Mohon tunggu...
Iwan Sulaiman Soelasno
Iwan Sulaiman Soelasno Mohon Tunggu... -

Pendidikan S1 di Fisip Unas, S2 di Fisip UI. Bekerja di ADKASI (Asosiasi DPRD Kabupaten seluruh Indonesia) sejak 2002 dan menjabat sebagai Direktur Eksekutif ADKASI 2005-2011. Kini Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dan tenaga ahli di DPD RI

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Seperti Apa RUU Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal/Pemerataan Pembangunan Daerah?

19 September 2018   13:24 Diperbarui: 20 September 2018   08:33 3445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PENDAHULUAN

Meskipun pembangunan Indonesia telah berhasil mencapai kemajuan yang sangat pesat, namun di sisi lain juga telah melahirkan ketimpangan antardaerah. Ketimpangan ini terjadi karena pembangunan pada zaman orde baru lebih memfokuskan kepada upaya untuk menciptakan pertumbuhan dan kurang memperhatikan pemerataan.  Kondisi di beberapa daerah teringgal menunjukkan adanya ketimpangan yang tajam dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut:

Kondisi Infrastruktur 

Kondisi infrastruktur (sarana dan prasarana) di daerah tertinggal dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal, dapat digambarkan melalui kondisi jalan, keberadaan pasar permanen dan bank, jumlah fasilitas kesehatan, dokter, jumlah sekolah, akses masyarakat terhadap sarana komunikasi, air minum, energi listrik, dan sanitasi.

Kondisi jalan dengan kualitas baik dan sedang (mantap) di daerah tertinggal pada tahun 2017 secara rata-rata baru mencapai 45,7 persen, jauh di bawah daerah kabupaten bukan tertinggal yang sebesar 58,4 persen dan kota yang mencapai 78,5 persen. Keberadaan pasar permanen dan bank di daerah tertinggal juga masih jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan di daerah yang bukan tertinggal.

Daerah tertinggal juga masih memiliki rata-rata persentase penduduk yang masih rendah terkait dengan penggunaan alat komunikasi seluler (HP), air bersih/air minum, listrik dan sanitasi yang layak. Pada tahun 2014, rumah tangga pengguna alat komunikasi seluler (HP) di daerah tertinggal sebesar 36,7 persen, pengguna air bersih mencapai 55,4 persen dan pengguna listrik mencapai 75,8 persen. Pada tahun 2016, secara rata-rata, rumah tangga di daerah tertinggal yang memiliki akses air minum yang layak baru mencapai 54,8 persen dan untuk akses sanitasi yang layak persentasenya lebih rendah lagi, yatu baru mencapai 42,5 persen.

Terkait dengan rata-rata jumlah fasilitas kesehatan, dokter dan jumlah SD/SMP per 1000 penduduk, daerah tertinggal memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan tertinggal. Hal ini tidak serta-merta menunjukkan bahwa kondisi di daerah tertinggal lebih baik dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal. Hal tersebut lebih dikarenakan jumlah penduduk di daerah tertinggal jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal. Hal ini menunjukkan bahwa data terkait dengan rata-rata jumlah fasilitas kesehatan, dokter dan jumlah SD/SMP per 1000 penduduk kurang mencerminkan kondisi dari ketertinggalan suatu daerah.

Kondisi Aksesibilitas

    Kondisi aksesibilitas, sesuai dengan indikator penentuan daerah tertinggal, setidaknya dicerminkan dari indikator rata-rata jarak ke Ibukota Kabupaten, jarak desa ke pelayanan kesehatan dan rata-rata jarak ke pelayanan pendidikan dasar. Untuk daerah tertinggal, ketiga indikator tersebut menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal, yang menunjukan bahwa kondisi aksesibilitas daerah tertinggal lebih buruk dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal.

Kondisi aksesibilitas dapat juga dicerminkan melalui Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), yang merupakan indeks harga yang menggambarkan kemahalan konstruksi suatu kabupaten/kota terhadap suatu daerah yang menjadi acuan (DKI Jakarta). Bila nilai IKK suatu kabupaten/kota tinggi, daerah kabupaten/kota tersebut secara umum memiliki kondisi aksesibilitas yang lebih sulit, sehingga mengakibatkan harga kontruksi menjadi lebih mahal dibandingkan dengan daerah yang lain. Pada tahun 2017, rata-rata nilai IKK daerah (kabupaten) yang tertinggal mencapai 137,1, sedangkan untuk kabupaten bukan tertinggal hanya sebesar 99,6 dan kota sebesar 100. Hal tersebut menunjukan bahwa harga-harga kontruksi di daerah tertinggal lebih mahal 37,5 persen dibandingkan dengan kabupaten bukan tertinggal dan lebih mahal 37,1 persen dibandingkan dengan di daerah kota.

Kondisi Ekonomi

    Kondisi ekonomi dari daerah tertinggal dicerminkan oleh indikator tingkat kemiskinan dan pengeluaran per kapita masyarakat. Pada tahun 2017, rata-rata tingkat kemiskinan di daerah tertinggal sebesar 21,08 persen, yang menurun dari tahun-tahun sebelumnya, namun nilainya masih tinggi, dimana nilai tersebut hampir dua kali lipatnya dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di daerah kabupaten bukan tertinggal yang rata-ratanya sebesar 11,42 persen dan hampir tiga kali lipatnya dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di kota yang rata-ratanya sebesar 7,70 persen. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan, dimana daerah tertinggal masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten bukan tertinggal dan kota.  

Pengeluaran per kapita yang disesuaikan secara umum mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, baik di daerah tertinggal maupun daerah bukan tertinggal. Namun, nilai untuk daerah tertinggal masih jauh di bawah daerah bukan tertinggal, dimana nilainya pada tahun 2017 adalah sebesar Rp. 7,23 juta per kapita untuk daerah tertinggal, Rp. 9,59 juta per kapita untuk kabupaten bukan tertinggal dan Rp. 12,38 juta per kapita untuk kota.

Selain dengan indikator tingkat kemiskinan dan pengeluaran per kapita, kondisi ekonomi daerah tertinggal dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal dapat ditunjukkan melalui nilai rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, baik berdasarkan harga berlaku maupun hara konstan. Rata-rata PDRB per kapita atas dasar harga berlaku di daerah tertinggal pada tahun 2016 sebesar Rp. 30,53 juta per kapita, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten bukan daerah tertinggal yang sebesar Rp. 44,07 juta per kapta dan kota yang sebesar Rp. 59,61 juta per kapita.   

Dalam hal pertumbuhan ekonomi, baik dengan migas maupun tanpa migas, daerah tertinggal memiliki peluang yang sama dengan bukan daerah tertingal, namun memang daerah tertinggal secara rata-rata masih lebih rendah dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal selama periode tahun 2011-2016. Pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal secara rata-rata pernah lebih tinggi dibndingkan dengan daerah bukan tertinggal, baik kabupaten bukan tertinggal maupun kota, yaitu pada tahun 2015.

