Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Geger Desa

27 Juli 2016   09:03 Diperbarui: 28 Juli 2016   04:37 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: jokowidiary.blogspot.com

(1)
Sebuah penampakan masa depan,

Di luar sana, banyak sekali cercaan oleh, perangkat desa, tuan tanah, militer, petani kaya, Ijon, lintah darat. Tingkah lakunya yang dianggap kontroversial, nyeleneh, sehingga banyak kekagetan, kritikan, sampai celaan yang tak kurang-kurang membonsai Yanto. Ia sabar dan tetap tabah, memendam amarah dan tetap menampilkan sosoknya, yang ramah dan bijaksana, kepada siapapun tanpa terkecuali.

Sejak naiknya Yanto (seorang pemuda) jadi kepala desa dan menggantikan Ki Jarot (orang tua bodoh dan korup). Sebagian besar perangkat desa yang lebih lama, jika boleh disebut senior. Telah disingkirkan oleh Yanto dari jabatan sebagai perangkat desa. Hampir kesemuanya diisi oleh pemuda. Ia tahu, pemuda adalah pelopor sekaligus penggerak. Siapa sadar dan mampu memanfaatkan potensi dan energi pemuda akan meroleh keberhasilan sebesar-besarnya. Jika itu pemerintahan, maka akan memperoleh kesejahteraan dan keadilan yang sebenar-benarnya.

Oleh karena keseluruhan antek Ki Jarot, termasuk yang dianggap senior dalam perangkat desa, telah disingkirkan, maka silih berganti, Yanto yang mendapati orang-orang yang menjadi oposisinya. Mereka yang kerap mengganggu kerja dan program progresif desa yang ia canangkan. Mendapat tekanan itu, Yanto tetap kuat, itu karena ia mendapat kepercayaan rakyat Tunggak, terkhusus Sanikem dan Suminyem.

Dua orang sesepuh desa itu, dianggap oleh Yanto adalah panutannya. Keduanyalah yang  memberikan pengertian yang menggelitik tentang adat desa. Dimana ajaran ‘bapakisme’ yang kukuh di desa Tunggak, pengagungan se-agung-agungnya pada orang tua, dianggap menjadi muara tidak majunya sebuah desa, malah lambat, bahkan mundur. Dan dari sesepuh itu, Yanto diiringkan menduduki kursi kepala desa. 

Sebelum Yanto memimpin Tunggak, berbelasbelas bahkan berpuluhpuluh tahun, lamanya, desa Tunggak kurang mengalami kemajuan, bahkan kemunduran. Jalanan aspal berlubang, akibat bekas genangan hujan, dan tekanan truk-truk yang bertonton, tak juga dibenahi. Distribusi macet. Saluran irigasi yang tidak segera dibenahi, dan pengairan ke sawah-sawah akhirnya irit, atau boleh disebut keringkerontang. Tahukah, apa akibatnya? Rantai ekonomi tidak berjalan semestinya, pemasukan menurun, hasil panen langka, tanaman cepat busuk Dan rakyat Tunggak pun: miskin menderita.

(2)
Dan inilah isi dari pada kedalaman ‘masa depan’ di atas:

“Apa perlu diganti nama desanya? Mbah” Tanya seorang cucu pada kakeknya, setelah panjang lebar mendesas-desuskan seputar desa.

Husy! Dulu, Tunggak,desanya maju pesat”. Mbah Sumiyem mengenang, masa silamnya yang megalomaniak.

Lha itu kan dulu tho mbah, sekarang Tunggakmundur pesat!, ”Yanto membalikkan logika Mbah-nya, “Lhaterus bagaimana sekarang? Penduduk berkeluh kesah lho” Yanto minta keterusterangan.

MbahSumiyem masih terdiam, matanya menatap kekosongan. Mungkin ia masih meneropong kegemilangan dan keemasan desa Tunggak. Yang walau sudah menjadi debunya sejarah, setidaknya bisa menenangkan keguncangan jiwa cucunya.

Kokdiam saja Mbah?,” Yanto, memperhatikan Mbahnya yang membisu, sesekali menggoncang-goncang tubuh rentanya. “Mbah dengarkan aku tho, Tunggak Mbah, Tunggak Mbah,desa sampian kerampok maling, maling-maling berpici dan berdasi”.

Husy! Dijaga ucapanmu nak, ndak baik berucap begitu. Mengumbar aib seseorang yang belum kentara buktinya,” Sekarang Mbah Sumiyem masuk lagi ke dunia nyata, yang kekinian, menetak cucunya yang mulai kurang ajar. “Tingkahmu, kok jadi kasar begini tho, nak”. Ia mendeham dan mengambil nafas, besarbesar.

“Habisnya Mbah, sampian mbisu”.

“Aku masih berfikir, nak, sabar”.

“Lalu? sebentar lagi BBM mau dinaikan sama Pak Harto, mesti harga bahan di pasaran naik juga. Tunggak wis ambruk mbah. Bagaimana kuat beli-beli barang yang serba naik”. Yanto menghening sejenak, “Mbah piye tho, sampian takut sama Babinsa mbah, "Intrik Yanto

Nak, jaga bicaramu! Sekali lagi. Aku sikberfikir, sabar”. 

Mbah, Mbah... ”Lalu beranjak lah Yanto, tak sabar menunggu-nunggu keputusan Mbah Sumiyem, dan diambillah capil dan mengayuh sepeda yang teratasi wadah. Hari sudah semakin panas, matahari kian memuncak, tak ada waktu berlama untuk ke sawah.

