Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Geger Desa

27 Juli 2016   09:03 Diperbarui: 28 Juli 2016   04:37 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendadak ditutup mataSumiyem, dan Yanto memandang kaku, diam, belum menanggapi. Masih menunggu Sumiyem berbicara, bibirnya masih belum mau terkatup:

“Lagi,  kau perlu tahu walaupun desa dalam kepungan tentara dan kekuasaan Ki Jarot. Tak satupun dari mereka menyentuh  Nikem”. Sumiyem membesarkan suaranya.

Hah,benarkah mbah?,aku memang tidak pernah melihat rumah MbahNikem didatangi tentara atau Ki Jarot sendiri”.

“Bahkan, menyentuh rumahnya pun tidak,” Keyakinan Sumiyem meningkat, alasan-alasan, kenapa harus Sanikem jadi kepala desa, semakin memperkuat kuda-kudanya. “Iya nak, Mbah Nikem dukung menjadi kepala desa, dukung sepenuh-seluruh. Ajak semua teman-teman se-karang taruna, sanak saudara, petani-petani, dan semuanya seisi Tunggak. Gambarkan sosok Sanikem dan yakinkan kepada mereka: bahwa satu-satunya harapan Tunggak hanyalah Mbah Nikem, lainnya tidak. Ingat ya nak hanya Mbah Nikem”. Uhuk-uhuk, batu keras Sumiyem kambuh, juga sebagai tanda titik.

Mbah Nikem sendiri bagaimana mbah? Apa iya, beliau punya kehendak juga untuk maju.”

“Itu urusanku, aku yang bicara dengan ia. Tugas kamu: menggembar-gemborkan ke seluruh warga bahwa Mbah Nikem atau Sanikem harapan satu-satunya. Ketika warga banyak memperbincangkan Nikem dan terdengar ke telinga Nikem bahkan Ki Jarot dan antek-anteknya, kau sampaikan kepadaku. Ingat, ingat, baikbaik ya nak, M b a h N i k em. ”Sumiyem menyakinkan Yanto, sambil menetak dan mengeja.

“Baik, aku pamit dulu.” Ia jinjing sekarung tas, dan celurit tergenggam.

(5)
Sepekan, berlanjut sebulan, dan dua bulan lamanya. Dimana-mana dan siapa saja, Yanto singgah dan bertatap muka, maka yang ia obrolkan adalah mengenai Tunggak, dan selanjutnya opini masyarakat diiring untuk meyakinkan Sanikem, adalah solusi dari kemunduran Tunggak yang disebabkan ulah perangkat desa, terkhusus Ki Jarot dan kawan-kawannya, yang korup, premanisme, rakus, dan congkak.

Sementara, warga Tunggak mulai sadar akan pembodohan yang Ki Jarot lakukan sampai ghiroh perlawanan mereka mulai nampak. Yanto bukan seorang sarjana, itu keterbatasannya, sehingga ia tidak bisa menerangkan sedetail-detailnya tentang keadaan Tunggak. Tapi kurang lebih ia faham benar aturan main dalam pemerintahan desa, terutama mengenai aturan main (hak dan kewajiban) kepala desa.

Ia juga tidak bisa menulis, seandainya bisa pun akan dimanfaatkannya menyebar selebaran ke rumah, warung kopi, masjid, tempat-tempat jagongan. Beruntung, ia terampil merangkai kata, mengelola alur pembicaraan, memperagakan gaya muka dan tubuh. Di tambah ketulusan dan gairahnya, itu yang membedakan ia dengan sarjana pada umumnya, itu pun jika ia sadar ia lebih hebat dalam arti sebenar-benarnya.

 Kebodohan warga selama ini mulai teratasi. Dengan menjelaskan aturan main desa, tindakan dan tingkah laku perangkat desa, penindasan sampai pemerasan. Setidak-tidaknya ada beberapa pertanyaan menggelitik yang mereka gelontorkan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun