“Tunggu, aku masih menimbang-nimbang.”
Lama mereka membisu. Beberapa kali Suminyem membuang abu rokok dan menghisap lagi. Sebentar habis, lalu mengapikan rokok lagi. Terus dan batang-batang rokok pun tinggal putung-putungnya. Mereka tetap membisu. Sanikem juga turut menghirup rokok, sesekali menyeruput kopi. Dan:
“Sebentar, aku mendapat idea.”
Suminyem diam, menunggu Sanikem mengangkat suara lagi.
“Tidak jadi”
“Ah, kemjangan plin-plan. Keadaan sudah mendesak. Idemu?.”
“Bagaimana kalau Yanto saja yang marak jadi kepala desa”
“Terus kamu?.”
“Aku tetap maju, tapi hanya sesaat saja. semua kekuatan, termasuk perangkat-perangkat desa dan tentara Jarot aku singkirkan, ketika jadi kepala. Setelah kondisi sedemikian stabil dan kondusif. Yantolah yang akan menggantikan aku. Mengerti?”
“Iya, aku mengerti.”
“Sekarang aku butuh bukti-bukti tindakan kekerasan dan korupsi yang bisa menjerat Jarot ke pengadilan. Mau tidak mau dia akan mundur dari kepala desa. Pada masa kekosongan jabatan, kita desak supaya terbuka, dan mengajak musyawarah. Jika Jarot terjerat di pengadilan dan bahkan mendekam di balik jeruji. Tanpa aku maju, Yanto pun mampu segera marak.”