(3)
Sumiyem lari tergopoh-gopoh, rasanya baru kemarin ia muda dan sekarang tua, badannya berat tak kuat dijinjing. Dengan suara sekencang-kencangnya, tapi itu bayanganSumiyem (belaka), kenyataannya yang keluar: parau. Memanggil-manggil cucunya, kemarahan cucunya bisa-bisa membuatnya tidak nyaman di rumah, ia hanya hidup berduaan dengan cucunya: Yanto. Ia harus berkemauan hidup, layaknya Yanto yang muda, bukan pasrah dan menyerah, sebab umur yang kian meringsek ke kuburan.

Orang-orang di sekitaran pun membantu mengalirkan arus panggilan, yang dipanggil sadar, dan menoleh. Sumiyem mengumbar senyum lebar dan tangannya melambai-lambai, Yanto pun datang.

“Apalagi Mbah?”

“Kamu sungguh ingin desa Tunggak bisa kembali pulih?.”

“Jelas!”

“Sanikem, kamu kenal?”

Oh,Kakek-kakek yang berbadan gempal, berjenggot dan humoris itu, mbah? ”, Mengawang pandangan Yanto, sebentar,  menuding ke sekitaran arah rumah Sanikem, “Seberang rumah kita, rumahnya kan, mbah?”.

Sumiyem mengangguk, pelan-pelan.

(4)
Keesokan hari,

Dari Sumiyem, ia mendapat titah: mendukung Mbah Nikem naik kepala desa, ia juga memang berkemauan keras mewujudkannya. Sumiyem memberikan penerangan, bahwa Sanikem adalah orang yang disegani oleh orang-orang perangkat desa, dan terkhusus militer.

Mitosnya, Sanikem menyimpan kesaktian yang mampu menyihir seseorang. Yanto meragukan, tapi Sumiyem tegas-tegas menggelontorkan fakta-fakta, masa silam.  Ada yang tidak bisa bersuara, atau sakit tak sembuh-sembuh, atau mendadak jatuh miskin dengan sebab tak jelas, dan itu terjadi, seringkali setelah orang-orang menyakiti hati Sanikem.

“Oh, oleh sebab itu sampian mendukung MbahNikem?, ”Yanto menetak.

“Bukan nak, Bukan nak” Mbah Sumiyem membesarkan suaranya, jiwanya yang bijaksana terpanggil, dan menundukkan Yanto, “Dengarkan dulu, nak!”

“Engge, Mbah”Kalem, jawab Yanto

“Nikem, sudah lama sekali tidak kelihatan kesaktiannya. Mungkin itu sebabnya, para tentara sewenang-wenang, memaksa rakyat mengeluarkan upeti, ”Sumiyem mengenang aksi anarkis tentara saat: memukul, menyabet, mendobrak, menggertak, menghardik, dengan pakaian preman yang seolah-olah bukan tentara dan kesemuanya itu yang membuat ia gemetaran, dan trauma mendalam, sampai sekarang, “Dan, tentu itu permintaan perangkat desa, Ki Jarot, kepala desamu sekarang. ” Tak mampu Sumiyem menerus-neruskan, menjelas-jelaskan, setiap kata yang terletup dari mulut seakan moncong bayonet menuding dengan ancaman. Dan siap merogoh dan menusuk lubang mulutnya.

Mendadak ditutup mataSumiyem, dan Yanto memandang kaku, diam, belum menanggapi. Masih menunggu Sumiyem berbicara, bibirnya masih belum mau terkatup:

“Lagi,  kau perlu tahu walaupun desa dalam kepungan tentara dan kekuasaan Ki Jarot. Tak satupun dari mereka menyentuh  Nikem”. Sumiyem membesarkan suaranya.

Hah,benarkah mbah?,aku memang tidak pernah melihat rumah MbahNikem didatangi tentara atau Ki Jarot sendiri”.

“Bahkan, menyentuh rumahnya pun tidak,” Keyakinan Sumiyem meningkat, alasan-alasan, kenapa harus Sanikem jadi kepala desa, semakin memperkuat kuda-kudanya. “Iya nak, Mbah Nikem dukung menjadi kepala desa, dukung sepenuh-seluruh. Ajak semua teman-teman se-karang taruna, sanak saudara, petani-petani, dan semuanya seisi Tunggak. Gambarkan sosok Sanikem dan yakinkan kepada mereka: bahwa satu-satunya harapan Tunggak hanyalah Mbah Nikem, lainnya tidak. Ingat ya nak hanya Mbah Nikem”. Uhuk-uhuk, batu keras Sumiyem kambuh, juga sebagai tanda titik.

Mbah Nikem sendiri bagaimana mbah? Apa iya, beliau punya kehendak juga untuk maju.”

“Itu urusanku, aku yang bicara dengan ia. Tugas kamu: menggembar-gemborkan ke seluruh warga bahwa Mbah Nikem atau Sanikem harapan satu-satunya. Ketika warga banyak memperbincangkan Nikem dan terdengar ke telinga Nikem bahkan Ki Jarot dan antek-anteknya, kau sampaikan kepadaku. Ingat, ingat, baikbaik ya nak, M b a h N i k em. ”Sumiyem menyakinkan Yanto, sambil menetak dan mengeja.

“Baik, aku pamit dulu.” Ia jinjing sekarung tas, dan celurit tergenggam.

(5)
Sepekan, berlanjut sebulan, dan dua bulan lamanya. Dimana-mana dan siapa saja, Yanto singgah dan bertatap muka, maka yang ia obrolkan adalah mengenai Tunggak, dan selanjutnya opini masyarakat diiring untuk meyakinkan Sanikem, adalah solusi dari kemunduran Tunggak yang disebabkan ulah perangkat desa, terkhusus Ki Jarot dan kawan-kawannya, yang korup, premanisme, rakus, dan congkak.

