Kondisi ekonomi dari daerah tertinggal dicerminkan oleh indikator tingkat kemiskinan dan pengeluaran per kapita masyarakat. Pada tahun 2017, rata-rata tingkat kemiskinan di daerah tertinggal sebesar 21,08 persen, yang menurun dari tahun-tahun sebelumnya, namun nilainya masih tinggi, dimana nilai tersebut hampir dua kali lipatnya dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di daerah kabupaten bukan tertinggal yang rata-ratanya sebesar 11,42 persen dan hampir tiga kali lipatnya dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di kota yang rata-ratanya sebesar 7,70 persen. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan, dimana daerah tertinggal masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten bukan tertinggal dan kota. Â
Pengeluaran per kapita yang disesuaikan secara umum mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, baik di daerah tertinggal maupun daerah bukan tertinggal. Namun, nilai untuk daerah tertinggal masih jauh di bawah daerah bukan tertinggal, dimana nilainya pada tahun 2017 adalah sebesar Rp. 7,23 juta per kapita untuk daerah tertinggal, Rp. 9,59 juta per kapita untuk kabupaten bukan tertinggal dan Rp. 12,38 juta per kapita untuk kota.
Selain dengan indikator tingkat kemiskinan dan pengeluaran per kapita, kondisi ekonomi daerah tertinggal dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal dapat ditunjukkan melalui nilai rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, baik berdasarkan harga berlaku maupun hara konstan. Rata-rata PDRB per kapita atas dasar harga berlaku di daerah tertinggal pada tahun 2016 sebesar Rp. 30,53 juta per kapita, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten bukan daerah tertinggal yang sebesar Rp. 44,07 juta per kapta dan kota yang sebesar Rp. 59,61 juta per kapita. Â Â
Dalam hal pertumbuhan ekonomi, baik dengan migas maupun tanpa migas, daerah tertinggal memiliki peluang yang sama dengan bukan daerah tertingal, namun memang daerah tertinggal secara rata-rata masih lebih rendah dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal selama periode tahun 2011-2016. Pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal secara rata-rata pernah lebih tinggi dibndingkan dengan daerah bukan tertinggal, baik kabupaten bukan tertinggal maupun kota, yaitu pada tahun 2015.
Â
Kondisi Sumber Daya ManusiaÂ
  Kondisi sumber daya manusia (SDM) di daerah tertinggal, sesuai dengan indikator penentuan daerah tertinggal, dicerminkan melalui indikator bidang kesehatan, yaitu angka harapan hidup (AHH) dan bidang pendidikan, yaitu rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH). Agar lebih jelas mengenai kondisi SDM di daerah tertinggal, indikator-indikator yang lain di bidang kesehatan dan pendidikan serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga akan dijelaskan dalam bagian ini.
  Angka harapan hidup (AHH), baik untuk daerah tertinggal maupun daerah bukan tertinggal dari tahun 2011 sampai dengan 2017 mengalami peningkatan secara linier. Nilai rata-rata AHH untuk daerah tertinggal pada tahun 2017 adalah sebesar 65,39 tahun, dimana nilai tersebut masih di bawah nilai rata-rata AHH untuk kabupaten bukan tertinggal yang sebesar 69,39 tahun dan untuk kota yang sebesar 71,33 tahun. Nilai AHH yang rendah menunjukkan masih tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di daerah tertinggal.
Selain rendahnya AHH, di daerah tertinggal juga masih rendah untuk indikator persalinan ibu melahirkan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dan persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap. Pada tahun 2016, rata-rata persentase persalinan ibu melahirkan yang ditolong tenaga kesehatan di daerah tertinggal hanya mencapai 70,80 persen, jauh lebi rendah dibandingkan dengan di daerah bukan tertinggal yang umumnya di atas 90 persen. Rata-rata persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap di daerah tertinggal masih di bawah 50 persen, sedangkan untuk daerah bukan tertinggal secara rata-rata di atas 55 persen.Â
  Kondisi kesehatan di daerah tertinggal juga dapat ditunjukkan melalui data persentase bayi di bawah dua tahun (baduta) yang mengalami masalah stunting. Kondisi baduta stunting di daerah tertinggal pada tahun 2015-2016 masih lebih tinggi dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal, dimana pada tahun 2016 secara rata-rata nilainya mencapai 26,28 persen, yang masuk dalam kategori akut dan kronis. Untuk menurunkan angka tersebut, 70 kabupaten (57,4 persen) dari 122 kabupaten yang masuk dalam daerah tertinggal menjadi bagian dari 160 daerah prioritas dalam penanganan masalah stunting di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan
Kondisi SDM untuk bidang pendidikan di daerah tertinggal juga secara umum lebih rendah dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal. Rata-rata lama sekolah (RLS) di daerah tertinggal pada tahun 2016 adalah sebesar 6,59 tahun, dimana hal tersebut masih setara dengan lulus Sekolah Dasar atau sederajat. Untuk kabupaten bukan tertinggal, nilai RLS sudah mencapai 7,63 tahun (setara dengan kelas 1 atau 2 SMP atau sederajat) dan untuk kota sudah mencapai 10,16 tahun (setara kelas 1 SMA atau sederajat). Hal tersebut juga tercermin pada angka harapan lama sekolah (HLS), dimana untuk daerah tertinggal, rata-rata nilai HLS-nya pada tahun 2016 masih sekitar 11,63 tahun, sedangkan untuk kabupaten bukan tetinggal sekitar 12,53 tahun dan untuk kota sekitar 14,05 tahun.Â