 

Kondisi Sumber Daya Manusia 

    Kondisi sumber daya manusia (SDM) di daerah tertinggal, sesuai dengan indikator penentuan daerah tertinggal, dicerminkan melalui indikator bidang kesehatan, yaitu angka harapan hidup (AHH) dan bidang pendidikan, yaitu rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH). Agar lebih jelas mengenai kondisi SDM di daerah tertinggal, indikator-indikator yang lain di bidang kesehatan dan pendidikan serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga akan dijelaskan dalam bagian ini.

    Angka harapan hidup (AHH), baik untuk daerah tertinggal maupun daerah bukan tertinggal dari tahun 2011 sampai dengan 2017 mengalami peningkatan secara linier. Nilai rata-rata AHH untuk daerah tertinggal pada tahun 2017 adalah sebesar 65,39 tahun, dimana nilai tersebut masih di bawah nilai rata-rata AHH untuk kabupaten bukan tertinggal yang sebesar 69,39 tahun dan untuk kota yang sebesar 71,33 tahun. Nilai AHH yang rendah menunjukkan masih tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di daerah tertinggal.

Selain rendahnya AHH, di daerah tertinggal juga masih rendah untuk indikator persalinan ibu melahirkan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dan persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap. Pada tahun 2016, rata-rata persentase persalinan ibu melahirkan yang ditolong tenaga kesehatan di daerah tertinggal hanya mencapai 70,80 persen, jauh lebi rendah dibandingkan dengan di daerah bukan tertinggal yang umumnya di atas 90 persen. Rata-rata persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap di daerah tertinggal masih di bawah 50 persen, sedangkan untuk daerah bukan tertinggal secara rata-rata di atas 55 persen. 

    Kondisi kesehatan di daerah tertinggal juga dapat ditunjukkan melalui data persentase bayi di bawah dua tahun (baduta) yang mengalami masalah stunting. Kondisi baduta stunting di daerah tertinggal pada tahun 2015-2016 masih lebih tinggi dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal, dimana pada tahun 2016 secara rata-rata nilainya mencapai 26,28 persen, yang masuk dalam kategori akut dan kronis. Untuk menurunkan angka tersebut, 70 kabupaten (57,4 persen) dari 122 kabupaten yang masuk dalam daerah tertinggal menjadi bagian dari 160 daerah prioritas dalam penanganan masalah stunting di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan

Kondisi SDM untuk bidang pendidikan di daerah tertinggal juga secara umum lebih rendah dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal. Rata-rata lama sekolah (RLS) di daerah tertinggal pada tahun 2016 adalah sebesar 6,59 tahun, dimana hal tersebut masih setara dengan lulus Sekolah Dasar atau sederajat. Untuk kabupaten bukan tertinggal, nilai RLS sudah mencapai 7,63 tahun (setara dengan kelas 1 atau 2 SMP atau sederajat) dan untuk kota sudah mencapai 10,16 tahun (setara kelas 1 SMA atau sederajat). Hal tersebut juga tercermin pada angka harapan lama sekolah (HLS), dimana untuk daerah tertinggal, rata-rata nilai HLS-nya pada tahun 2016 masih sekitar 11,63 tahun, sedangkan untuk kabupaten bukan tetinggal sekitar 12,53 tahun dan untuk kota sekitar 14,05 tahun. 

    Angka melek huruf (AMH) di daerah tertinggal secara rata-rata juga masih rendah, dimana pada tahun 2015 nilainya sekitar 87,67 persen atau 12,33 persen masyarakatnya masih mengalami buta huruf. Untuk kabupaten bukan tertinggal, nilai rata-rata AMH-nya sudah mencapai 95,53 persen dan untuk kota, rata-rata AMH-nya sudah mencapai 98,49 persen. Nilai rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH) di daerah tertinggal yang masih rendah juga tidak terlepas dari rendahnya angka partisipasi murni (APM) di daerah tertinggal dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal, baik untuk pendidikan SD maupun SMP di daerah tertinggal. Untuk daerah tertinggal, rata-rata APM untuk SD pada tahun 2016 hanya sekitar 92,09 persen, untuk kabupaten bukan tertinggal 97,21 persen dan untuk kota sebesar 97,01 persen. Sedangkan untuk rata-rata APM SMP untuk daerah tertinggal pada tahun 2016 hanya berada di bawah 70 persen, dan untuk daerah bukan tertinggal, rata-rata APM SMP-nya sudah di atas 75 persen.

Rendahnya SDM untuk bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi (pengeluaran per kapita) di daerah tertinggal, menyebabkan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah tertinggal juga lebih rendah dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal. Nilai rata-rata IPM di daerah tertinggal pada tahun 2017 adalah sebesar 61,19 (yang masuk kategori sedang, namun bagian bawah -- middle low), untuk kabupaten bukan teringgal sebesar 68,35 (masuk kategori sedang, namun bagian atas -- middle up) dan untuk kota sebesar 76,21 (masuk kategori tinggi).

 

Kemampuan Keuangan Daerah

    Kemampuan keuangan daerah dicerminkan dari kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari masing-masing daerah. Terdapat banyak indikator yang menunjukan kesehatan fiskal dalam pengelolaan keuangan daerah, antara lain peningkatan pendapatan dalam APBD, porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam APBD, porsi Dana Perimbangan dalam APBD, indeks kapasitas fiskal, dan lain-lain.

    Pendapatan dalam APBD kabupaten/kota secara umum mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, khususnya disebabkan karena peningkatan pendapatan dari Dana Perimbangan, yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat melalui APBN. Pendapatan APBD untuk daerah tertinggal, secara rata-rata masih lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten bukan tertinggal dan kota. Pada anggaran tahun 2017, pendapatan APBD daerah tertinggal secara rata-rata adalah sebesar Rp. 1,11 triliun per kabupaten, yang nilainya di bawah rata-rata kabupaten bukan tertinggal yang sebesar Rp. 1,55 triliun dan kota yang sebesar Rp. 1,45 triliun. Apabila disesuaikan dengan data Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), pada tahun 2017 pendapatan APBD daerah tertinggal menjadi lebih kecil, yaitu sebesar Rp. 0,96 triliun, sedangkan untuk kabupaten bukan tertinggal dan kota, justru menjadi lebih besar karena nilai IKK-nya yang jauh lebih kecil.

Apabila dibagi dengan jumlah penduduk, rata-rata pendapatan APBD per kapita di daerah tertiggal memang lebih besar dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal. Namun, hal tersebut tidak menunjukkan bahwa daerah tertinggal memiliki kemampuan keuangan daerah yang lebih bessar. Hal tersebut lebih dikarenakan nilai pembaginya, yaitu jumlah peduduk, dimana untuk daerah tertinggal jumlah penduduknya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal, baik untuk kabupaten bukan tertinggal mapupun kota. Nilai rata-rata pendapatan APBD per kapita untuk daerah tertinggal, misalnya tahun 2017 yang sebesar Rp. 9,45 juta per kapita, apabila disesuaikan dengan nilai Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) di daerah tertinggal menjadi lebih kecil nilainya, yaitu menjadi sebesar Rp. 6,78 juta per kapita. Untuk daerah kabupaten bukan tertinggal dan kota, walaupun disesuaikan dengan nilai IKK, rata-rata pendapatan APBD per kapitanya tidak berubah signifikan, dan bahkan cenderung naik untuk daerah kota.