Sementara, warga Tunggak mulai sadar akan pembodohan yang Ki Jarot lakukan sampai ghiroh perlawanan mereka mulai nampak. Yanto bukan seorang sarjana, itu keterbatasannya, sehingga ia tidak bisa menerangkan sedetail-detailnya tentang keadaan Tunggak. Tapi kurang lebih ia faham benar aturan main dalam pemerintahan desa, terutama mengenai aturan main (hak dan kewajiban) kepala desa.

Ia juga tidak bisa menulis, seandainya bisa pun akan dimanfaatkannya menyebar selebaran ke rumah, warung kopi, masjid, tempat-tempat jagongan. Beruntung, ia terampil merangkai kata, mengelola alur pembicaraan, memperagakan gaya muka dan tubuh. Di tambah ketulusan dan gairahnya, itu yang membedakan ia dengan sarjana pada umumnya, itu pun jika ia sadar ia lebih hebat dalam arti sebenar-benarnya.

 Kebodohan warga selama ini mulai teratasi. Dengan menjelaskan aturan main desa, tindakan dan tingkah laku perangkat desa, penindasan sampai pemerasan. Setidak-tidaknya ada beberapa pertanyaan menggelitik yang mereka gelontorkan:

Pertama: “Kapan Ki Jarot terpilih jadi kepala desa ya? Sepertinya sudah lama sekali, rasa-rasanya, ketika umurku enam tahun, sampai duapuluhlima tahun ini masih Ki Jarot saja kepala desanya. Tak fikir, selama-lamanya, seumur hidup. Oh, jebule ngunu tho

Kedua: “Aku kok tidak tahu, ada aturan begitu. Kalau aturan mainnya sudah jelas, kenapa tidak ada pergantian? Atau sekedar pengumuman kepada warga. Kalau tidak samasekali, itu curang namanya.”

Ketiga: “Aku kenal Mbah Nikem, ia memang setara dengan Ki Jarot dalam pengaruhnya. Tapi jika aku timbang-timbang, Mbah Nikem lebih unggul.”

Ada testimoni yang bernada humor:

Keempat: “Kenapa harus orang tua yang diajukan, kenapa bukan kamu saja? (hehehe) Orang tua sudah terlalu lemah, sakit-sakitan dan pikun untuk memimpin.”

Bahkan, ada yang begini radikal:

Kelima: “Kalau begitu, ayo! Kapan kita mainkan. Yanto, aku menunggu ajakan orang seperti kamu sejak dulu.”

Setiap pulang ke rumah, wajah Yanto sumringah, penuh kemenangan. Setiap itu pula, Sumiyem tergeleng-geleng. Paham benar, apa yang telah terjadi, dan yang akan disampaikan kepada dirinya. MakaSumiyem, pun turut sumringah.

(6)
Pada suatu senja, seorang lelaki berbadan bungkuk, berjalan lambat-lambat dengan tongkatnya. Matanya menatap tajam ke depan. Rasanya, tubuhnya yang lapuk termakan usia tak mampu membendung gairah semangat mudanya kembali.

Berkat cucunya, api pergerakan Suminyem hidup kembali. Semangat itu tidaklah membakar, karena bukan upaya pelampiasan amarah, tapi semangatnya menerbitkan kehangatan karena ketulusannya. Keyakinan Sumiyem yang sempat memuai, kini mengeras kembali. Ia ingin melanyurkan semangat dan meyakinkan teman sejawat dan sepermainannya dulu: Sanikem.

Rumah itu setengah terbuka, tanpa terkonci. Dari luar nampak lengang di dalam rumah. Selintas Sanikem lewat, melintasi kamar, menyapu pandang ke penjuru rumah, dan melintas lagi ke belakang rumah. Buru-buru Sumiyem mengejar dengan pandangnya. Suaranya yang parau memanggil-manggil. Sanikem terlanjur ke dalam. Diketok-ketok berulang, tapi tuan rumah juga tak kunjung menampakan batang hidung, barang secuil pun.

Lambat laun, terdengar sayup dan lirih:

“Iya waalekomsalam, masuk-masuk, silahkan, maaf aku sedang repot. Sebentar, silahkan masuk dulu. ”Hanya suara, tanpa menunjukan jatidirinya.

Sumiyem masuk ke dalam, langsung secepat kilat menyambar bangku, tubuhnya tak kuat menopang lebih lama:

Assalamoalekom”. Sambil Sumiyem menata letak pantatnya.

“Waalekomsalam, kok kedengarannya kamu ya nyem? ”Terdengar suara dari dalam.

“Iya”

“Wah, tamu istimewa!,” terdengar meriah suara dan gerakan jingkrak-jingkrak, “Sebentar-sebentar ya!.”

Yang bersuara kini keluar, menyapu pemandangan, dan didapati Suminyem terduduk lesu. Dengan badannya yang gemuk, dempal, laksana gorila sedang melangkah pelan dan sekaligus berat. Mereka bersalam-salaman, berdekapan dan berpelukan, seakan lama tak jumpa.

“Jadi itu kebutuhanmu ke sini, nyem. Aneh sekali kamu membicarakan politik.”

“Aku tidak bicara kekuasaan lho. Ada hal lain yang musti kau sadari kem. Keadaan sudah darurat.” Sumiyem menata letak duduknya, lalu mengusap-usap batang hidungnya yang tak mau mancung.

“Darurat bagaimana nyem,” Suminyem sempat terkejut, tapi lumrah, Sanikem jarang meninjau ke lapangan langsung. Sedang pengaruh Sanikem, itu yang tidak bisa ditawar.

“Tolong jelaskan.” Sanikem menetak. Kini pembicaraan mulai menjurus.

