Pertama: “Kapan Ki Jarot terpilih jadi kepala desa ya? Sepertinya sudah lama sekali, rasa-rasanya, ketika umurku enam tahun, sampai duapuluhlima tahun ini masih Ki Jarot saja kepala desanya. Tak fikir, selama-lamanya, seumur hidup. Oh, jebule ngunu tho”
Kedua: “Aku kok tidak tahu, ada aturan begitu. Kalau aturan mainnya sudah jelas, kenapa tidak ada pergantian? Atau sekedar pengumuman kepada warga. Kalau tidak samasekali, itu curang namanya.”
Ketiga: “Aku kenal Mbah Nikem, ia memang setara dengan Ki Jarot dalam pengaruhnya. Tapi jika aku timbang-timbang, Mbah Nikem lebih unggul.”
Ada testimoni yang bernada humor:
Keempat: “Kenapa harus orang tua yang diajukan, kenapa bukan kamu saja? (hehehe) Orang tua sudah terlalu lemah, sakit-sakitan dan pikun untuk memimpin.”
Bahkan, ada yang begini radikal:
Kelima: “Kalau begitu, ayo! Kapan kita mainkan. Yanto, aku menunggu ajakan orang seperti kamu sejak dulu.”
Setiap pulang ke rumah, wajah Yanto sumringah, penuh kemenangan. Setiap itu pula, Sumiyem tergeleng-geleng. Paham benar, apa yang telah terjadi, dan yang akan disampaikan kepada dirinya. MakaSumiyem, pun turut sumringah.
(6)
Pada suatu senja, seorang lelaki berbadan bungkuk, berjalan lambat-lambat dengan tongkatnya. Matanya menatap tajam ke depan. Rasanya, tubuhnya yang lapuk termakan usia tak mampu membendung gairah semangat mudanya kembali.
Berkat cucunya, api pergerakan Suminyem hidup kembali. Semangat itu tidaklah membakar, karena bukan upaya pelampiasan amarah, tapi semangatnya menerbitkan kehangatan karena ketulusannya. Keyakinan Sumiyem yang sempat memuai, kini mengeras kembali. Ia ingin melanyurkan semangat dan meyakinkan teman sejawat dan sepermainannya dulu: Sanikem.
Rumah itu setengah terbuka, tanpa terkonci. Dari luar nampak lengang di dalam rumah. Selintas Sanikem lewat, melintasi kamar, menyapu pandang ke penjuru rumah, dan melintas lagi ke belakang rumah. Buru-buru Sumiyem mengejar dengan pandangnya. Suaranya yang parau memanggil-manggil. Sanikem terlanjur ke dalam. Diketok-ketok berulang, tapi tuan rumah juga tak kunjung menampakan batang hidung, barang secuil pun.