Indikator yang dapat lebih menggambarkan tentang kondisi riil dari kemampuan keuangan daerah, khususnya daerah tertinggal adalah rata-rata pendapatan APBD per kilometer persegi, baik dengan menggunakan luas daratan maupun dengan menggunakan luas daratan dan lautan, dan khususnya dengan nilai yang telah disesuaikan dengan nilai IKK untuk masing-masing kabupaten/kota. Hal tersebut dikarenakan daerah tertinggal membutuhkan anggaran untuk membangun infrastruktur di wilayahnya, yang selama ini masih dalam kondisi tertinggal. Selain itu, luasan daerah tertinggal secara rata-rata lebih besar dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal, baik untuk rata-rata luas daratan maupun luas lautan.

Dengan menggunakan luas daratan sebagai pembagi dan juga penyesuaian dengan nilai IKK, rata-rata pendapatan APBD per kilometer persegi untuk daerah tertinggal hanya sebesar Rp. 379,2 juta per kilometer persegi, jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata untuk daerah kabupaten bukan tertiggal yang mencapai lebih dari Rp. 1 miliar per kilometer persegi dan rata-rata daerah kota yang mencapai lebih dari Rp. 13,33 miliar per kilometer persegi. Apabila menggunakan luas daratan dan lautan sebagai pembagi dan juga penyesuaian dengan nilai IKK, rata-rata pendapatan APBD per kilometer persegi untuk daerah tertinggal hanya sebesar Rp. 238,2 juta per kilometer persegi, yang juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata untuk daerah kabupaten bukan tertiggal yang mencapai Rp. 805 juta per kilometer persegi dan rata-rata daerah kota yang mencapai Rp. 10,96 miliar per kilometer persegi.

Salah satu sumber pendapatan dalam APBD adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain PAD yang Sah. Untuk daerah tertinggal, rata-rata PAD-nya pada tahun 2018 adalah hanya sekitar Rp. 72,3 miliar, yang hanya sekitar sepertiga (1/3) dari rata-rata PAD daerah kabupaten bukan tertinggal atau hanya sekitar seperenam (1/6) dari rata-rata PAD daerah kota. Kontribusi PAD untuk daerah tertinggal, rata-ratanya hanya sekitar 5,85 persen dari keseluruhan pendapatan dalam APBD. PAD untuk kabupaten bukan tertiggal berkontribusi secara rata-rata sebesar 10,96 persen dan untuk kota mencapai 21,52 persen dari keseluruhan pendapatan dalam APBD-nya. Bila ditinjau nilai PAD per kapita-nya, daerah tertinggal memiliki rata-rata sebesar Rp. 0,33 juta per kapita, daerah kabupaten bukan tertinggal sebesar Rp. 0,36 juta per kapita dan daerah kota sebesar Rp. 0,70 juta per kapita. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa kemandirian keuangan daerah di daerah tertinggal lebih rendah dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal.

Dana Perimbangan sampai saat ini merupakan salah satu sumber pendapatan utama dalam APBD kabupaten/kota, yaitu barupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH), baik untuk daerah tertinggal maupun daerah bukan tertinggal. Untuk daerah tertinggal, rata-rata Dana Perimbangannya pada tahun 2018 adalah sekitar Rp. 872 miliar, dimana nilainya hampir sama dengan rata-rata Dana Perimbangan untuk daerah kota. Kontribusi Dana Perimbangan untuk daerah tertinggal pada tahun 2018, rata-ratanya mencapai 75,65 persen dari keseluruhan pendapatan dalam APBD, yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal. PAD untuk kabupaten bukan tertiggal berkontribusi secara rata-rata sebesar 70,95 persen dan untuk kota mencapai 66,94 persen dari keseluruhan pendapatan dalam APBD-nya. Bila ditinjau nilai Dana Perimbangan per kapita-nya, daerah tertinggal memiliki rata-rata sebesar Rp. 7,21 juta per kapita, daerah kabupaten bukan tertinggal sebesar Rp. 3,43 juta per kapita dan daerah kota sebesar Rp. 3,16 juta per kapita. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa keuangan daerah di daerah tertinggal sangat tergantung dari dana transfer yang diberikan oleh Pemerintah Pusat melalui Dana Perimbangan.

Kemampuan keuangan daerah juga dapat dicerminkan dari peta kapasitas fiskal daerah, yang merupakan gambaran kemampuan keuangan yang dikelompokkan berdasarkan indeks kapasitas fiskal daerah. Selama tahun 2015-2017, rata-rata indeks kapasitas fiskal daerah tertinggal memiliki nilai berkisar antara 0,74 -- 0,78, yang nilanya jauh di bawah kabupaten bukan tertinggal dan kota. Untuk kabupaten bukan tertinggal, rata-rata indeks kapasitas fiskal daerahnya berkisar antara 0,97 -- 1,04 dan untuk kota berkisar antara 1,14 -- 1,39 dalam periode yang sama.

Praktik Penyelenggaraan dan Permasalahannya 

1. Praktik Penyelanggaraan

Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal telah dimulai pada masa kabinet gotong royong tahun 2001 yang ditandai dengan pembentukan Kementerian Negera Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia dipimpin oleh Samuel Kaisiepo sebagai Menteri Pertamanya. Pada masa awal, tugas Kementerian Negera Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia lebih bersifat koordinatif dan fokusnya hanya pada kawasan timur Indoensia. Pada masa kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Kemneterian ini berganti nama menjadi Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal yang dipimpin oleh Saifullah Yusuf sebagai menteri. Pada periode ini percepatan pembangunan daerah teringgal ditujukan kepada daerah yang berdasarkan kriteria dinyatakan tertinggal. Dalam RPJMN 2004-2009 telah ditetapkan sebanyak 199 daerah tertinggal yang menjadi sasaran program percepatan pembangunan daerah tertinggal dan telah ditetapkan pula arah kebijakan, sasaran dan program percepatan pembangunan daerah tertinggal dalam RPJMN 2004-2009. Melalui program percepatan pembangunan daerah tertinggal kurun waktu 2004-2009 telah berhasil mengentaskan 50 daerah tertinggal.

Pada tahun 2009 tersisa 149 daerah tertinggal yang harus ditangani, namun kerena terjadi pemekaran daerah dan terdapat 34 daerah baru yang masuk kategori tertinggal, maka dalam RPJMN 2009-2014 ditetapkan 183 daerah tertinggal yang menjadi sasaran.

Pada masa kabinet Indonesia Bersatu Jilid II Presiden Susilo Bambang Yudoyono menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal sebagai upaya menindaklanjuti ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) beserta lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang kriteria daerah tertinggal, perencanaan pembangunan daerah tertinggal, pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal dan pembinaan dan pengawasan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 131 tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal. Dalam Perpres ini ditetapkan sebanyak 122 daerah tertinggal yang menjadi sasaran pembangunana percepatan daerah tertinggal tahun 2014-2019. Dalam rangka perencanaan percepatan pembangunan daerah tertinggal telah ditetapkan PeraturanPresiden Nomor 21 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.