Suminyem menjelaskan dengan sedetail mungkin. Ingatannya belum begitu buruk untuk mengingat informasi dari Yanto. Sanikem mendengarkan betul. Tidak segera ia membalas keterangan dari Suminyem. Terus ia dengarkan. Terkadang ia balas dengan anggukan, gelengan, dan senyuman. Suminyem begitu berapi-api menjelaskan, sesuatu yang aneh bagi Sanikem, bahkan sampai menggebrak-gebrak dinding meja, hanya sekedar meluapkan emosinya.

Dan ketika Suminyem memohon Sanikem atas nama rakyat desa Tunggak, maju sebagai kepala desa:

“Kesaktianku sudah lama hilang, itu yang harus kau ketahui dulu nyem. Potensi Jarot sampai segan terhadapku mungkin tidak ada lagi. Tapi aku sadar betul dengan keterangan yang kau berikan mengenai keadaan desa kita yang sudah sedemikian carut marutnya.”

“Lalu, bagaimana keputusanmu?”

“Sebentar, aku pertimbangkan dahulu.”

“Sudah kukatakan, rakyat mengarah padamu. Jangan berlama-lama, majulah sahabatku,” Suminyem menyakinkan.

“Pertimbanganku ini banyak. Perkiraanku, ini akan menumpahkan darah.”

“Darah! Kau bilang.”

“Tentu, nyem. Jarot tidak mungkin tidak ngancem. Juga tidak mungkin antek tenteranya juga ikut bergerak. Ah, semboyannya tentara untuk keamanan dan stabilitas pembangunan ekonomi. Itu hanya bualan, aku tahu betul. Dan kalau tidak dimulai perubahan, rakyat akan terus sengsara.”

“Terus, bagaimana.”

“Tunggu, aku masih menimbang-nimbang.”

Lama mereka membisu. Beberapa kali Suminyem membuang abu rokok dan menghisap lagi. Sebentar habis, lalu mengapikan rokok lagi. Terus dan batang-batang rokok pun tinggal putung-putungnya. Mereka tetap membisu. Sanikem juga turut menghirup rokok, sesekali menyeruput kopi. Dan:

“Sebentar, aku mendapat idea.”

Suminyem diam, menunggu Sanikem mengangkat suara lagi.

“Tidak jadi”

Ah, kemjangan plin-plan. Keadaan sudah mendesak. Idemu?.”

“Bagaimana kalau Yanto saja yang marak jadi kepala desa”

“Terus kamu?.”

“Aku tetap maju, tapi hanya sesaat saja. semua kekuatan, termasuk perangkat-perangkat desa dan tentara Jarot aku singkirkan, ketika jadi kepala. Setelah kondisi sedemikian stabil dan kondusif. Yantolah yang akan menggantikan aku. Mengerti?”

“Iya, aku mengerti.”

“Sekarang aku butuh bukti-bukti tindakan kekerasan dan korupsi yang bisa menjerat Jarot ke pengadilan. Mau tidak mau dia akan mundur dari kepala desa. Pada masa kekosongan jabatan, kita desak supaya terbuka, dan mengajak musyawarah. Jika Jarot terjerat di pengadilan dan bahkan mendekam di balik jeruji. Tanpa aku maju, Yanto pun mampu segera marak.”

“Terus, nanti rakyat akan mengira ada sesuatu antara kita berdua dengan Yanto. Jangan terlalu licin kem” desak Suminyem.

“Peranmu aku butuhkan, nyem.”

“Peran, bagaimana? Aku tidak paham politik kem.

“Berperan menjadi jembatan dan pengarah agar tidak ada kesalahpahaman. Aku amat-amati tinjauan dan nalar politikmu lumayan nyem.”

“Ada-ada saja kamu, terus apalagi?”

“Detailnya, aku sampaikan besok. Yanto mintalah mencari bukti-bukti tadi.”

“Baik.”

Mereka berpisah.

(7)
Semua karena Yanto, kemarahannya beberapa bulan lampau, yang mendesaknya bergerak – setua ini disuruh mengurus duniawi, apalagi itu kekuasaan, tidak kah menambah dosa-dosa, dan mengikis pahalaku kelak di akherat nanti. Hanya kebanggaan, hanya rasa bangga saja pada cucunya, Yanto, yang sedemikian prestisius dan ulet berbuat dan berkorban demi wujudnya perubahan.

Bisakah ini menjadi jariyah kelak di akherat?. Seingatnya kata Kiai yang perna memberi pengajian di masjid Nurul Haq, desa Tunggak, berujar: “Menegakan kebenaran itu bagian dari amal sholeh.Jika bermanfaat untuk generasi selanjutnya, maka langgeng pahalanya sampai di hari akhir”. Semakin memantabkan bathinnya. Sambil berandai-andai dan merenung, ia tunggui Yanto.

Pemuda itu nampak dari kejauhan rumah, ia mengenakan caping, sepedanya sebatas dituntun, berjubel gabah memenuhi karungnya. Tampak Yanto mengusap-usap kepala, keringatnya berkilau-kilau, capingnya di lepas dan tergantung pada leher. Dalam hati Suminyem: aku bangga padamu, sisa umur di hari-hari terakhirku (terdengar romanstisme tapi maknanya kuat) aku baktikan untuk generasimu dan seterusnya.

 “Mbah,sampian masih bersemangat melakukan kerja revolusi?.”

“Dari mana kau dapat kata ‘revolusi’ itu?.”

“Setidaknya aku tidak terlalu jauh untuk tahu Soekarno.”

“Sayang, jasanya dilupakan. Tapi aku masih semangat melakukan kerja revolusi. Bukan karena BK itu, tapi karena kamu, nak. Matahariku.”

Yanto tersipu, pipinya memerah,

“Kau kenapa nak?.”

