Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dyah Ayu Sekar Arum

13 November 2018   18:55 Diperbarui: 13 November 2018   19:22 1236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Kepoan.com

Senyampang masih menunggu  makanan yang kita pesan, aku segera beranjak ke super market, persis  didepan food court itu.

Mengambil beberapa keperluan bulanan untuk rumah, juga  pernak pernik kecil keseharian lain yang dibutuhkan  -- dan karena sudah terbiasa serta hapal,  jadi cepat bisa kulakukan.

Selesai semua, aku ke kasir, membayar belanjaanku, dan dengan agak gesa  kembali  menuju ke gerai makanan didepan supermarket itu.

Kelihatan suami dan anakku  masih disana, mereka sambil sedang menikmati hidangan yang tadi sudah dipesan.

" Put .. Puteri ... " seseorang menyapaku dan memegang bahuku, aku menoleh, memperhatikan, kaget,  kukerutkan kening.

" Mmmm, ... eh Arum ya ? " dia tersenyum, sebenarnya agak lupa lupa ingat, tapi kejutan juga aku segera bisa mengingatnya.

Kita berpelukan, dan samar terciun parfumnya yang lembut, bau melati segar, kukerutkan alis : " Bagaimana kabarmu sekarang, berapa anakmu ?" tanyanya.

Aku menunjuk pada food court : "  Itu keluargaku -- itu suami dan anakku.."

Dia memperhatikan sekejap, dan cepat alih pandang  padaku kembali.

"Lha kabarmu bagaimana sekarang, berapa anakmu ?"  aku ganti tanya, dia seperti kaget, kemudian tiba-tiba saja beranjak meninggalkan aku

"Maaf, anakku sakit dirumah, aku harus segera pulang,..." katanya dan terus menjauh, heran juga, kupandangi dia

"Dimana rumahmu, kapan-kapan aku mau kesana,... " kataku agak keras, kudengar dia samar mengucapkan sebuah alamat, segera kulihat dia melambai dan menyelinap serta menghilang di antara pengunjung.

Tapi rasa-rasanya aku tadi dengar, dia menyebut green village -- jalan kamboja.

Di food court rupanya gado-gado yang kupesan sudah ada dimeja, juga es kelapa mudanya yang tampak segar  menantang.

 Mall ini udaranya sejuk, jadi amat terasa gigilnya  saat kuhirup es degan itu, kemudian mulai mengaduk gado-gado didepanku.

 Bumbu kental pekatnya tercampur rata dengan aneka sayuran, ada kacang mede goreng di cawan kecil, untuk taburan kletikannya, asyik banget.

"Pa, .. tahu Green Village itu dimana ya ?" tanyaku pada suami.

Suamiku hanya menggeleng, dia masih lahap  menikmati kupang lontong kedua yang tadi di pesannya.

"Ada apa kok tanya Green Village ?" tanyanya kemudian

"Itu tadi,  aku kan ketemu teman lama, waktu SMA dulu, katanya rumahnya sekarang di Green Village, aku janji kapan-kapan aku pengin main kesana,..." dia hanya memandangku.

"Mmm, ... biasanya kalau daerah village-village  gitu ada di pinggir kota. Mungkin daerah baru, banyak perumahan yang dibangun disana, ..." aku hanya mengangguk.

"Kapan-kapan kita main kesana yuk, .. eh, tapi aku gak tahu alamat tepatnya,..." kataku

"Apa tidak bisa dihubungi dengan hape ?" aku menggeleng

"Dia tadi terburu-buru, anaknya sedang sakit, harus cepat pulang, gak sempat ngomong panjang,... " kataku.

"Namanya siapa ?" tanya suami, aku ingat-ingat

"Mmm, ... Dyah Ayu Sekar Arum.. " kataku mengeja perlahan

"Nama suaminya ? " aku menggeleng

"Tadi dia tergesa, belum sempat tanya, anaknya sakit dirumah, jadi harus cepet pulang, tadi cuma beli susu di super market, ..." aku berpikir sejenak

"Aku dah lama gak ketemu, kenapa, namanya agak antik ya, ... dahulu aku biasa panggil dia Arum, tapi ada yang nyebut dia  Dyah, kadang ada yang manggil Ayu, ada juga yang Sekar,..." suami hanya memandangku

"Kenapa, ... agak misterius ya namanya ?"  dia minum es kelapa mudanya

" Mmm, iyalah, ... tapi nanti bisa dicari,... mungkin daerah selatan, banyak perumahan baru disana." kata suami, aku cuma mengiyakan.

Agak terlupakan kejadian itu beberapa waktu, tiba-tiba hari ini, aku ingat lagi dengan janjiku pada Arum

Dan  di sore ini, aku bersama suami menuju ke daerah selatan, sedikit diluar kota,  diperempatan jalan kita berhenti sejenak, melihat papan penunjuk yang ada di pinggir jalan.

"Itu,... itu green village, kita belok kiri " kataku sambil menujuk tulisan yang kumaksud.

Mobil segera membelok ke kiri dan melanjutkan perjalanan. Suasana daerah baru itu  masih terasa sepi, meskipun hari jelang sore.

"Itu, ... belok kiri lagi,... " ada papan penunjuk yang lumayan besar di pinggir jalan.

Mobil belok lagi kekiri, masuk daerah yang jalannya masih tanah, keras agak berbatu.

