melalui pencerahan (nirvana).
c. Penderitaan dalam Atheisme
Dalam pandangan atheisme, penderitaan tidak dipandang sebagai fenomena yang memiliki tujuan metafisik atau ilahi. Sebaliknya, penderitaan adalah akibat dari hukum alam, seleksi alam, dan interaksi sosial yang mempengaruhi kehidupan manusia. Atheisme, yang umumnya mendasarkan pandangannya pada ilmu pengetahuan dan rasionalitas, berpendapat bahwa penderitaan muncul sebagai respons biologis terhadap ancaman atau ketidakpastian dalam lingkungan hidup. Oleh karena itu, penderitaan dalam atheisme harus dipahami dan diatasi melalui pendekatan rasional dan ilmiah, baik dengan teknologi medis maupun dengan cara-cara peningkatan kualitas hidup melalui sistem sosial yang lebih adil.
3. Hubungan dengan Utilitas Tertinggi
Penderitaan, meskipun dianggap sebagai kondisi negatif, sering kali dianggap sebagai peluang untuk mencapai utilitas tertinggi dalam berbagai tradisi filsafat dan agama. Dalam Islam, utilitas tertinggi adalah mencapai kebahagiaan abadi di akhirat melalui ujian kehidupan yang melibatkan penderitaan. Dengan bersabar, beramal shaleh, dan mendekatkan diri kepada Tuhan, individu dapat memperoleh kebahagiaan sejati yang melampaui penderitaan duniawi.
Di sisi lain, dalam Buddhisme, utilitas tertinggi adalah mencapai nirvana, keadaan bebas dari penderitaan dan keterikatan duniawi. Jalan untuk mencapai nirvana adalah dengan mengatasi penderitaan melalui pemahaman dan pengendalian diri, yang pada akhirnya membebaskan individu dari siklus kelahiran dan kematian (samsara).
Dalam atheisme, utilitas tertinggi dicapai melalui pengelolaan penderitaan secara rasional, dengan menciptakan kesejahteraan melalui ilmu pengetahuan, teknologi, dan sistem sosial yang lebih baik. Utilitas ini bukanlah pencapaian spiritual atau metafisik, melainkan pencapaian kebahagiaan dan kesejahteraan yang dapat dicapai secara material dan sosial.
4. Sintesis Teoritis
Meskipun ada perbedaan dalam pandangan dasar mengenai penderitaan antara Islam, Buddhisme, dan atheisme, ada pula kesamaan mendasar yang dapat dijadikan pijakan untuk sintesis teoritis. Ketiganya mengakui penderitaan sebagai bagian tak terhindarkan dari kehidupan manusia, dan masing-masing memberikan pendekatan yang sistematis untuk menghadapinya. Dengan melihat konsep penderitaan ini secara holistik dan lintas perspektif, kita dapat menemukan model yang lebih komprehensif untuk mengatasi penderitaan dan mencapai utilitas tertinggi.