Dalam RPJMN 2014-2019 telah ditetapkan target program percepatan pembangunan daerah tertinggal yaitu mengentaskan sebanyak 80 daerah tertinggal menjadi daerah tidak tertinggal. Untuk mencapai target yang sudah ditetapkan, pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan antara lain mengalokasikan dana alokasi khusus (DAK) afirmatif yang diberikan kepada daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan dan transmigrasi. Pada tahun anggaran 2018 telah dialokasikan anggaran sebesar Rp. 6,6 Trilyun DAK afirmasi. Selain itu, pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi juga dialokasikan anggaran untuk mendukung percepatan pembangunan daerah tertinggal dan tranmigrasi berupa program sarana air bersih sebesar 17,5 milyar untuk 10 kabupaten, pembangunan pasar kecamatan sebesar 1,8 milyar untuk 3 kabupaten, jalan strategis sebesar 72,5 milyar untuk 21 kabupaten, pembangunan embung sebesar 15 milyar untuk 15 kabupaten, asrama siswa dan sarana olah raga sebesar 8,8 milyar untuk 10 kabupaten, pembangunan ruang kelas sekolah sebesar 9,9 milyar untuk 15 kabupaten, pengadaan inkubator produksi sebesar 2,6 milyar untuk 5 kabupaten, workshop peningkatan kapasitas masyarakat sebesar 2,3 milyar, pengolahan minyak kelapa sebesar 2 milyar untuk 2 kabupaten, pengolahan rumput laut dan packaging hasil rumput laut sebesar 4 milyar untuk 4 kabupaten, pengadaan mesin perontok jagung sebsar 3 milyar untuk 3 kabupaten, alat pasca panen sebesar 5 milyar untuk 5 kabupaten, home indsutri tenun sebesar 4 milyar untuk 4 kabupaten, pengolahan hasil perikanan sebesar 8 milyar untuk 8 kabupaten, revitalisasi sentra UKM sebesar 2 milyar untuk 2 kabupaten, packaging hasil olahan perikanan sebesar 6 milyar untuk 6 kabupaten, pengembangan kebun buah sebesar 18 milyar untuk 10 kabupaten, rehabilitasi mangroove untuk pariwisata sebesar 4,5 milyar untuk 15 kabupaten.

Dalam kurun waktu 10 tahun pelaksanaan kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal yaitu dari tahun 2004-2014 telah berhasil mengentaskan 111 daerah tertinggal. Jika target pengentasan daerah tertinggal tahun 2014-2019 tercapai sebanyak 80 daerah, maka sisa daerah tertinggal pada tahun 2019 hanya 42 daerah tertinggal. Dengan demikian maka pengentasan daerah tertinggal akan tuntas pada tahun 2019-2024.

Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang -- Undangan

Pemerataan pembangunan antardaerah, antarkelompok masyarakat, antargolongan merupakan amanat dari sila kelima Pancasila. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional". Konstitusi mengamanatkan agar perekonomian menjamin keadilan dan kesemimbangan termasuk keseimbangan dan keadilan antardaerah. Landasan konstitusional bagi kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal sudah tersedia sebagai dasar hukum yang kuat dan kokoh.

Meskipun landasan filosofis dan landasan konstitusional sudah cukup kuat, namun landasan operasional kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal perlu dilakukan penguatan kembali agar pemerataan pembangunan semakin cepat terwujud. Landasan operasional yang menjadi dasar pelaksanaan percepatan pembangunan daerah tertinggal yang ada saat ini meliputi:

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.

Arahan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 ini masih sangat umum sehingga tidak memberikan landasan yang tegas, rinci dan terukur atas kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Penafsiran atas ketentuang dalam Undang-Undang ini masih sangat luas dan terbuka serta fleksibel sehingga belum dapat dijadikan landasan operasional yang mengikat secara kuat bagi para pelaku pembangunan baik pemerintah (pusat dan daerah) maupun masyarakat.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Undang-Undang ini pada dasarnya hanya mengatur sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan nasional serta pembangunan daerah. Uundang-Undang ini tidak mengatur arah, sasaran, dan program pembangunan baik yang bersifat sektoral amupun kewilayahan. Arah, Sasaran, dan Program serta kegiatan pembangunan dituangkan dalam dokumen rencana pembangunan berupa RPJPN, RPJMN, RKP, Renstra K/L, Renja K/L, RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, Renja SKPD. Undang-Undang ini belum dapat dijadikan dasar kebijakan untuk mengoperasionalkan percepatan pembangunan daerah tertinggal.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.

Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang kriteria daerah tertinggal, perencanaan percepatan pembangunan daerah tertinggal, pelaksanaan perecapatan pembangunan daerah tertinggal dan pembinaan dan pengawasan. Peraturan Pemerintah ini tidak menegaskan sasaran, program, kegiatan, anggaran dan kerangka waktu pelaksanaan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Peraturan Pemerintah ini memerintahkan untuk menyusun Strategi nasional dan rencana aksi percepatan pembangunan daerah tertinggal. Kebijakan dalam peraturan pemerintah ini juga tidak memberikan patokan dan panduan yang lugas dan konkrit tentang alokasi anggaran percepatan pembangunan daerah tertinggal, sehingga masih belum cukup kuat untuk memastikan percepatan pembangunan daerah tertinggal.

 

Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2018 Tentang Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019.

Peraturan Presiden ini sudah memuat target, sasaran, arah kebijakan dan strategi percepatan pembangunan daerah tertinggal. Pemerintah daerah menargetkan 80 daerah tertinggal berubah menjadi daerah maju dalam kurun waktu 5 tahun. Peraturan Presiden ini belum menterjemahkan program, kegiatan, instansi penanggungjawab, anggaran dan kerangka waktu kerja dalam pencapaian setiap target indikator yang ditetapkan. Implementasi dari kebijakan dalam peraturan Presiden ini akan ditentukan dalam penyusunan rencana kerja tahunan yang sangat bergantung pada komitmen kementerian/lembaga dalam mengalokasikan anggarannya untuk percepatan pembangunan daerah tertinggal. Rencana aksi percpatan pembangunan daerah tertinggal disusun oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Masalah utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah adalah keterbatasan anggaran.

              Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis

landasan filosofis

Salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia adalah adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum diwujudkan oleh pemerintah dengan menciptakan ketertiban/keteraturan umum dan penyediaan pelayanan umum atau pelayanan publik. Untuk menciptakan ketertiban/keteraturan umum pemerintah menciptakan aturan main yang mengaturan hak dan kewajiban serta pedoman bagi warga negara dalam hidup berbangsa dan bernegara agar tidak terjadi konflik antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Sementara itu, upaya pemerintah dalam penyediaan pelayanan umum dilakukan melalui penyediaan barang atau jasa publik baik melalui peran regulasi, produksi, provisi maupun melalui subsidi dalam rangkan mejamin setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.