Sedikit becek,  bergelombang , meski jalannya lebar,  dikiri kanan ditumbuhi rumput ilalang yang lumayan tinggi dan rapat.

Aku menengok kiri kanan, sepi sekali keadaannya.

"Itu,... itu .." kita sama-sama melihat papan penujuk lagi, ada tulisan Perumahan Green Village dan juga satu lagi penunjuk dibawahnya bertuliskan Pemakaman Green Village.

Aku dan suami saling berpandangan.

"Kamu dulu bilang jalan Kamboja ya ?" tanya suami, aku mengangguk.

"Mungkin didekatnya ada Pekuburan,... " kataku, masih tengok kiri kanan.

 Aku segera mengeluarkan minuman kopi panas  yang kubawa dari rumah, kuminun perlahan,  udara makin dingin, sudah sore.

Kita berhenti, suami ikut  minum, sambil sesekali menengok kiri kanan, mungkin ada penduduk yang bisa disapa untuk menanyakan jalan, tapi suasananya lengang saja.

"Gimana, kita terus atau kembali saja ?" tanya suami

"Terus saja, mungkin sudah dekat tempatnya,... " kataku meyakinkan, suami mengangguk, dan mobil terus berjalan.

Dikiri kanan jalan, ada gundukan pasir dan kerikit, ada beberapa tong drum aspal, berjajar dipinggir jalan.

Ada base camp, disitu juga ditumpuk beberapa peralatan untuk membuat jalan.

Tidak tampak seorangpyn berada ditempat itu.

"Itu,... itu .. " aku menujuk, ada papan penunjuk jalan yang cukup besar bertuliskan Perumahan Green Village, kita terus melaju.

Mendekati perumahan itu, jalan mulai beraspal, disana sini masih tampak terbengkalai, gundukan pasir dan kerikil makin berjajar dipinggir jalan, kita terus.

Dan didepan kita ada papan penunjuk besar, diatas sebuah  pintu gerbang megah, perumahan yang sedang dibangun, kita terus memasuki area perumahan itu.

Masih banyak tanah kosong, tampak beberapa rumah yang sedang dibangun, kerangka dan sebagian temboknya sudah berdiri.

Bahkan ada yang hampir jadi, tetapi masih banyak yang berupa tanah kosong, kita terus masuk wilayah itu.

"Pa, .. itu pa " aku menunjuk sebuah base camp yang besar, ada empat  sepeda motor, beberapa sepeda ontel dan mobil pick up pengangkut.

Tumpukan batu bata berjajar dipinggir jalan yang sudah beraspal, juga kayu-kayu untuk kerangka rumah, gundukan pasirnya menggunung disana-sini..

Di dalam base camp, terlihat bertumpuk sak semen , dan beberapa peralatan pertukangan.

Lima orang laki-laki duduk nongkrong sambil minum kopi dan makan kudapan didepan pintu, segera melihat semua kearah mobil kita.

Suami segera turun mobil dan menyapa mereka, tampak mereka bincang dan menunjuk nunjuk  kearah selatan.

Tiba-tiba hujan turun rintik, mendung hitam bergelayut diangkasa, suasana menjadi agak temaram, udara terasa makin dingin.

"Enggak ada yang  tahu ada jalan Kamboja disini, yang deket itu jalam Mawar, jalan Melati.yang disana " Dia masuk mobil, duduk dan minum lagi kopinya,

"Diselatan itu katanya ada pemakaman besar, seberangnya ada kampung cukup  ramai -- mungkin kita bisa tanya disana,... " dia menstarter mobil, mengikuti jalan yang masih beraspal dalam kompleks perumahan itu.

Mendung  perlahan kian pekat tebal, tiba-tiba ada petir menyambar dan hujan mulai turun  makin deras .

 Suasana makin senyap, disekeliling yang terbentang hanya kesunyian dan padang ilalang yang cukup tinggi.

"Pa itu dibawah pohon ada bangunan pondok kecil ya ? "

"Iya, ... tadi mereka bilang ada warung dipinggir perumahan ini, punyanya warga desa seberang kuburan itu, kita lihat saja "  warung itu tertutup rapat.

Karena hujan masih deras , kita mengelilingi warung itu, beberapa gembok tampak dipintunya..

"Mungkin orangnya sudah pulang,.. " kataku masih sambil menengok kiri kanan.

"Rasanya kok gak ada rumah disini,..  " kata suami, dia tampak mengernyitkan dahinya.

"Itu dimuka kan pemakaman,.. "  didepan kita  ada pekuburan basar, tetapi karena tertutup oleh lebatnya  ilalang jadi tersamar.

"Pa, .. lihat tuh ... " aku menunjuk kesatu papan kecil yang menempel di pohon,  ada tulisan  jl. Kamboja, suami mengangguk

Mobil membelok kekiri, dan disebelah kanan kita,  terbentang suatu areal pekuburan luas yang lumayan tertata dan bersih.

Hujan kembali turun rintik,  amat lembut, cuaca masih mendung, makin temaram dan udara kian sejuk, agak miris juga.

Kuperhatikan, ditengah pekuburan ada seseorang dengan topi petani, tampaknya sedang berbersih di pekuburan itu.

"Itu ada penjaga kuburan ini, aku mau tanya rumahnya Arum,..." aku segera keluar dari mobil, dan menghampiri si penjaga kuburan, rupanya diapun melihat kedatangan kita.

