“Bapak-bapak yang terhormat,” Kata Yanto di hadapan para aparat, dan dibelakang sudah berkerumun gerombolannya, “Kami memohon dengan baik-baik, izinkan kami masuk. Kalau Ki Jarot bebas vonis, itu aneh. Kalau di sana tidak ada orang yang berani bersaksi, kami siap seluruhnya jadi saksi. Mohon beri izin lewat. ” Yanto menantang, tangannya mengurai barisan pasukan, malah hantaman bersambut.
Salah seorang sahabat Yanto, melihat pemohon yang masih sekutu dengan mereka. Ia segera berbisik kepada Yanto akan keberadaan Jainuri di dalam.
“Berikan penguatan supaya dia menggiringkan kita masuk.” Jelas salah seorang sahabat Yanto.
“Oh begitu, baik.”
Dengan gemuruh sahabat Yanto, bersorak-sorak, berseru-seru memanggil Jainuri. Jainuri, merasa dirinya keras-keras dipanggil, ia menoleh. Buru-buru ia menghampiri gerombolan warga Tunggak yang ditahan aparat. Bersikeras ia meminta aparat mengalah.
“Bebaskan mereka, biarkan mereka masuk, biarkan,” Jainuri menyambar ketua hakim, meminta pembelaan, “Itu saksi semua Yang Mulia, mereka saksi semuanya. Sekarang saya memiliki saksi. Jadi tidak ada lagi alasan tidak diberikan vonis kepada Ki Jarot.”
Ketua hakim dengan rasa keadilannya yang tersisa, mengizinkan mereka segerombolan pemuda-pemudi desa Tunggak untuk masuk ke dalam ruang sidang pengadilan. Secara gerudukan, Yanto dan sahabatnya masuk ke dalam. Riuh sekali dalam ruangan. Sesekali terdengar: jebloskan Ki Jarot, jebloskan Ki Jarot, tegakan keadilan.
Ketua hakim setelah berunding dengan hakim-hakim yang ada, akhirnya memutuskan:
“Mengingat... menimbang... Ki Jarot sebagai mantan kepala desa Tunggak, ditetapkan sebagai tersangka. Maka dengan ini Ki Jarot divonis tujuhbelas tahun kurungan penjara.” Jelas ketua hakim, disertai oleh ketok palu tok! Tok! Tok!.
Merdeka!
Bagaimana dengan pemusyawaratan desa?