Sila kelima Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan tidak hanya antarindividu, namun juga termasuk keadilan antarwilayah, antargolongan dan antarkomponen bangsa lainnya. Adaya daerah tertinggal bermakna bahwa keadilan antarwilayah negara belum terwujud dan hasil pembangunan tidak dinikmati secara merata oleh rakyat Indonesia. Pemerintah merupakan kekuatan dan penanggungjawab utama dalam mencapai tujuan dan cita-cita negara bersama dengan kekuatan komponen bangsa lainnya. Peran utama negara yang tidak dapat dibantu oleh komponen bangsa lainnya adalah menetapkan kebijakan publik dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bangsa. Negara dengan kekuasaan memaksa yang dimilikinya serta kepemilikan atas sumber daya publik yang besar termasuk anggaran negara harus melakukan tindakan dan kebijakan yang menjamin terwujudnya kesejahteraan sebagai cita-cita nasional yang merata.

Pemerataan pembangunan mencakup aspek yang sangat luas meliputi ekonomi, politik, sosial, hukum, kemanan, dan kebudayaan. Daerah tertinggal umumnya mengalami hambatan dalam meraih kesejahteraan dan keadilan karena keterbatasan insfrastruktur wilayah, transportasi, pendidikan, kesehatan, air minum, energi dan akses terhadap permodalan dll. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam menyediakan barang dan jasa publik sesuai dengan kewenanganya. Selain bertanggung jawab dalam penyediaan barang dan jasa publik, pemerintah juga bertanggung jawab menciptakan kebijakan yang memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi masyarkat untuk mencapai tingkat kemakmuran  yang setinggi-tingginya. Inovasi dan solusi yang dilahirkan oleh pemerintah akan semakin mempercepat pencapaian tujuan pembanguan nasional dan pemerataan.

Percepatan pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus merupakan cita-cita kemerdekaan bangsa Indoensia.

 

LANDASAN SOSIOLOGIS

Kondisi keterbelakangan yang dialami oleh sebagian rakyat Indonesia di berbagai kabupaten/kota merupakan masalah utama dalam kebijakan pembangunan nasional Indonesia. Rendahnya kemampuan masyarakat di daerah tertinggal dalam memenuhi kebutuhan hidup dasarnya telah membawa masalah sosial dan kemanusiaan yang serius seperti kemiskinan, pengangguran, angka kesakitan, kelaparan, angka melek huruf, angka harapan hidup, angka kematian ibu dan bayi, angka partisipasi sekolah dan berbagai masalah sosial lainnya.

LANDASAN YURIDIS

Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum mampu memberikan landasan yang kuat dan nyata dalam upaya mempercepat pembangunan daerah tertinggal. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, telah ada berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan percepatan pembangunan daerah tertinggal yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang RPJPN 2015-2025, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2018 tentang Strategis Nasional Pecepatan Pembangunan Daerah Tertinggal tidak memberikan landasan yuridis yang kuat dalam pelaksanaan percepatan pembangunan. Oleh karena itu diperlukan Undang-Undang yang mengatur percepatan pembangunan daerah tertinggal yang menjadi panduan bagi setiap lembaga pemerintah dalam percepatan pembangunan nasional. Undang-Undang Percepatan Pembangunan Daerah tertinggal ini harus memuat ketentuan yang konkrit, jelas dan terukur terutama tekait dengan kriteria, mekamisme dan pendanaan serta tanggung jawab para pihak sesuai dengan kewenangannya.

Jangkauan, Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup Materi Muatan

5.1                     Arah Pengaturan

                           Rancangan Undang-Undang tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini merupakan rancangan undang-undang baru yang belum ada sebelumnya. Rancangan undang-undang ini bertujuan untuk menangani dan mengatasi ketimpangan pembangunan yang tajam antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ketimpangan pembangunan dapat terjadi baik pada negara berkembang maupun pada negara maju, sehingga kebijakan pemerataan pembangunan untuk mencegah ketimpangan pembangunan antardaerah yang diatur dalam undang-undang ini keberadaannya akan mencakup jangka waktu yang panjang. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka arah pengaturan Rancangan Undang-Undang Tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini mempunyai arah pengaturan sebagai berikut:

Pengukuran dan Penetapan Daerah Timpang

Dalam rancangan undang-undang ini didefinikan bahwa ketimpangan yang tajam adalah apabila tingkat kesejahteraan masyarakat di satu daerah 10 % lebih rendah dari tingkat kesejahteraan rata-rata nasional. Indikator kesejahteraan untuk mengukur ketimpangan pembangunan daerah dalam rancangan undang-undang ini adalah indek pembangunan manusia (IPM). Jika rata-rata IPM nasional sebesar 73 dan suatu daerah mempunyai IPM 65, maka di daerah tersebut dianggap terjadi ketimpangan kesejahteraan yang tajam karena perbedaan kesejahteraannya sebesar 11 % lebih rendah dari tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya.

Meskipun banyak cara dan indikator yang dapat digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antardaerah, namun dalam rancangan undang-undang ini menggunakan IPM sebagai indikator ketimpangan di daerah dengan pertimbangan:

Nilai IPM sudah mewakili 3 unsur utama tingkat kesejahteraan manusia yaitu pendapatan, pendidikan dan kesehatan;

IPM sudah digunakan dan diakui di seluruh dunia sehingga metodenya sudah terstandarisasi secara internasional;

Data IPM tersedia setiap tahun baik pada tingkat nasional, perovinsi dan kabupaten/kota yang dilakukan oleh Badan Pusat Staistik.

Ketiga alasan tersebut di atas merupakan hal penting dalam penentuan suatu indikator yaitu validitas instumen, ketepatan metodologi dan keberlanjutan ketersediaan data yang resmi dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan pengukuran nilai IPM setipa daerah, maka pemerintah pusat menetapkan daerah-daerah yang masuk dalam kategori timpang untuk jangka waktu 5 tahun. Penetapan daerah timpang dilakukan bersamaan dengan penyusunan RPJMN.

Prinsip Pemerataan Pembangunan Daerah

Pemerataan pembangunan daerah merupakan upaya untuk mengatasi ketimpangan yang tajam antardaerah. Dalam upaya untuk mengatasi ketimpangan pembangunan daerah dilakukan dengan berlandaskan pada prinsip:

Gotong royong

Prinsip ini mengandung makna bahwa penanganan ketimpangan antardaerah merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah labupaten/kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Prinsip gotong royong ini juga  mengandung makna bahwa masyarakat juga ikut bersama-sama mengatasi ketimpangan pembangunan antardaerah. Selain bagi pemerintah daerah yang bersangakutan, gotong royong juga bermakna adanya tanggung jawab daerah yang sudah maju untuk berkorban agar warga negara sebangsa di daerah lain dapat menikamati pembangunan relatif setara dengan daerah maju. Pengorbanan daerah lain tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya keikhlasan atas kebijakan alokasi dana afirmasi kepada daerah yang tingkat kesejahteraannya timpang.

Berkeadilan

Prinsip berkeadilan ini mengandung makna bahwa pemerataan pembangunan adalah upaya untuk mewujudkan rasa kadilan antarsesama warga negara. Keadilan bukan dimaknai sebagai pembagian sama rata antar setiap orang atau setipa daerah, namun keadilan dimaknai bahwa setiap orang atau setiap daerah mendapatkan sesuai dengan kondisi dan masalah serta kebutuhan nyata yang dihadapinya.