Seketika Yanto tergeragap, menyambar mbahnya, mendekapnya erat.

Nak, nak!” Sanikem mencoba mberontak, sia-sia, tubuhnya sudah lapuk, “terlalu kencang nak,lepaskan.”

Yanto acuh, dan malah menciumi mbahnya. Sungguh, pada sore menjelang maghrib itu, suasana penuh kemenangan. Layak jika dibarengi dengan percikan petasan kembang api ke udara, agar dunia tahu, di sini, di Tunggak, akan ada perubahan menuju kedamaian abadi dan keadilan sosial.

Cuma itulah pegangan rakyat desa, Tunggak, yang tidak berpendidikan tinggi dan hanya – kebanyakan dari mereka – tamat Sekolah Dasar saja. lalu apalagi yang mereka tahu tentang negara, kecuali Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.

(8)
Beberapa hari setelahnya,

Yanto memberikan informasi kepada Suminyem, bahwa antek-antek Ki Jarot sudah mengetahui desas-desus akan naiknya Sanikem menjadi kepala desa. Yanto meneruskan, baginya sudah pasti Ki Jarot mengetahui itu. Dan sebentar lagi tentu akan ada tindakan-tindakan dari mereka.

“Sampian lebih paham mbah,”

“Mengerti aku nak, lalu warga bagaimana? Termasuk pemuda-pemuda.

“Mereka siap mendukung MbahSanikem, nyawa taruhannya.”

“Baiklah, sudah kau siapkan bukti-bukti tindakan jahat Ki Jarot, tempo hari yang aku minta.”

“Sudah mbah, ”Disodorkan setumpuk map, penuh angka-angka.

Suminyem mengenakan kacamata besarnya, berdebu, ia usap-usap,

“Lama tak kupakai,” Diperiksa, satu demi satu. “Aku tidak seberapa paham, tapi kuyakin disini, disini, lihatlah.” Suminyem menuding angka-angka, dan Yanto mengikuti letak tangan Suminyem.

“Sudah diperiksa juga oleh teman-teman yang pintar matematika. Misal soal anggaran jembatan sekian, kalau dilihat dari bentuk dan bahan bangunan jembatan, tak mungkin sampai kisaran sekian.”

“Oh, sudah disiapkan catatannya?.”

“Setumpuk malah.”

Di luar terdengar ada langkah kaki dan sekilas ada bayangan terlintas ke dalam rumah. Lamat-lamat Yanto melirik ke belakang. Dan diputar seketika letak arah tubuhnya, sayang, yang dicari kabur (atau sembunyi) dari pandangan.

“Ada apa nak, aku kaget.”

“Kelihatannya, rumah kita dimata-matai mbah. Sampian tenang saja ya mbah.”

“Baik, nak.”

Semua pintu ditutup, jendela termasuk gorden dihijab rapat. Sementara, begini saja, keadaan rumah terasa aman. Minimal tak bisa diawasi dari luar.

(9)
Aksi-aksi bejat Ki Jarot dimulai. Kali ini pergerakan tentara yang menyerupai preman desa itu lebih samar, lebih halus. Dipilih mereka waktu malam, di saat para warga terlelap. Pergerakan preman palsu itu hanya ingin mengorek informasi, siapa dalang dari semua ini. Jelas mereka melakukan ancaman dan intimidasi kepada warga Tunggak yang tidak berbicara.

Sebagian warga membongkarnya. Mereka ketakutan. Esoknya mereka meminta maaf kepada Yanto atas kekhilafan mereka. Dan Yanto memaklumi, pun dirinya sudah siap lahir batin atas segala konsekuen yang bakal diterimanya. Termasuk konsekuensi keamanan bahkan nyawanya sendiri. Lahir batin demi revolusi.

Dari warga Tunggak itu, Yanto tahu Ki Jarot sedang masuk dalam pemeriksaan oleh kepolisian Grobogan (setingkat kabupaten). Dari situ saja Yanto tahu, kejahatan Ki Jarot tidaklah sembarangan. Rezim Pak Harto yang korup, mestinya bakal ditiru oleh kaki tangannya, dan tentu kejahatan mereka dilindung, asal tetap dalam ‘lingkaran setan’ Pak Harto. Tapi kalau sampai diciduk, entah Pak Harto atau orang di bawah Pak Harto tapi masih di atas Ki Jarot merasa dikhianati atau kejahatan Ki Jarot memang tidak bisa diampuni. Atau Ki Jarot sendiri adalah sebatas ‘tumbal’.

Analisa Yanto masih sebatas duga sangka, belum valid seratuspersen. Hanya ia teringat tentang pembantaian para lelaki bertato oleh aparat keamanan, padahal sebelumnya mereka berpihak kepada Pak Harto, apalagi saat kampanye partai Islam, P3. Wajar, ia seorang lulusan Sekolah Dasar.  Jadi, apakah Ki Jarot sebatas tumbal Pak Harto? Bisik dalam hatinya.

Dalam waktu sepekan, rumahnya selalu ada yang mengintai. Seandainya gerakan Yanto terbukti terang dan ada bukti fisik atau sekedar pengakuan saksi, Yanto bisa dihabisi. Sayang sekali, warga Tunggak tidak ada yang mau menumbalkan (mencundangi diri) menjadi saksi. Warga Tunggak memang bodoh dalam teori dan ilmu pengetahuan, tapi jika berkenaan moral, mereka kukuh. Baginya, warga Tunggak, tempo hari, yang membocorkan keterlibatannya, ia anggap tidak tuntas terdidik sebagai warga Tunggak, seasli-aslinya.

