Lambat laun, terdengar sayup dan lirih:
“Iya waalekomsalam, masuk-masuk, silahkan, maaf aku sedang repot. Sebentar, silahkan masuk dulu. ”Hanya suara, tanpa menunjukan jatidirinya.
Sumiyem masuk ke dalam, langsung secepat kilat menyambar bangku, tubuhnya tak kuat menopang lebih lama:
“Assalamoalekom”. Sambil Sumiyem menata letak pantatnya.
“Waalekomsalam, kok kedengarannya kamu ya nyem? ”Terdengar suara dari dalam.
“Iya”
“Wah, tamu istimewa!,” terdengar meriah suara dan gerakan jingkrak-jingkrak, “Sebentar-sebentar ya!.”
Yang bersuara kini keluar, menyapu pemandangan, dan didapati Suminyem terduduk lesu. Dengan badannya yang gemuk, dempal, laksana gorila sedang melangkah pelan dan sekaligus berat. Mereka bersalam-salaman, berdekapan dan berpelukan, seakan lama tak jumpa.
“Jadi itu kebutuhanmu ke sini, nyem. Aneh sekali kamu membicarakan politik.”
“Aku tidak bicara kekuasaan lho. Ada hal lain yang musti kau sadari kem. Keadaan sudah darurat.” Sumiyem menata letak duduknya, lalu mengusap-usap batang hidungnya yang tak mau mancung.
“Darurat bagaimana nyem,” Suminyem sempat terkejut, tapi lumrah, Sanikem jarang meninjau ke lapangan langsung. Sedang pengaruh Sanikem, itu yang tidak bisa ditawar.