Afirmasi

Prinsip ini mengandung makna bahwa dalam rangka pemerataan pembangunan untuk mengatasi ketimpangan pembangunan, pemerintah harus menggunakan kebijakan afirmasi yang menjamin terwujudnya pemerataan yang relatif antardaerah.

Berkelanjutan

Prinsip ini mengandung makna bahwa upaya pemerataan pembangunan untuk mengatasi ketimpangan merupakan upaya yang berkelanjutan, baik bagi daerah yang sedang mengalami ketimpangan, maupun daerah baru yang nanti akan mengalami ketimpangan yang tajam dalam pencapaian pembangan dimasa yang akan datang.

 

Tanggung Jawab Pemeraatan Pembangunan Daerah

Pemerintah Pusat

Pemerintah pusat bertanggung jawab melakukan upaya mengatasi ketimpangan daerah melalui:

Alokasi dan transfer afirmasi

Daerah yang kesejahteraanya timpang secara tajam berhak mendapatkan alokasi dana transfer secara afirmasi apabila:

Rata-rata APBD konversi IHK per kilometer berada pada 10 % atau lebih dibawah rata-rata nasional; atau

Rata-rata APBD konversi IHK per kapita penduduk berada pada 10 % atau lebih dibawah rata-rata nasional.

Penyediaan Layanan Yang menjadi Kewenangan Pusat

Pemerintah pusat melalui kementerian/lembaga bertanggung jawab untuk melakukan percepatan secara afirmasi dalam penyediaan layanan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat seperti pembanunan jalan, pelabuhan, universitas, dan pelayanan lainnya.

Kebijakan Ekonomi

Pemerintah pusat juga bertanggung jawab untuk mengadopsi kebijakan ekonomi yang mendorong adanya pertumbuhan di daerah yang timpang melalui insentif/disinsentif. Kebijakan ini juga dapat berbentuk daftar usaha yang mendapat fasilitas dari pemerintah pusat di daerah yang timpang.

Pemerintah Provinsi

Pemerintah daerah provinsi bertanggung jawab melakukan upaya untuk mengatasi kesenjangan pembangunan di daerah yang timpang di wilayahnya melalui:

Bantuan Keuangan Khusus

Untuk mempercepat pembangunan di kabupaten timpang dalam wilayahnya, pemerintah daerah provinsi memberikan bantuan keuangan khusus yang diperhitungkan dengan tingkat kapasitas keuangan daerah setelah diperhitungakan alokasi dana transfer afirmasi yang diberikan oleh pemerintah pusat.

Penyediaan Layanan Yang Menjadi Kewenangan Provinsi

Pemerintah daerah provinsi melalui perangkat daerahnya mengutamakan penyediaan layanan yang menjadi tanggung jawab provinsi di daerah kabupaten timpang di wilayahnya. Penyediaan layanan kewenangan provinsi seperti penyediaan SMA/SMK, jalan provinsi, pelabuhan antarkabupaten/kota, irigasi dengan lahan 1000 s.d 3000 ha, dan layanan kewenangan provinsi lainnya.

Pemerintah Kabupaten

Pemerintah daerah kabupaten merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dalam menyelesaikan ketimpangan pembangunan di daerahnya. Adapun tanggung jawab pemerintah kabupaten meliputi:

Pengelolaan Anggaran

Pemerintah daerah wajib mengelola anggaran secara efisien dan fokus pada kegiatan yang mempunyai dampak luas dan berkesinambungan dalam penciptaan pertumbuhan ekonomi serta lapangan kerja bagi masyarakatnya. Pemerintah daerah kabupaten harus memastikan setiap anggaran yang dialokasikan mempunyai dampak besar bagi ekonomi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah serta lapangan kerja di daerahnya.

Penyederhaanaan Layanan Publik

Untuk menarik investasi swasta agar mengalirkan modalnya ke daerah tersebut, pemerintah daerah harus menyederhanakan jenis dan prosedur perizinan dan layanan nonperizinan di daerahnya. Penyederhanaan jenis dan perosedur pelayanan ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan, kepastian dan penghematan biaya investasi di daerah yang timpang tersebut.

Efisiensi Birokrasi

Pemerintah daerah kabupaten yang tertinggal wajib mengefisienkan struktur birokrasinya pada ukuran yang tepat (right sizing) sehingga tidak membebani anggaran daerah. Efisiensi birokrasi juga dilakukan melalui pengurangan biaya nonpelayanan publik yang tidak perlu dan tidak mutlak diperlukan oleh pemerintah daerah atau oleh masyarakat. Efisiensi belanja birokrasi dapat dilakukan dengan mengurangi perjalanan dinas baik jumlah orang maupun frekuensi serta tujuannya, biaya rapat-rapat, biaya serimonial dan belanja birokrasi lainnya.

Inovasi

Pemerintah daerah harus mendorong tumbuhnya inovasi dalam pelayanan publik dan dalam manajemen pemerintahan daerah agar biaya pelayanan yang dibebankan kepada masyarakat semakin murah.

 

Strategi Pembangunan di Daerah Timpang

Untuk mempercepat pembangunan di daerah dengan ketimpangan tajam diperlukan strategi yang fokus dan diarahkan pada percepatan penyelesaian masalah-masalah fundamental yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan yang tajam di daerah tersebut. Penyusunan strategi pembangunan di daerah dengan ketimpangan tajam dilakukan melalui:

Penyusunan dokumen rencana kebijakan, strategi dan rencana aksi pemerataan pembangunan di daerah dengan ketimpangan tajam baik oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten.

Pengendalian pembangunan oleh daerah dengan ketimpangan tajam melalui:

Penilaian terhadap kebijakan dan tanggung jawab pemeirntah daerah yang bersankutan dalam memenuhi kewajibannya.

Memberikan reward dan punishment bagi daerah dengan ketimpangan tajam yang tidak memenuhi tanggung jawab dan kewajibannya.

Pemerintah pusat bersama pemerintah provinsi memandu dan memfasilitasi kebijakan dan program yang harus dilakukan oleh pemeirntah kabupaten dengan ketimpangan tajam.

Melakukan evalusis substansial secara berkala terhadap kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten dengan ketimpangan tajam.

Pengendalian pembangunan oleh kementerian/lembaga melalui penyusunan list program/kegiatan yang wajib dilaksankaan di daerah kabupaten dengan ketimpangan tajam selama 5 tahun.

Perumusan kebijakan insentif investasi di daerah kabupaten dengan ketimpangan tajam yang perlu diadopsi oleh pemerintah pusat.

Pelibatan Swasta dan Masyarakat

Pelibatan swasta dan masyarakat diarahkan agar kegiatan bisnis di daerah dengan ketimpangan tajam mengutamakan penyerapan tenaga kerja lokal, partisipasi melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Pelibatan pihak swasta dan masyakat juga diharapkan ikut serta menyiapakan sumber daya manusia lokal yang akan dipekerjakan di perusahaan yang bersangkutan. Salah satu hambatan dalam penggunaan tenaga kerja lokal adalah tidak tersedianya pekerja lokal yang mempunyai keahlian/keterampilan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh perusahaan. OLeh karena itu diharapkan perusahaan ikut serta menyiapkan tenaga kerja lokal agar dilatih sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Perusahaan yang mealkukan pemberdayaan tenaga kerja lokal ini dapat dikompensasi dengan insentif fiskal atau nonfiskal dari pemerintah daerah atau dari pemerintah pusat.

Ruang Lingkup Pengaturan

Dalam rancangan undang-undang tentang Pemerataan Pembangunan Daerah ini ruang linkup pengaturannya meliputi:

Ketentuan Umum

ketentuan umum memuat definisi operasional berbagai konsep yang digunakan dalam pasal demi pasal dan penjelasan rancangan undang-undang ini.

Pengukuran dan Penetapan Daerah Timpang

Rancangan undang-undang tentang Pemerataan Pembangunan Daerah mengatur mengenai indikator dan cara pengukuran daerah dengan ketimpangan tajam serta mekanisme dan produk hukum penetapan daerah dengan ketimpangan tajam.

Pemetaan Penyebab Ketimpangan

Rancangan Undang-Undang ini juga mengatur tentang pemetaan penyebab daerah mengalami ketimpangan yang tajam. Dalam pemetaan penyebab ketimpangan ini diatur pula variabel, indikator dan tata cara pemetaannya.

Tanggung Jawab Pemerataan Pembangunan Daerah

Dalam rancangan Undang-Undang ini mengatur tanggung jawab pemerataan pembangunan daerah antarsusunan/tingkatan pemerintahan, yaitu antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten. Dalam bagian ini juga diatur bentuk tanggung jawab masing-masing susunan/tingkatan pemerintahan sesuai dengan kewenangannya dan prasyarat yang diperlukan dalam melakukan tanggung jawab dan kewajibannya.

Strategi Pemerataan Pembangunan Daerah

Dalam rancangan Undang-Undang ini diatur dokumen perencnaan yang harus disusun dalam pemerataan pembangunan. Selain itu juga diatur pengendalian dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi, program dan kegiatan pemerataan pembangunan di daerah dengan ketimpangan tajam.

Pelibatan Sasta dan Masyarakat

Dalam rancangan Undang-Undang ini juga mengatur pelibatan dan tanggung jawab swasta dan masyarakat serta insentif yang diberikan kepada swasta dan masyarakat yang melaksanakan kegiatan spesifik untuk mempercepat pembangunan di daerah dengan ketimpangan tajam.

Ketentuan peralihan

Dalam rancangan undang-undang ini mengatur tentang ketentuan peralihan dari kebijakan percepatan pebangunan daerah tetinggal yang ada saat ini dengan kebijakan baru yang diatur dalam undang-undang ini.

Materi Muatan

Materi muatan dalam rancangan Undang-Undang Pemerataan Pembangunan Daerah ini meliputi:

Sistematika

sistimatikan Batang Tubuh rancangan Undang-Undang Pemerataan Pembangunan Daerah ini sebagai berikut:

BAB I: KETENTUAN UMUM

BAB II: PRINSIP PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAERAH

               BAB III: PENGUKURAN, PENETAPAN DAN PEMETAAN DAERAH TIMPANG

               BAB IV: TANGGUNG JAWAB PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB V: STRATEGI PEMERATAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB VI: KETENTUAN PERALIHAN

BAB VII: KETENTUAN PENUTUP

Substansi Materi Muatan

Substansi materi muatan disusun sesuai dengan arah pengaturan dan sistematika yang telah diuraikan di atas. Adapun substansi materi muatan adalah sbb:

Ketentuan Umum

  • Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan
  • Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  • Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Daerah dengan ketimpangan tajam yang selanjutnya disebut Daerah Timpang adalah Daerah yang tingkat kesejahteraannya jauh tertinggal dari Daerah lain.
  • Pemerataan pembangunan daerah adalah kebijakan, strategi, program dan kegiatan yang bertunjuan untuk mengurangi kesenjangan yang tajam antardaerah

Prinsip Pemerataan Pembangunan

Gotong Royong

Prinsip ini mengandung makna bahwa penanganan ketimpangan antardaerah merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah labupaten/kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing, serta swasta dan masyarakat.

Berkeadilan

Prinsip berkeadilan ini mengandung makna bahwa pemerataan pembangunan adalah upaya untuk mewujudkan rasa kadilan antarsesama warga negara..

Afirmasi

Prinsip ini mengandung makna bahwa dalam rangka pemerataan pembangunan untuk mengatasi ketimpangan pembangunan, pemerintah harus menggunakan kebijakan afirmasi yang menjamin terwujudnya pemerataan yang relatif antardaerah.

Berkelanjutan

Prinsip ini mengandung makna bahwa upaya pemerataan pembangunan untuk mengatasi ketimpangan merupakan upaya yang berkelanjutan, baik bagi daerah yang sedang mengalami ketimpangan, maupun daerah baru yang nanti akan mengalami ketimpangan yang tajam dalam pencapaian pembangan dimasa yang akan datang.

Pengukuran, penetapan dan pemetaan daerah timpang

Dalam rangka pemerataan pembangunan daerah, pemerintah pusat menetapkan daerah dengan ketimpangan yang tajam.

Daerah dengan ketimpangan tajam ditetapkan pada tahun pertama masa kerja Presiden untuk jangka waktu 5 tahun

Daerah dengan ketimpangan tajam ditetapkan peraturan presiden berdasarkan nilai indek pembangunan manusia daerah masing-masing daerah.

Daerah ditetapkan sebagai daerah dengan ketimpangan yang tajam apabila daerah tersebut mempuyai nilai IPM lebih rendah dari nilai IPM rata-rata nasiona sebeser 10 % atau lebih.

Pemerintah pusat melakukan pemetaan terhadap daerah yang sudah ditetapkan sebagai daerah dengan ketimpangan yang tajam untuk mengetahui penyebab keimpangan daerah tersebut.

Pemetaan daerah dengan ketimpangan yang tajam dilakukan dengan menggunakan variabel ekonomi dan keuangan, sumber daya manusia, sarana dan prasana serta akses orang dan barang.

Setiap variabel yang digunakan dalam pemetaan penyebab ketimpangan pembangunan daerah diuraikan dalam indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang terpisahkan dari undang-undang ini.

Hasil pemetaan penyebab ketimpangan daerah digunakan untuk menentukan kebijakan intervensi oleh pemerintah pusat serta digunakan dalam menyusun kebijakan, strategi, program dan kegiatan pemeratan pembangunan daerah.

Tanggung jawab tingkatan dan susunan pemerintahan

Bagian Pertama: Pemerintah Pusat

Pemerintah pusat bertanggung jawab dalam pemerataan pembangunan daerah berupa:

Alokasi dana transfer secara afirmatif

Penyediaan layanan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat

Kebijakan ekoniomi berupa pemberian insentif atau disinsentif

Alokasi dana transfer secara afirmasi dilakukan apabila:

APBD per kilometer luas wilayah lebih rendah dari APBD per kilometer nasional sebesar 10 % atau lebih; atau

APBD per kapita penduduk lebih rendah dari APBD perkapita nasional sebesar 10 % atau lebih.

