Keterlemparan dalam Kehidupan: Sartre menyatakan bahwa manusia "terlempar" ke dalam dunia tanpa tujuan yang telah ditentukan, dan penderitaan adalah bagian inheren dari situasi ini.
Pemberontakan Melawan Absurditas: Camus, dalam Mitos Sisifus, menekankan bahwa kehidupan mungkin tidak memiliki makna objektif, tetapi manusia dapat menciptakan maknanya sendiri meskipun dihadapkan pada penderitaan yang tampak sia-sia.
Pendekatan eksistensial ini mendorong manusia untuk menerima absurditas kehidupan, termasuk penderitaan, dan menemukan kebebasan dalam tanggung jawab untuk menciptakan makna.
5. Penderitaan dan Kemajuan Ilmiah
Salah satu keunggulan atheisme adalah fokusnya pada solusi praktis yang berbasis sains dan teknologi untuk mengurangi penderitaan. Contohnya:
Medis: Penelitian medis telah memungkinkan manusia untuk mengurangi rasa sakit fisik melalui obat-obatan, terapi, dan teknologi.
Psikologi: Pemahaman tentang mekanisme mental dan emosi memungkinkan manusia untuk mengatasi penderitaan mental melalui terapi kognitif, mindfulness, dan intervensi lainnya.
Sosial: Kebijakan berbasis bukti yang mengurangi kemiskinan, ketidakadilan, dan konflik dapat mengurangi penderitaan secara kolektif.
Atheisme menekankan pentingnya memanfaatkan pengetahuan ilmiah untuk menciptakan dunia yang lebih baik, tanpa bergantung pada harapan akan mukjizat atau intervensi ilahi.
6. Mengisi Kekosongan: Menuju Pijakan yang Terkodifikasi
Salah satu kritik terhadap atheisme adalah ketiadaan sistem etika yang terstruktur dan terkodifikasi untuk menangani penderitaan. Untuk mengatasi kekosongan ini, atheisme modern mulai mengembangkan kerangka moral yang lebih sistematis, misalnya: