“Mbah,sampian masih bersemangat melakukan kerja revolusi?.”
“Dari mana kau dapat kata ‘revolusi’ itu?.”
“Setidaknya aku tidak terlalu jauh untuk tahu Soekarno.”
“Sayang, jasanya dilupakan. Tapi aku masih semangat melakukan kerja revolusi. Bukan karena BK itu, tapi karena kamu, nak. Matahariku.”
Yanto tersipu, pipinya memerah,
“Kau kenapa nak?.”
Seketika Yanto tergeragap, menyambar mbahnya, mendekapnya erat.
“Nak, nak!” Sanikem mencoba mberontak, sia-sia, tubuhnya sudah lapuk, “terlalu kencang nak,lepaskan.”
Yanto acuh, dan malah menciumi mbahnya. Sungguh, pada sore menjelang maghrib itu, suasana penuh kemenangan. Layak jika dibarengi dengan percikan petasan kembang api ke udara, agar dunia tahu, di sini, di Tunggak, akan ada perubahan menuju kedamaian abadi dan keadilan sosial.
Cuma itulah pegangan rakyat desa, Tunggak, yang tidak berpendidikan tinggi dan hanya – kebanyakan dari mereka – tamat Sekolah Dasar saja. lalu apalagi yang mereka tahu tentang negara, kecuali Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
(8)
Beberapa hari setelahnya,