APBD yang digunakan dalam menghitung APBD per kilometer dan APBD per kapira adalah total APBD yang sudah dikonversi dengan indek kemahalan daerah tersebut.

Kementerian/lembaga menyusun rencana kebijakan, program dan kegiatan penyediaan layanan pemerintahan yang akan dilaksanakan selama 5 tahun sesuai dengan kewenangannya yang dituangkan dalam peraturan presiden tentang penetapan daerah dengan ketipangan tajam.

Penyusunan rencana kebijakan, program dan kegiatan oleh kementrian/lembaga dikoordinasikan oleh menteri yang membidangi perencanaan pembangunan nasional.

Rencana kebijakan, program dan kegiatan yang sudah disusun oleh kementerian/lembaga diintegrasikan dalam dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah dan tahunan.

Kebijakan ekonomi berupa insentif atau disinsentif ditetapkan oleh pemerintah pusat sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan/atau kebutuhan investasi di daerah dengan ketimpangan tajam.

Kebijakan pemberian insentif atau disinsentif bertujuan untuk mempercepat masuknya modal swasta ke daerah dengan ketimpangan tajam tersebut.

Bagian Kedua: Pemerintah Daerah Provinsi

Pemerintah daerah provinsi bertanggung jawab memberikan bantuan keuangan khusus kepada daerah dengan ketimpangan yang tajam di daerahnya.

Bantuan keuangan diberikan dengan memperhitungkan besaran alokasi dana transfer secara afirmatif yang diberikan oleh pemerintah pusat.

Pemerintah daerah provinsi memprioritakan penyediaan layanan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi di daeran kabupaten dengan ketimpangan tajam.

Perangkat daerah provinsi menyusun rencana kebijakan, program dan kegiatan penyediaan layanan pemerintahan yang menjadi daerah provinsi.

Penyusunan rencana kebijakan, program dan kegiatan penyediaan layanan pemerintahan di daerah dengan ketimpangan tajam dikoordinasikan oleh prangkat daerah yang membidangi penunjang urusan pemerintahan perencanaan.

Dokumen rencana kebijakan, program dan kegiatan penyediaan layanan ditetapkan dengan peraturan gubernur untuk jangka waktu 5 tahun dan diintegrasikan dengan dokumen perencanaan pembanguan jangka menengah dan dokumen perencanaan pembangunan tahunan.

Bagian Ketiga: Pemerintah Daerah Kabupaten

Pemerintah daerah kabupaten bertanggung jawab untuk menyusun program dan kegiatan secara efisien dan fokus pada kegiatan yang membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja secara berkesinambungan.

Pemerintah daerah kabupaten bertanggung jawab untuk mengurangi biaya birokrasi melalui perampingan struktur organisasi (tepat ukuran) dan mengurangi belanja birokrasi yang tidak perlu.

Setiap belanja birokrasi berupa perjalan dinas, biaya rapat-rapat, dan biaya dukungan administrasi wajib diperhitungkan urgensi kegiatan tersebut.

Urugensi belanja birokrasi diukur dengan menilai dampak negatif yang ditimbulkan apabila kegiatan tersebut tidak dilakukan atau dilakukan dengan menggunakan fasilitas atau metode tertentu yang lebih hemat.

Penyelenggara Pemerintahan daerah wajib menyederhanakan jenis dan prosedur pelayanan publik yang menjadi kewenagan daerah.

Penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan ditetapkan dengan peraturan daerah.

Penyederhaan jenis dan prosedur pelayanan publik bertujuan untuk efisiensi, kepastian dan kenyamanan investasi di daerah tersebut.

Kepala daerah mendorong dan memprakarsai lahirnya inovasi daerah dalam rangka mempercepat pelayanan publik dan efisiensi manajemen pemerintahan daerah.

Strategi Pemerataan Pembangunan daerah

Pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten menyusun dokumen rencana pemerataan pembangunan daerah berdasarkan hasil pemetaan penyebab ketimpangan pada masing-masing daerah.

Dokumen rencana pemerataan pembangunan daerah memuat kebijakan, strategi, program dan kegiatan yang akan dilaksankan selama 5 tahun.

Pemerintah pusat melakukan pengendalian pembangunan oleh daerah dengan ketimpangan tajam melalui:

Penilaian terhadap kebijakan dan tanggung jawab pemeirntah daerah yang bersankutan dalam memenuhi kewajibannya.

Menunda atau membatalkan pemberian alokasi dana transfer afirmasi bagi daerah dengan ketimpangan tajam yang tidak memenuhi tanggung jawab dan kewajibannya.

Pemerintah pusat bersama pemerintah provinsi memandu dan memfasilitasi kebijakan dan program yang harus dilakukan oleh pemeirntah kabupaten dengan ketimpangan tajam.

Melakukan evaluasi substansial secara berkala terhadap kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten dengan ketimpangan tajam.

Ketentuan Peralihan

Seluruh kebijakan, program dan kegiatan dalam rangka percepatan pembangunan daerah tertinggal yang sudah ditetapakan sebelum undang-undang ini ditetapkan harus disesuaikan dengan undang-undang ini paling lambat 2 tahun sejak undang-undang ini diudangkan.

sebelum dilakukan penyesuan dengan udang-undang ini, pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tetap melaksankan kebijakan, program dan kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal yang sudah ditetapkan.

Sikap Politik DPD RI

1. Berdasarkan kajian yang dilakukan Komite I DPD RI diperoleh data dan fakta bahwa pengaturan tentang upaya pemerataan pembangunan daerah sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun, belum terdapat undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang pemerataan pembangunan daerah itu sendiri. Sehingga Komite I DPD RI meminta Pemerintah dan DPR RI untuk bersama--sama merumuskan Undang-Undang yang berfungsi sebagai pedoman tentang kebijakan yang terkait dengan pemerataan pembangunan Daerah yaitu RUU Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.

2. Komite I DPD RI memandang perlunya pengentasan daerah tertinggal berjalan secara berkelanjutan melalui sebuah undang -- undang, bukan kebijakan dari rezim pemerintahan semata. Karena itu dibutuhkan bentuk hukum untuk mewujudkan upaya pemerataan pembangunan daerah adalah Undang-Undang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.

 3. Melalui UU ini, Komite I DPD RI berupaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah melalui : a) pembangunan infrastruktur dan sumberdaya manusia di daerah-daerah sesuai dengan kebutuhan dan potensinya, b) Pemerintah memberikan insentif dan disinsentif terhadap daerah-daerah; c) Pemerintah Daerah memberdayakan masyarakat daerah-daerah yang relative tertinggal dari daerah-daerah lainnya, c) Alokasi anggaran pembangunan daerah secara langsung diwujudukan di masing-masing daerah.

4. Komite I DPD RI memaknai Pemerataan Pembangunan Daerah dalam RUU ini adalah upaya untuk mendorong daerah-daerah yang berada dalam kondisi tertinggal relative terhadap daerah lainnya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di daerah-daerah tersebut dengan memanfaatkan sumber daya, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta potensi-potensi lokal yang ada guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun