h. Konsentrasi Benar (Samma Samadhi): Mempertajam konsentrasi melalui meditasi.
Jalan ini adalah pendekatan sistematis untuk mengatasi akar penderitaan melalui pengendalian pikiran, ucapan, dan tindakan.
5. Perspektif Sufistik Buddhisme terhadap Penderitaan
Dimensi sufistik dalam Buddhisme terlihat dalam tradisi meditasi yang bertujuan mencapai pencerahan (bodhi). Meditasi bukan hanya alat untuk ketenangan, tetapi juga cara untuk mengembangkan wawasan mendalam tentang sifat realitas, sehingga memungkinkan pelepasan diri dari penderitaan.
Salah satu tokoh besar Buddhisme Mahayana, Nagarjuna, menekankan bahwa penderitaan ada karena kesalahpahaman tentang dualitas. Dengan memahami sunyata (kekosongan), manusia dapat melampaui keterikatan yang menyebabkan penderitaan. Nagarjuna menulis:
"Ketika segala sesuatu dipahami sebagai kosong, tidak ada penderitaan, tidak ada penyebab penderitaan, tidak ada akhir penderitaan, dan tidak ada jalan menuju akhir penderitaan."
Ini mencerminkan pandangan mendalam bahwa penderitaan bersumber dari ilusi, dan pencerahan adalah pembebasan dari ilusi tersebut.
6. Dimensi Sejarah dan Antropologis: Buddhisme dalam Menghadapi Penderitaan Kolektif
Buddhisme, sepanjang sejarahnya, telah menunjukkan kemampuan untuk menghadapi penderitaan kolektif dalam masyarakat. Misalnya, dalam tradisi Theravada, munculnya sangha (komunitas monastik) merupakan jawaban terhadap kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan panduan spiritual di tengah penderitaan sosial dan politik.
Sejarah Buddhisme di India, Tiongkok, dan Asia Tenggara memperlihatkan bagaimana ajaran ini menjadi kekuatan pembebas dalam menghadapi penderitaan akibat perang, kelaparan, dan ketidakadilan sosial. Gerakan Ashoka di India, yang terinspirasi oleh Buddhisme, adalah contoh nyata bagaimana ajaran tentang kasih sayang dan penghormatan terhadap kehidupan dapat mengatasi penderitaan kolektif dan menciptakan masyarakat yang lebih adil.
7. Penderitaan sebagai Jalan Pencerahan