Bruuukk.
“Maaf,” ucap Milea spontan.
Milea membungkuk untuk memungut buku yang terjatuh dari tangannya. Ia terus menunduk tanpa mengangkat kepala. Milea hanya tahu dari sepatu yang ia lihat saat menunduk, manusia yang dia tubruk adalah seorang pemuda.
“Sebaiknya kamu mengangkat muka kalo benar-benar ingin meminta maaf,” balas pria itu dengan suara berat, khas penikmat tembakau.
Milea seketika gugup, seperti biasa, dan akhirnya mengangkat wajah.
Raut wajah tampan dengan deretan gigi yang luar biasa putih dan rapi, ditambah hidung mancung juga mata tajam, terpampang di hadapannya. Senyum pria itu memang manis, tapi Milea justru tidak nyaman.
“Kenapa kamu gugup?” tanya pemuda itu. Ia seketika terkesan dengan penampilan gadis, yang menurutnya, dalam standar menawan tersebut.
Bibir mungil dan hidung mancung lancip itu memiliki mata lentik yang tampak sendu. Rambutnya yang sebahu lurus dengan ujung bawah agak ikal jatuh pundak, sangat mempesona.
“Saya nggak sengaja,” jawab Milea singkat.
“Oke. Nggak apa-apa,” balas pemuda itu lagi. Senyumnya terurai. “Aku sering lihat kamu berkunjung setiap hari Jumat sore. Kamu suka baca?” Pria tersebut lagi-lagi berinisiatif bertanya.
Milea mengangguk tanpa berani menatap langsung. Jelas sekali, gadis itu tidak ingin berada dalam situasi tersebut.