Pada waktu mendapat kepastian rumah mereka terbebas dari pengintaian. Yanto dan Suminyem bergegas ke rumah Sanikem, untuk menyusun lagi rencana-rencana gerakan. Sekaligus mempertemukan Yanto dengan Sanikem, ia belum pernah bertemu empat mata seperti saat yang dituju ini. Terlebih posisi Yanto yang akan didorong oleh Sanikem menjadi kepala desa.

Suminyem belum membuka pembicarakan setitik pun pada Yanto perihal itu. Ketakutannya, Yanto malah mengendor. Karena ketokohan Sanikem di desa yang kuat, dan sangat diunggulkan oleh Yanto. Bila Yanto tahu Sanikem melempar mandat – dan kerja revolusi – itu kepadanya. Jika Yanto sanggup, maka tiada masalah, tapi jika tidak bagaimana. Siapa lagi yang mampu membawa perubahan. Sanikem tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia fikirkan matang-matang.

Dengan gerakan yang halus dan berjingkat-jingkat tanpa membunyikan suara sekecil apapun, menuju ke rumah Sanikem.

(10)
Di rumah Sanikem,

Nyem,kau dapat undangan perihal musyawarah desa?.” Suminyem memulai pembicaraan terfokus.

“Iya.”

“Kau datang?.”

“Kalau kau?.”

“Aku datang.”

“Aku juga.”

Pandangan Sanikem  berpindah menuju kepada Yanto. Merasa diperhatikan, Yanto merunduk dalam-dalam:

“Kau yang namanya Yanto,” Yang dipanggil mengarah ke Sanikem. “Kau siap bila terpilih menjadi kepala desa?, jawab.”

“Tidak, aku tidak siap mbah, sampian lebih layak.”

Nak,aku sudah tua renta. Aku dan Suminyem tidak mungkin mengurusi desa lagi. Aku sudah agak pikun untuk mengingat-ingat. Tubuhku juga tidak sekuat seperti kamu. Kalau warga Tunggak (tetap) memilih aku. Maka aku tidak akan lama memimpin. Dan selanjutnya kuminta secara pribadi mengharap kamu jadi kepala desa.”

“Tapi aku masih muda mbah. Masih ada yang lebih sepuh. Bukankah itu melanggar adat desa Tunggak, dan masih berlaku.”

Nak,kau tahu aku siapa?.”

“Sesepuh desa.”

“Aku yang memintamu maju nak,jika sudah ada permintaan seperti ini, adat itu runtuh. Adanya adat itu karena orang tua juga tidak mau dilangkahi dan diungguli oleh yang muda. Itu kepentingan orang tua untuk mengukuhkan posisi kedewaannya nak. Perlu kau ketahui, dulu aku juga seperti kamu. Malah aku berkeinginan maju sebagai kepala desa.

Aku menganggap pada saat itu, orang tua cenderung bodoh dan korup. Aku tidak bisa membiarkan itu. Maaf aku keluarkan bahasa kasarku,” Yanto mengangguk, tapi Suminyem mulai mencemaskan cucunya, “Suminyem kau dorong dan dampingi cucumu. NakYanto, aku dan Suminyem sudah tinggal menunggu ajal. Dan sebelum ajal kami, kami ingin merubah tatanan desa Tunggak ini lebih adil. Paham nak?”

“Tapi mbah. Aku benar-benar terkejut dengan pernyataan mbah.”Pandangan Yanto menyapu Sanikem dan Suminyem. Melihat ekspresi cemas Suminyem, Yanto meminta arahan. “Gimana mbah nyem?”

“Kau calon orang besar nak. Sudah selayaknya kamu mendapat tempat....” Belum sempat diteruskan Yanto mendekap erat Suminyem. Dan terhisak. Melihat sepasang kakek dan cucu itu, membuat Sanikem ingin turut terhisak. Sebentar kemudian dilepaskan,

“Bagaimana nak Yanto?”

“Aku siap” Yanto memandang Sanikem dan Suminyem secara bergantian. Suminyem tetap saja memasang wajah cemas.

“Bagus!”

Alhamdulillaherobbel ngalamen.”

“Asalkan dengan syarat mbah?”

“Apa nakYanto?”

“Sampian dan MbahSumiyem bersedia menjadi penasehat desa?”

“Tanpa kedudukan penasehat pun, kapanpun kami siap memberikan arahan nak.”

“Iya, cucuku.”

Selanjutnya pertemuan itu dilanjutkan dengan memperbincangkan perihal kemungkinan yang terjadi dalam musyawarah desa. Sanikem dan Suminyem membangun rencana untuk berkomunikasi dengan para kamituwo  (kepala dusun), agar bersepakat. Yanto dan teman-temannya diminta untuk mengawal kasus Ki Jarot, dan jangan melewatkan setitik pun. Apalagi besok siang adalah sidang putusan perkara Ki Jarot. Bebasnya Ki Jarot dari jerat hukum akan mempengaruhi musyawarah besok.

(11)
Pagi yang masih ranum. Masih sangat muda untuk beranjak dari peraduan. Bagi segerombolan pemuda-pemudi desa Tunggak berbeda. Justru karena hari ini teramat istimewa bahkan keramat bagi mereka, sampai mereka begitu tergesa-gesa ingin segera berganti hari.

Pemberangkatakan ke kota (Grobogan) bukanlah tanpa sebab yang jelas. Supaya tidak diketahui oleh antek-antek Ki Jarot (termasuk tentara) maka pemberangkatan harus sepagi mungkin.

Orang-orang yang melihat segerombolan itu seperti hendak ke pasar dan tidak mencurigakan. Yanto mempersiapkan dan mengkondisikan masa. Setelah diabseni, semuanya telah lengkap. Pemuda-pemudi berjumlah limabelas itu siap mengawal persidangan putusan vonis kejahatan Ki Jarot.

Ketika pick updatang, mereka bergegas, meringsek naik.

(12)
Kepergian Yanto dan sahabat-sahabatnya digiringkan oleh Sanikem, Suminyem dan sesepuh desa. Satu per satu dari pemuda-pemudi itu bersalam-salaman dengan para sesepuh. Bagi sesepuh desa di tangan pemudalah perubahan dan kemajuan desa dapat tercapai. Maka sesekali perlu mengalah. Dan gagasan itulah yang dipelopori oleh Sanikem kepada sesepuh dan keseluruhan warga. Sebagian dari pemuda-pemudi yang terhisak, seakan bena-benar ber-jihad, barangkali tak kembali lagi, terbang bersama malaikat ke nirwana.

Segera setelah penggiringkan keberangkatan para serdadu desa Tunggak itu. Sanikem mengajak para sesepuh-sesepuh desa untuk berkeliling ke dusun-dusun (konsolidasi masa). Setidaknya ada tiga dusun: Sumber Rejo, Rejosari, Arjosari. Sedang yang sudah termasuk dalam barisan Sanikem baru dusun Sumber Rejo dan Arjosari. Baru kemudian ke dusun Rejosari. Dusun itu agaknya susah untuk diajak bersatu, karena kamituwo di sana masih adik kandung dari Ki Jarot, namanya Ki Broto.

Didatangilah kediaman kamituwo Rejosari, Ki Broto. Setelah dijelaskan panjang lebar tentang keadaan desa, kekosongan jabatan, dan keadaan kakaknya Ki Broto yang sedang diadili. Ki Broto mengatakan, kalau ia tidak dapat menghadiri musyawarah desa yang akan membahas berkaitan pergantian kepala desa. Agak didesak oleh Sanikem dan dielu-elukan oleh Suminyem, tetap, Ki Broto tak bisa hadir. Alasannya, bagaimana mungkin seorang adik kandung sendiri membiarkan kakaknya tersiksa, sedang adiknya bereforia jabatan.

Sebelum beranjak, Sanikem menerangkan maksud utamanya. Kalau pun toh tidak dapat hadir setidaknya ia menyepakati usulan dari Sanikem. Bahwa Ki Broto dibujuk rayu oleh Sanikem untuk turut mendukung Yanto sebagai kepala desa.

Seketika Ki Broto mengamuk, dan berkata keras, bahwa bagaimana bisa seorang kepala desa itu masih muda, sedang kamituwo-kamituwonyaadalah orang-orang sepuh. Ia tidak rela diperintah dan kepalanya diinjak-injak oleh pemuda. Hitung-hitung Ki Broto adalah termasuk penguasa desa Tunggak, wajar, nafsu kekuasaannya masih melekat, dan seketika ada tanda-tanda yang mencoba menghanguskan kekuasaan, ia hantam.

Pertemuan dengan Ki Broto, berakhir deadlock. Rejosari tidak termasuk sekutu, final.

(13)
Sampailah gerombolan pemuda-pemudi itu di sekitaran pengadilan negeri Grobogan, tapi tidak turun tepat di depan pengadilan, melainkan di sekitaran sana. Mereka sampai pada pukul 07:45 WIB, pagi. Sedang persidangan masih pada pukul 10:00 WIB, tepat.

Akhirnya mereka mencari tempat lesehan untuk berinstirahat sejenak, berdiskusi, memperbincangkan kemungkinan yang akan terjadi dan alternatif-alternatif yang musti dilakukan bila di luar rencana. Sebenarnya misi mereka tidaklah rumit, hanya mengawal proses persidangan Ki Jarot. Setidak-tidaknya mereka dapat menyelinap masuk secara bergerombol atau terpisah-pisah, keseluruhan atau sebagian, ke dalam ruang persidangan.

Pukul 09:30 WIB, Yanto memberi aba-aba sahabat-sahabatnya untuk bergerak ke pengadilan. Mereka berjalan bergerombol. Pakaian mereka masih nampak seperti orang desa. Memperlihatkan diri mereka seperti orang kesasar. Itu sudah diatur oleh Yanto, agar tidak mencurigakan, dan dipandang lugu.

Nampak lugu adalah satu keuntungan tersendiri jika terlibat dalam persoalan politik, karena lawan akan kesulitan mengindentifikasi kekuatan. Mereka akan memandang lemah, selanjutnya meremehkan dan mengabaikan, padahal itu berbahaya sekali. Sedang perhitungan politik mesti jeli dan akurat, tidak boleh menyianyiakan sepotong pun peristiwa. Itu sudah masuk perhitungan Yanto.

Di depan, gedung pengadilan nampak dijaga ketat oleh para aparat dan pamong praja. Tentara tak hadir, barangkali menjadi saksi. Yanto meminta sahabat-sahabatnya tidak jauh-jauh dari gedung pengadilan. Ia dan satu sahabatnya, Munir, untuk menemaninya ke gedung pengadilan. Melihat orang-orang di sekitaran gedung hilir-mudik, keluar-masuk ruangan, menerbitkan pengertian bahwa gedung pengadilan bebas dimasuki. Sebuah kesimpulan yang sederhana sekali bagi orang berlatar pedesaan yang awam berhadapan hukum dan pengadilan.

Gerombolan Yanto sudah siap meringsek ke gedung pengadilan. Para aparat dengan pentung, memberondong pukulan. Yanto dengan terengah-engah mendorong barisan sahabatnya dan barisan aparat. Keraskeras ia bersuara, kenapa musti dihadang, bahwa jelas bebas keluar-masuk. Yanto menuding ke arah pintu.

“Tidak, ini perintah. Apapun yang mencurigakan, baik orang asing, dilarang masuk!” Bentak salah seorang aparat, sepertinya pemimpinnya.