Kusapa dia, rupanya seorang bapak tua dan kutanyakan rumah Arum, dia menunjuk kesatu arah, kuperhatikan disana hanya ada sebuah pohon beringin besar

Kuperhatikan sekali lagi, ternyata dibalik pohon itu, samar  seperti ada cahaya dan bangunan

" Oh disitu rumahnya, rumahnya bu Arum kan ?" aku memastikan sekali lagi, dia mengangguk dan segera melangkah menuju rumah, kenapa aku merinding ya ?

"Saya beritahu bu Arum,... "  katanya singkat dan terus menuju kearah cahaya itu.

Aku kembali ke mobil, memberitahukan pada suami iya betul itu rumahnya.

Suami mengernyitkan dahimua melihat kearah pohon besar itu dan garuk kepala.

"Rumahnya ada dibalik pohon besar itu, paknya tadi sudah kesana mau memberitahukan kedatangan kita pada Arum,..." kataku.

Mobil terus berjalan dan hujan turun agak deras, cuaca makin remang, suami mulai menyalakan lampu mobil.

Dan dibalik pohon beringin rimbun itu ada bangunan yang suram, ada lampu redup didepan, entah kenapa aku kok was-was, enggak nyaman,  kugosok-gosok tanganku.

 Suami memperhatikan rumah itu tanpa berkata sepatah katapun.

Aku mengambil payung, segera aku masuk kehalaman rumah itu, pintu depan tampak sudah dibuka dan aku lihat Arum, seolah sudah menanti kedatanganku.

Kita saling berpelukan, tercium harum wangi parfumnya, bau melati segar.

"Iya tadi pak Sarmo sudah memberitahu,..." katanya

Suamiku segera menyusul masuk dan segera berkenalan dengan Arum

Tiba-tiba ada halilintar menyambar keras, kita semua kaget dan terdengar ada tangis bayi, mungkin kaget ketakutan mendengar petir itu.

"Anakmu Rum ?" aku tanya, dia mengangguk.

"Dia sakit, ini tadi kita mau ke dokter,..  " dia bingung, seperti salah tingkah, masuk kedalam dan keluar lagi, aku dan suami saling pandang.

"Oh maafkan kami mengganggu, ... mmm, kalau gitu, sebaiknya kami permisi saja dahulu, kapan-kapan datang lagi kesini, pokoknya aku tahu kamu ada disini, ... " kataku terbata, rasanya tidak enak bertamu pada saat seperti ini.

Seorang laki-laki keluar menggendong bayi, posturnya yang tinggi besar membuat aku kaget, aku mengejapkan mataku, apa aku tadi salah lihat ya ?.

Suami langsung menarik tanganku dan kita segera pamit keluar, pria tadi membalikkan badannya sambil tetap menggendong bayinya yang menangis keras sekali.

Mereka seperti kebingungan menenangkan bayinya, dan rasa-rasanya terganggu dengan kedatangan kita, aku dan suami segera keluar.

"Kapan-kapan aku kesini lagi Rum,..." teriakku, dan segera membuka mobil.

Sampai keluar dari Green Village, suami tetap diam.

"Mungkin waktunya kurang tepat, lagi pula anaknya tampak sakit ya, kok nangisnya keras gitu,... " kutoleh suamiku, dia diam dan pandangannya mengarah terus ke jalan dengan hati-hati.

Sesampai dirumah, sesudah makan malam dan kita tiduran di kamar, dia bilang          :" Kalau mau kesana lagi, sebaiknya siang hari saja, rumahnya kok horor gitu,..."

Dia kemudian menatapku  " Pasti kamu kepingin kesana lagi, penasaran ya ?"

Kupandang dia , tersenyum dan mengangguk, aku memang penasaran.

"Aneh pilih rumahnya disitu, gak ngeri apa ya, lagian kalau ada apa-apa kan jauh itu kalau mau minta tolong, anaknya masih kecil, ..."

"Kamu tadi merasa aneh enggak ?" aku tanya, dia mengangguk.

"Suaminya kok tinggi besar sekali ya, aku tadi kaget, sampai gak sempat kenalan, anaknya nangis terus,..."

"Jangan berpikiran aneh, aku yakin kamu pasti kepingin kesana lagi,..."

Aku tersenyum, tebakannya selalu tepat dan benar, ternyata dia  mengenal betul sifat isterinya, yang selalu pengin tahu.

Entah kenapa, aku selalu kepikiran dengan pengalaman waktu kerumah Arum, ada sesuatu  yang membuat aku benar-benar tergelitik untuk mengetahuinya..

Aku jadi mengingat-ingat jaman waktu masih SMA dahulu.

Arum ini tergolong gadis pendiam, wajahnya cantik, perangainya kikuk, jika waktu istirahat sering duduk menyendiri, sambil membaca buku pelajaran, judes sekali jika digoda cowok.

Bukan termasuk anak pandai, sekalipun berciri seperti kutu buku.

Tiba-tiba aku ingat, Arum itu masih bersaudara dengan Kennis, teman waktu SMA, bahkan teman sebangku dahulu.

Kennis sekarang menjadi dosen disebuah perguruan tinggi swasta yang terkenal dikotaku.

Aku pasti masih punya nomor tilpunnya,  kita berpisah sesudah keluargaku pindah ke Palembang, sekitar 6 tahun yang lalu.

Segera aku telpun Kennis, dan dia sendiri yang menerima, segera kita heboh ramai bincang saling kangen.

Sejak pindah lagi ke Surabaya setahun yang lalu, aku memang tidak pernah menghubungi dia, karena banyak kesibukan pribadi.

Akupun berceritera kalau aku bertemu dengan Arum dan sempat kerumahnya.

"Hah yang bener kamu sempat kerumah Arum ?" tanyanya tidak percaya

"Iya, aku pergi sama misoa tiga hari lalu,.." dia terdiam.

"Mmm, aku kurang tahu ceritanya, tapi keluarga Probo sudah tidak di daerah Darmo lagi,..."  yang dimaksud keluarga Probo itu orangtua Arum.

"Oh, mereka pindah kemana ?" aku tanya

"Aku kurang tahu, rumah yang di jalan Darmo itu kebakaran hingga ludes,..."

Diapun berceritera, sejak kejadian itu, keluarga Probo pindah dan tidak seorangpun tahu kemana mereka pindah.

"Aku tidak tahu kalau keluarga Probo, tapi kalau rumah Arum ada di Green Village jalan Kamboja,..." kataku, tetapi sepertinya Kennis tidak percaya.

"Eh Put, aku kok kepingin kesana, kamu ada waktu enggak besok kita pergi ?"  tanyannya.

Aku berpikir sejenak: " Boleh, tapi agak siang ya, jangan sore-sore, aku ada acara sama keluarga besok sore,... " aku janji akan menjemput kerumahnya .

Siang itu aku menjemput Kennis dan kita bersama ke Green Village, kita mampir sebentar untuk membeli kue-kue dan minum untuk kita bawa.

Aku masih ingat jalan yang kutempuh bersama suami beberapa hari yang lalu dan kita sampai diperbatasan perumahan Green Village itu.

Masih sama sepinya, tetapi keadaan sekarang terang benderang, tulisan Kamboja yang menempel dipohon hilang.

Kubelokkan mobil kekiri, dan tampak pohon beringin besar ditengah pekuburan itu.

"Rumahnya ada dibalik pohon itu,... " kataku sambil menunjuk pohon besar, Kennis memandangku keheranan.

"Itu pak penjaga kuburan ini, aku kemarin malam juga ketemu dia,... " aku segera keluar dari mobil dan melangkah menuju laki-laki bertopi petani yang sedang bebersih pekuburan itu.

Dia segera mendongak dan berdiri menyambut kedatanganku, ... ternyata bukan yang kemarin malam, ini lebih muda.

"Mmm, itu benar rumahnya bu Arum ya pak ? " tanyaku sambil menunjuk kearah pohon beringin itu, dia mengernyitkan dahinya, memandang heran kepadaku.

"Disitu tidak ada rumah bu,... " katanya

"Loh kemarin malam saya kesini sama suami dan ketemu sama pak Sarmo, kita kerumah bu Arum disebelah situ,..."

Dia tambah heran, melihatku seolah ada keajaiban, memandang lagi dan berkata

"Pak Sarmo itu ayah saya bu, ...  bapak sudah meninggal 3 tahun yang lalu, saya yang mengganti jadi penjaga di pekuburan ini,... " aku kaget, tidak percaya, agak debar didada,  aku cepat berpegang pada dahan kamboja besar didekat situ, menata nafasku.

"Gimana Put, dimana rumahnya ?" Kennis tiba dan aku cepat berpegang padanya.

"Ada apa, .. kenapa kamu ?" Kennis merangkulku

"Sebentar,... sebentar, ..."   kemudian kita duduk di pinggir tembok suatu pekuburan besar dan bersama anaknya pak Sarmo kita saling berceritera.

Aku menelan ludah, kupandang Kennis " Yang kemarin malam kutemui ternyata ayahnya,.. dan telah meninggal 3 tahun yang lalu,... " kataku tersendat.

Kennis menatapku, beralih pada penjaga kuburan itu, diperhatikan dari atas kebawah.

Akupun memandang kaki penjaga kuburan itu,  ternyata menapak ditanah, aku menggeleng, ternyata dia manusia, bukan sebangsa mahluk halus.

Karena katanya kalau mahluk halus,  kakinya tidak menapak ditanah, konon karena kita masing berada pada dimensi yang lain.

"Maksudmu gimana Puteri ?" tanya Kennis lagi

"Ini pak Diran, anaknya pak Sarmo yang kemarin malam  kutemui dan menunjukkan rumahnya Arum,... ternyata pak Sarmo itu sudah meninggal 3 tahun yang lalu,..." Kennis terperangah

Kemudian pak Diran berceritera, memang ayahnya sudah meninggal 3 tahun yang lalu, dia heran jika tiga hari lalu aku bertemu dan malah ayahnya menunjukkan rumah Arum dibalik pohon beringin besar itu.

"Di balik pohon beringin itu tidak ada apa-apanya bu, tidak ada rumah disitu,..." kata Diran menegaskan, kita berbarengan melihat kearah pohon beringin itu.

Untuk membuktikan, aku ajak Diran masuk kedalam mobil dan kita menuju kearah pohon beringin itu.

Angin bertiup lembut, semribit  menerpa mukaku, aku hentikan mobil persis didepan pohon beringin , tidak tampak apa-apa, bahkan dibawah pohon itu lumayan bersih.

"Saya tadi baru menyapu didaerah situ bu, ... juga tidak ada apa-apanya,.. "

"Mmm, tidak pernah dengar tentang yang angker di pekuburan ini ?" tanyaku tiba-tiba, dia menggeleng.

