BAB III
WAKTU MENELAN SEMUA KISAH
Hari berlalu, musimpun berganti, tidak terasa sudah sebulan penuh peristiwa naas hancurnya pesawat G005 Indonesia. Semua orang sibuk dalam kehidupannya masing-masing. Diana kini kuliah di Universitas Negeri Padang (UNP) jurusan Ekonomi Pembangunan. Ia menjalani hari-harinya bersama teman-teman Mahasiswa barunya.
"Hai Diana, Lo indekos dimana sih?" tanya si Yuli cewek berkacamata minus seraya membenarkan jilbabnya.
"Gue kos di Tunggul Hitam, Fit...! Mainlah ke kos kami!" jawab Diana seraya duduk disamping Fitri .
"Fitri juga berasal dari Kerinci, Diana.." sahut Thomas, seorang cowok Mahasiswa baru juga. Ia merupakan salah seorang anak Pecinta Alam, yang akan bergabung di Mapala UNP.
"Oh ya?, emang Kerincinya dimana Fit?" Diana tersenyum memandang Fitri.
"Gue berasal dari Tanjung Syam Diana, kamu darimana?" jawab Fitri seraya balik bertanya.
"Kalo gue sih, dari Siulak Kecil Kerinci!" sahut Diana.
Akhirnya mereka mulai akrab dengan kawan-kawan lainnya yang berasal dari berbagai daerah yang ada di Sumatera Barat, sumatera Utara, Pekan Baru, Jambi, dan Bengkulu. Sedikit rasa rindu untuk kekasih pujaan hati terobati dengan bergaul bersama teman-teman. Sebuah ungkapan menjadi nyata, "Kehilangan yang dicintai akan terobati seirama perjalanan waktu".
Di Kerinci, disebuah dusun nan teduh, didalam sebuah rumah  sederhana duduklah sepasang suami isteri yang sudah renta, yaitu Pak Ardi dan isterinya Ibu Riska. "Yah, sudah sebulan kepergian Ilham, sulit rasanya hati ini menerima...!"lirih suara Bu riska seraya matanya berkaca-kaca.