“Terus, nanti rakyat akan mengira ada sesuatu antara kita berdua dengan Yanto. Jangan terlalu licin kem” desak Suminyem.
“Peranmu aku butuhkan, nyem.”
“Peran, bagaimana? Aku tidak paham politik kem.”
“Berperan menjadi jembatan dan pengarah agar tidak ada kesalahpahaman. Aku amat-amati tinjauan dan nalar politikmu lumayan nyem.”
“Ada-ada saja kamu, terus apalagi?”
“Detailnya, aku sampaikan besok. Yanto mintalah mencari bukti-bukti tadi.”
“Baik.”
Mereka berpisah.
(7)
Semua karena Yanto, kemarahannya beberapa bulan lampau, yang mendesaknya bergerak – setua ini disuruh mengurus duniawi, apalagi itu kekuasaan, tidak kah menambah dosa-dosa, dan mengikis pahalaku kelak di akherat nanti. Hanya kebanggaan, hanya rasa bangga saja pada cucunya, Yanto, yang sedemikian prestisius dan ulet berbuat dan berkorban demi wujudnya perubahan.
Bisakah ini menjadi jariyah kelak di akherat?. Seingatnya kata Kiai yang perna memberi pengajian di masjid Nurul Haq, desa Tunggak, berujar: “Menegakan kebenaran itu bagian dari amal sholeh.Jika bermanfaat untuk generasi selanjutnya, maka langgeng pahalanya sampai di hari akhir”. Semakin memantabkan bathinnya. Sambil berandai-andai dan merenung, ia tunggui Yanto.
Pemuda itu nampak dari kejauhan rumah, ia mengenakan caping, sepedanya sebatas dituntun, berjubel gabah memenuhi karungnya. Tampak Yanto mengusap-usap kepala, keringatnya berkilau-kilau, capingnya di lepas dan tergantung pada leher. Dalam hati Suminyem: aku bangga padamu, sisa umur di hari-hari terakhirku (terdengar romanstisme tapi maknanya kuat) aku baktikan untuk generasimu dan seterusnya.