“Kata siapa asing? Kami warga desa Tunggak adalah korban dari kejahatan Ki Jarot, menolak tunduk.” Salah seorang pemudi, sahabat Yanto, lantang menyanggah.

“Dengarkan! Dengarkan! Wanita bicara, hargai!” Seluruh sahabat Yanto berseru-seru serempak.

Walau dapat menjebol barisan aparat. Tapi sahabat Yanto memilih di luar gedung, setelah mendengar putusan dan ketokan palu ketua hakim bahwa pengadilan bersifat tertutup. Sahabat Yanto memilih bersikap kooperatif. Yanto menduga, ketua hakim telah dibisiki oleh sekitaran orang-orang yang berkepentingan, entah dari pihak Ki Jarot atau pihak mana, yang jelas setelah mengetahui ada keriuhan di luar gedung, suasana pengadilan nampak berubah, eksklusif.

Berjam-jam mereka menunggu. Tak sedikitpun suara dari proses pengadilan menyasar ke  telinga mereka. Yanto memerintahkan seorang sahabatnya yang kelihatan sangat muda, lima belas tahunan umurnya, untuk menyusup. Ia diperintahkan untuk mengaku sebagai cucu dari Ki Jarot. Jika ingin dibuktikan, anak itu sudah faham betul wajah-wajah saudara Ki Jarot. Nantinya akan dituding-tuding kalau itu saudaranya. Dan jika nanti ada ketidakberesan, semisal: bebas dari vonis apapun maka segera keluarlah.

Belum ada sejam, anak itu kembali ke gerombolan sahabat Yanto. Ia mengatakan, bahwa hal yang dianggap beres itu terjadi:

“Tidak beres gimana, jelaskan?” Yanto menetak.

“Ki Jarot bebas dari vonis.”

Gerombolan sahabat Yanto sekali lagi, menggeruduk gedung pengadilan. Laras panjang para aparat sudah siap menyasar ke ketengkorak sahabat Yanto.

“Bapak-bapak yang terhormat,” Kata Yanto di hadapan para aparat, dan dibelakang sudah berkerumun  gerombolannya, “Kami memohon dengan baik-baik, izinkan kami masuk. Kalau Ki Jarot bebas vonis, itu aneh. Kalau di sana tidak ada orang yang berani bersaksi, kami siap seluruhnya jadi saksi. Mohon beri izin lewat. ” Yanto menantang, tangannya mengurai barisan pasukan, malah hantaman bersambut.

Salah seorang sahabat Yanto, melihat pemohon yang masih sekutu dengan mereka. Ia segera berbisik kepada Yanto akan keberadaan Jainuri di dalam.

“Berikan penguatan supaya dia menggiringkan kita masuk.” Jelas salah seorang sahabat Yanto.

“Oh begitu, baik.”

Dengan gemuruh sahabat Yanto, bersorak-sorak, berseru-seru memanggil Jainuri. Jainuri, merasa dirinya keras-keras dipanggil, ia menoleh. Buru-buru ia menghampiri gerombolan warga Tunggak yang ditahan aparat. Bersikeras ia meminta aparat mengalah.

“Bebaskan mereka, biarkan mereka masuk, biarkan,” Jainuri menyambar ketua hakim, meminta pembelaan, “Itu saksi semua Yang Mulia, mereka saksi semuanya. Sekarang saya memiliki saksi. Jadi tidak ada lagi alasan tidak diberikan vonis kepada Ki Jarot.”

Ketua hakim dengan rasa keadilannya yang tersisa, mengizinkan mereka segerombolan pemuda-pemudi desa Tunggak untuk masuk ke dalam ruang sidang pengadilan. Secara gerudukan, Yanto dan sahabatnya masuk ke dalam. Riuh sekali dalam ruangan. Sesekali terdengar: jebloskan Ki Jarot, jebloskan Ki Jarot, tegakan keadilan.

Ketua hakim setelah berunding dengan hakim-hakim yang ada, akhirnya memutuskan:

“Mengingat... menimbang... Ki Jarot sebagai mantan kepala desa Tunggak, ditetapkan sebagai tersangka. Maka dengan ini Ki Jarot divonis tujuhbelas tahun kurungan penjara.” Jelas ketua hakim, disertai oleh ketok palu tok! Tok! Tok!.

Merdeka!

Bagaimana dengan pemusyawaratan desa?

(14)
Dayung kegembiraan sahabat Yanto mendapat balasan yang seirama. Kesulitan musyawarah tidak lagi berarti. Dua dusun sudah satu komitmen dengan Sanikem. Maka dengan perdebatan yang tak kunjung usai yang mempersoalkan ketentuan kepala desa, berakhir dengan pemilihan suara. Secara realistis suara dusun Rejosari, dusunnya Ki Broto masih kalah suara dengan dusun yang berkomitmen pada Sanikem.

Terpilih lah Yanto menjadi kepala desa. Sedang Yanto sendiri berada di kota. Ia masih belum tahu. Para sesepuh desa ingin beruluk ucapan selamat, selamat, selamat, selamat... sayang tidak ada Yanto di tempat. Dan limpahan selamat itu ditujukan kepada Sanikem dan Sumiyem yang mempromotori gerakan perubahan bagi desa Tunggak.

“Bagaimana kem, Yanto belum datang. Perlukah diperintahkan utusan menyusul mereka?”

“Tak perlu nyem,mereka di kota juga sedang merayakan kegembiraan.”

Kokbisa menebak.”

“Kata hatiku.” Ujarnya, Sanikem tersenyum.

 

Surabaya, 27 Juli 2016
Penulis: Much. Taufiqillah Al Muvti, iku arek winginane sore

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun