“Jelas!”
“Sanikem, kamu kenal?”
“Oh,Kakek-kakek yang berbadan gempal, berjenggot dan humoris itu, mbah? ”, Mengawang pandangan Yanto, sebentar, menuding ke sekitaran arah rumah Sanikem, “Seberang rumah kita, rumahnya kan, mbah?”.
Sumiyem mengangguk, pelan-pelan.
(4)
Keesokan hari,
Dari Sumiyem, ia mendapat titah: mendukung Mbah Nikem naik kepala desa, ia juga memang berkemauan keras mewujudkannya. Sumiyem memberikan penerangan, bahwa Sanikem adalah orang yang disegani oleh orang-orang perangkat desa, dan terkhusus militer.
Mitosnya, Sanikem menyimpan kesaktian yang mampu menyihir seseorang. Yanto meragukan, tapi Sumiyem tegas-tegas menggelontorkan fakta-fakta, masa silam. Ada yang tidak bisa bersuara, atau sakit tak sembuh-sembuh, atau mendadak jatuh miskin dengan sebab tak jelas, dan itu terjadi, seringkali setelah orang-orang menyakiti hati Sanikem.
“Oh, oleh sebab itu sampian mendukung MbahNikem?, ”Yanto menetak.
“Bukan nak, Bukan nak” Mbah Sumiyem membesarkan suaranya, jiwanya yang bijaksana terpanggil, dan menundukkan Yanto, “Dengarkan dulu, nak!”
“Engge, Mbah”Kalem, jawab Yanto
“Nikem, sudah lama sekali tidak kelihatan kesaktiannya. Mungkin itu sebabnya, para tentara sewenang-wenang, memaksa rakyat mengeluarkan upeti, ”Sumiyem mengenang aksi anarkis tentara saat: memukul, menyabet, mendobrak, menggertak, menghardik, dengan pakaian preman yang seolah-olah bukan tentara dan kesemuanya itu yang membuat ia gemetaran, dan trauma mendalam, sampai sekarang, “Dan, tentu itu permintaan perangkat desa, Ki Jarot, kepala desamu sekarang. ” Tak mampu Sumiyem menerus-neruskan, menjelas-jelaskan, setiap kata yang terletup dari mulut seakan moncong bayonet menuding dengan ancaman. Dan siap merogoh dan menusuk lubang mulutnya.