"Banyak yang bilang pekuburan ini angker, tetapi saya sudah jadi penjaganya disini sejak 3 tahun yang lalu,  tidak pernah ditakuti setan atau apa seperti di pilem-pilem  tuh bu,... " kata Diran dengan polos, aku berpandangan dengan Kennis.

Aku memutar balik mobil dan sekali lagi kita melewati dan menoleh memperhatikan kearah pohon besar itu, sepi saja.

"Oh iya, pak Diran tahu enggak rumahnya bu Arum ?" dia mengernyitkan alisnya dan menggeleng

"Namanya bu Dyah Ayu Sekar Arum,... " kataku menjelaskan, dia tetap menggeleng.

Kita berhenti ditempat tadi, Diran beranjak keluar

"Kalau pak Probo tahu enggak ?" tanya Kennis tiba-tiba

"Kalau bu Probo, yang sepuh itu, ...rumahnya ada disebelah sana pekuburan ini bu "

Aku dan Kennis saling berpandangan.

"Iya bu Probo sepuh, orangnya putih, pendek gitu pak ?" tanya Kennis, Diran mengangguk.

"Pindahan dari kota, seingat saya kalau pak Probo itu tinggi besar pakek kumis, tapi sudah meninggal lama -- anaknya satu perempuan, katanya sekolah dikota,..."

"Ya anaknya itu yang namanya Dyah Ayu Sekar Arum, itu teman sekolah kita dahulu, ... " kata Kennis

"Iya barangkali bu, panggilannya mbak Sekar gitu. Pembantunya juga perempuan sudah tua, mak Solikah, ketemunya kalau ke pasar saja, orangnya jarang omong-omong dengan tetangga,... " kata Diran.

"Saya kapan-kapan mau kesana, sudah lama gak ketemu,..." kita saling melihat keluar, rasanya sudah lumayan sore, aku ingat pesan suami.

"Iya kapan-kapan kita mau kesana, sekarang sudah sore, kita ada perlu lain,, "

Diran keluar, kita berikan kue yang tadi kita beli dan kuselipkan uang untuk beli rokok, dia mengucapkan terima kasih.

"Kalau gak repot, mungkin Kamis depan kita kesini lagi, pak Diran tunggu disini, nanti bisa mengantarkan kita kerumahnya bu Probo. Bilang saja kita itu temannya mbak Sekar, nama saya Puteri, dan ini mbak Kennis... " kataku, dia mengangguk menyanggupi.

Aku segera memacu mobil dan segera keluar dari areal perumahan Green Village itu.

"Aku pastikan kamu penasaran, dan ingin segea kerumah bu Probo kan ?"

Aku tersenyum dan mengangguk :" Dan pastinya kamu juga pengin ikut juga ya ?" pancingku, Kennis tertawa, menganggukkan kepalanya.

"Kapan ya kira-kira kita punya waktu luang,... mmm, kita  tadi bilang  Kamis mendatang -- kupikir kan besoknya Jum'at waktu olahraga dikantor, kamu ngajar enggak besok Kamis ?" tanyaku.

"Iya cuma sebentar, jam dua belasan udah pulang, jemput aku ya ?" aku mengangguk.

Agak lama kita hanya berdiam diri dalam mobil itu, merenung.

"Eh, Put bener tuh ceritamu, kalau  tiga hari lalu kamu  ketemu sama pak Sarmo, yang sudah meninggal 3 tahun itu ?" aku mengangguk.

"Kamu kemudian ketemu Arum, anak dan suaminya juga,  dirumah dekat pohon beringin itu juga ?" aku mengangguk

"Aku gak sendirian, aku bersama suamiku loh,..." kataku, kutoleh dia, kulihat dia bergidik.

"Kalau kamu takut, aku pergi sama misoa aja,... " kulihat dia termenung, termangu.

"Nanti dech, engkau kutelpon lagi, jadi enggaknya aku ikut" katanya, aku tersenyum mengangguk.

Kuantarkan Kennis sampai depan rumahnya, kita berpisah :" Telpon aku ya ?" dia mengangguk, kita saling melambai

Meskipun penasaran, agak terlupa beberapoa hari, karena banyak kesibukan,

Tiba-tiba hari Selasa  Kennis menelpon " Puteri, kamu ingat ibuku kan ?" aku tertawa

"Iyalah, kita dahulu kan sering dibikinkan dawet dan macaroni schotel oleh bu Harso, apa kabar beliau sekarang ?... " tanyaku

"Masih tetap dirumah lama,... " kita saling tertawa, bu Harso ibunda Kennis merupakan priyayi sepuh yang amat suka membuat aneka kudapan yang disuguhkan  untuk teman puterinya.

Ada saja kuliner yang disuguhkan pada kita jika kita main kerumahnya.

"Aku kemarin mampir kerumah selesai ngajar, cerita sana-sini, juga tentang Arum dan  pengalaman kita siang kemarin, beliau ternyata tahu banyak tentang keluarga Probo -- kamu pasti tertarik. Eh iya,  ibu kangen kamu lho Put, datang kerumah deh, kita ketemuan disana. Ibu mau bikin macaroni schotel kesukaanmu sama es dawet, ..." terdengar dia ngakak.

Pasti tawaran yang sulit ditolak, - macaroni schotel dan es dawet ... wow , segera aku janji besok selesai ngantor, aku akan langsung kerumah beliau.

Besoknya, siang sesudah dari kantor, , aku segera kerumah ibu Harso.

 Kennis dan ibundanya  membukakan pintu = aku segera bersalam hormat pada bu Harso, beliau memelukku dengan akrab serta segera mengajakku masuk.

Bukan kekursi tamu, tetapi kita langsung kemeja makan, yang sudah sarat dengan aneka hidangan.

"Ayo makan dulu, isi bensin dulu, ceritanya bakal panjang, ... ini kesukaan mbak Puteri kan ? " beliau memasak pecel komplit plus sambel tumpang, goreng empal, ayam kemul,  tempe bacem serta rempeyek teri.

" Dawetnya sudah dikulkas, ... nah ini macaroni schotelnya, sambil maem sambil bercerita,... "  agak sedikit berlagak malu, tapi masakan bu Harso pancen enak banget, jadi ya "terpaksa " aku sikat tanpa ampun..

Ternyata Bu Harso itu saudara sepupu dengan bu Probo., ibu mereka bersaudara. Keluarga Probo Wiseso punya 2 orang anak, laki-laki dan wanita.

Yang pertama putra, namanya Bagus Permadi dan adiknya  Dyah Ayu Sekar Arum.

Pak Probo itu seorang usahawan yang lumayan sukses, rumahnya besar dan mewah disuatu kawasan elite tengah kota di Surabaya.

Sekalipun sas-sus dikalangan keluarga, tersiar jika pak Probo itu melangkah dijalan yang menyimpang.

Konon dia mengambil pesugihan di daerah Jawa Tengah yang terkenal ampuh.

Pesugihan itu suatu upaya mendapatkan harta dengan jalan minta bantuan mahluk halus dengan imbalan tumbal. Tumbal tergantung besar kecil yang bakal didapat.

"Pesugihan dan ada tumbalnya ?" aku bertanya, bu Harso mengangguk

:" Iya, mereka carinya didaerah Jawa Tengah, tempat terpencil sekali, dilereng gunung. Sedang tumbal sebagai imbalan adalah orang terdekatnya, ... anaknya " aku melongo.

"Rasanya tidak masuk akal bu, .. jangan-jangan pak Probo itu korupsi sehingga jadi kaya dan makin kaya, seperti kebanyakan pejabat sekarang ?" tanyaku.

"Enggak mbak Puteri, ... kita dengar dari sopirnya yang selalu mengantar keluarga itu -- Sopirnya kan teman sopir kita,..." kupandang Kennis, dia ganti memandang ibunya.

Tampaknya,  nyatanya keluarga itu makin kaya raya, karena rumahnya terus dirombak makin mewah, mobil makin berderet  dan sepertinya mereka sering keluar negeri.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba putra sulung pak Probo meninggal, semua keluarga kaget dan waktu berduka kerumahnya, terlebih semua juga terpesona  dengan berbagai kemewahan dari rumah yang selalu terus di pugar

Jika ada pertemuan keluarga, keluarga Probo paling moncer cemerlang dengan aneka perhiasan yang mentakjubkan yang dipakai keluarga itu, termasuk kendaraan yang dipergunakan mereka, terus beganti dengan merek terbaru dan berkwalitas.

Yang aneh,  keluarga itu makin menjauh dari kerabat  besar mereka, sehingga tidak ada yang tahu dan mengerti keadaan yang sebenarnya.

Juga yang agak mengherankan, karena famili dan keluarga tidak penah mendengar putera pak Probo itu sakit, tiba-tiba mas Bagus Permadi  meninggal.

"Jadi dia  dijadikan tumbal bagi keluarga itu, ... mmm, apa benar ibu ?" tanyaku lagi kurang percaya.

"Semua bilang gitu. Gak tahu juga, setiap keluarga yang mau bertandang kerumahnya, selalu rumahnya kosong, jadi kita semua tidak mengerti yang sebenarnya terjadi, telpon juga mereka matikan, sehingga tidak bisa di hubungi, ..."

Kita hening , dan bu Harso menyuguhkan dawet di sebuah mangkok besar yang baru dikeluarkan dari kulkas, tampak mengepul, karena dinginnya.

Kennis menyedunya kedalam gelas besar, diberinya gula jawa cair dan santan kental

"Eh, jangan banyak-banyak santannya, aku pengin ditambahi es aja, asyik..."  aku memang kurang suka santan, rasanya jadi neg, kurang segar.

Bu Harso mengiris macaroni schotelnya, ditaruh dipiring kue, diberi garpu dan diserahkan padaku :" Terima kasih bu,..."  aku mulai mencicip kudapan kesukaanku itu.

Kemudian mereka hanya mendengar jika keluarga Probo itu mulai jatuh melarat, sopirnya dikeluarkan dan minta pekerjaan pada pak Harso.

Untungnya ada teman pak Haso yang membutuhkan sopir, sehingga dia bisa dipekerjakan lagi.

Kemudian kita mendengar bahwa rumah mereka yang mewah itu terbakar hingga ludes, dan keluarga itu seolah lenyap menghilang dari peredaran kabar kerabat keluarga besar mereka.

Tidak ada yang mengerti keluarga pak Probo pindah kemana dan apa yang terjadi, mereka rupanya sengaja menjauh menghindar dari semua keluarga.

"Lha ya  itu, saya penasaran ketika kemarin Kennis cerita, bersama mbak Puteri  mencari rumahnya Arum, ... ceritanya kok serem ya mbak Puteri, apa beneran itu ?" aku mengangguk

"Betul bu, saya kesana dengan suami, waktu itu hujan riwis, jadi suasana agak temaram. Ketemu dengan pak Sarmo, yang katanya sudah meninggal 3 tahun yang lalu,... " Bu Harso tampak bergidik.

"Iya ketemu juga dengan Arum, ada rumahnya dekat pohon beringin itu, mereka  punya bayi dan suaminya juga ada, tinggi dan besar sekali, mungkin saya agak salah lihat, karena suasana waktu itu remang sekali,... "

Suasana hening, bu Harso menyilakan lagi macaroni schotel dan es dawetnya

Aku memakan macaroni schotel itu kembali dan minum es dawetnya yang sedap..

"Saya segera ditarik suami dan kita seolah lari keluar dari rumah itu,... " Bu Harso dan Kennis tertegun mendengar ceritaku.

"Kemarin itu, saya tambah kaget, ternyata pak Sarmo itu sudah meninggal lama dan disekitar pohon beringin, ternyata tidak ada rumah. Pak Diran itu sudah menjaga pekuburan sepeninggal pak Sarmo, sudah 3 tahun,... " kataku menelan ludah.

"Terus mbak Puteri jadi mau bertamu kerumah bu Probo ya ?" aku mengangguk, bu Harso memandang Kennis :" Kamu juga mau ikut ?"  Kennis memandangku.

Kupandangi Kennis, dia menarik nafas panjang :" Aku nanti mau bicara dulu dengan Rudy,.. "  Rudy itu suami Kennis.

"Aku sebenarnya kepingin ikut, sudah lama tidak bertemu dengan bu Proobo, apa ya kabarnya sekarang, ... mmm, tapi dengar ceritanya, aku kok ragu, nanti kalau ada kejadian aneh-aneh, takut juga -- lagian aku kan  punya sakit jantung, takutnya nanti  kalau kaget dan jadi  kambuh, piye ? "

Aku termenung sejenak, memandang ibu Harso, beliau berkedip-kedip, termenung..

"Ibu tidak usah ikut dahulu, nanti kalau beritanya sudah pasti, saya sudah bertemu dengan bu Probo dan Arum, kita nanti bisa kesana bersama,... "  kataku, Kennis memandangku dan mengangguk.

Kemudian kita bercerita panjang lebar lagi tentang masa dahulu sewaktu SMA.

Setelah agak lama,  akupun pamit pulang, disertai bekal berbagai kudapan dan es dawet yang sudah disediakan di rantang susun lima yang besar.

Malamnya sambil tiduran, aku berceritera pada suami, dia lumayan kaget.

"Loh, jadi pak Sarmo yang kemarin malam  itu ternyata sudah meninggal 3 tahun lalu to ?" aku mengangguk

"Jadi rumah disamping pohon beringin itu gak ada jika siang hari ?" tegasnya

"Iya, aku dan Kennis sama pak Diran melihat sampai didekat pohon beringin itu, gakada rumah disana, bersih -- bahkan baru disapu oleh Diran,..." suami memandangku, mengernyitkan alisnya, berpikir.

"Aneh juga ya, kita kan masuk dalam rumah itu, ada Arum, suami dan anaknya,... " matanya berkedip-kedip, dia memandangku kembali.

Hening sejenak, dia menggaruk-garuk kepalanya, tiba-tiba bicara  agak berbisik "

"Ma, ... waktu suami Arum menemui kita sambil nggendong anaknya yang nangis, ... kamu memperhatikan perwujudannya enggak ?" kupandang suamiku, aku menelan ludah, memandangnya  dan perlahan mengangguk.

"Mmm, waktu itu mungkin karena lampunya temaran, ... ada petir lagi, mungkin kita kaget aja, jadi timbul bayangan aneh... " tapi sepertinya dia bergidik.

Kita saling berpandangan dan menduga-duga, ...

"Kamu masih kepingin ke tempat bu Probo yang rumahnya deket kuburan itu,  sama Kennis ?" tanyanya penuh ragu, aku mengangguk.

"Rudy tahu hal itu ?" tanyanya lagi, aku menggeleng.

"Aku belum sempat ketemu Rudy, katanya Kennis juga mau bicara sama Rudy dahulu, nanti baru nelpon aku, ... " suami mengangguk.

"Kalau Kennis gak bisa, engkau mau antar aku kesana ya ?"  pintaku sedikit merajuk, dia memandangku, mengangguk perlahan.

"Bagaimana kalau kita barengan berempat saja ?" usul suami, aku berpikir sejenak

"Mmm, rasanya gak enak, ... biar aku dan Kennis yang dahulu kesana, kita kan teman saat SMA dahulu. " aku berpikir lagi...

" Bu Harso juga ingin bertemu bu Probo, nanti kalau kita sudah dahulu kesana dan ketemu bu Probo dan Arum baik-baik saja, baru kita kesana bareng ... " kataku, suami mengangguk.

"Jangan lupa bawa hape, aku nanti juga mau ngomong sama Rudy,... " aku mengangguk.

Ternyata Kennis  juga ingin sekali bertemu dengan Arum, penasaran juga dengan cerita ibunya dan ceritaku.

"Mungkin mereka baik-baik saja, ... kan biasa  issue diluar selalu dilebih-lebihkan, ... itu cuma hoax saja menurut  Rudy,... " kata Kennis.

Kemudian kita janjian hari Kamis sesudah makan siang, aku menjemputnya dirumah bu Harso, yang ingin menitipkan oleh-oleh untuk bu Probo.

Hari Kamis, sepulang kantor, aku menjemput Kennis dirumah ibunya, dia sudah siap, dan ada rantang besar susun tiga dari bu Harso untuk bu Probo.

"Kata Rudy, kalau sampai sore kita belum pulang, dia akan jemput kita barengan dengan suamimu,..." aku mengiyakan..

Kita memasuki Green Village dan terus mengarah ke selatan, kearah pekuburan. Keadaannya  sepi saja, tidak ada seorangpun yang tampak.

Tiba-tiba hujan turun, tidak deras, tapi membuat suasana agak temaram redup, aku berpandangan dengan Kennis.

Surabaya akhir-akhir ini cuacanya memang tidak bisa ditebak, tiba-tiba saja hujan turun, padahal saat ini sudah masuk musin kemarau

"Aku tadi sudah bawa payung besar,... " kataku, aku menengok kiri kanan untuk mencari Diran dan kulirik dari jauh pohon beringin besar itu tampak bergerak-gerak tertiup angin dan rintik hujan.

"Itu Put,... pak Diran.. " Kennis menunjuk ketengah kuburan, aku tuter mobil, dia menengok dan aku buka jendela dan melambai kearahnya.

Kulihat dia segera berjalan menghampiri  mobil, Kennis membukakan pintunya, dia segera masuk.

Aku menengok lewat spion, Kennis mengulurkan minuman yang sudah kita persiapkan tadi dan kue di plastik, yang segera diterimanya.

"Minum dan makan kuenya dulu pak,... " kataku, dia segera nyeruput kopi panas sambil memakan kuenya.

"Ini kita kearah mana  ?" tanyaku. " Itu terus saja bu, ... " mobil melaju perlahan, hujan masih rintik, cuaca mulai sejuk dan kian remang..

Ternyata pekuburan ini luas sekali " Disini  hanya pak Diran sendiri yang membersihkan semua ? " tanyaku

"Tidak bu, ada 1 orang lagi, kita gantian, tapi pak Markum sudah tua, sering sakit, jadi  kadang diganti anaknya, ... " kita terus melaju perlahan.

"Didepan itu sepertinya perkampungan ya pak ?" tanyaku

"Iya bu, rumah saya disana, tapi masih masuk gang ,... " aku memperhatikan

"Itu bu, ada jalan belok kiri, nanti masuk, rumah bu Probo disitu " aku mengernyutkan alisku, Kennis juga memperhatikan dan memandangku.

Jalan kecil itu berbatasan dengan pekuburan, sebelah kiri pekuburan dibatasi jalan dan sebelah kanan tanah kosong "Terus saja bu, rumah bu Probo disana itu, ... "

Kulihat rumah itu lumayan besar, bangunan kuno, disekelilingnya ada pagar tanaman hijau yang cukup tinggi, kita behenti.

"Itu bu pekuburan pak Probo, ada satu  lagi yang dikubur disitu, katanya itu anaknya." Diran menunjuk suatu bangunan bagus terawat di pekuburan , tidak jauh dari jalan persis didepan rumah bu Purbo.

Aku berpandangan dengan Kennis, sambil memperhatikan pekuburan itu, dia menggigit bibirnya

"Saya kemarin sudah ketemu mak Solikah, sudah bilang kalau ada yang ingin  ketemu sama putrinya bu Probo, teman sekolah dulu, ... " Diran segera keluar dari mobil, menuju kepintu pagar rumah itu dan memukulkan gembok pintu kepintu pagarnya.

Tidak tampak seorangpun yang keluar, sepi sekali keadaannya, Diran memukulkan beberapa kali lagi gembok pagar itu.

Dan tampak seorang wanita yang agak bungkuk berjalan kearah pintu pagar.

"Itu mak Solikah,... " kata Diran, aku segera menuju kepintu pagar, menyapanya,  ternyata mbok tua itu sudah membawa kunci gembok dan mulai membuka pintu pagar kemudian mempersilakan kita masuk.

"Ibu sudah menunggu, ... silakan " dengan sopan mak Solikah mempersilakan kita.

Halaman rumah itu luas, ada beberapa pohon besar yang rimbun.disamping rumah.

Dihalaman depan  banyak sekali tanaman bunga melati , bau harumnya yang misterius langsung menyapa lembut.

"Mari bu masuk,... " kita terus masuk keruang tengah, suasananya lengang dan  suram, mungkin karena cat rumah itu berwarna kelabu.

Lampunya  hanya ada disamping, sudah dinyalakan, dengan watt yang tidak begitu besar, kita segera duduk disebuah sofa yang besar dengan meja kuno berukir klasik yang besar juga.

Mak Solikah masuk kedalam, aku dan Kennis saling pandang.

Perabot  yang ada, hanya  beberapa kursi dan meja kuno besar berukir dan ada satu meja besar marmer antik dengan aneka pernik menghias diatasnya.

Aku perhatikan ada bokor besar kecil berisi bunga, suasananya terasa agak mistis, bau bunga dimana-mana, Kennis memegang tanganku, terasa dingin.

Dipojok ada jam besar, jam Yung Hun berdiri yang sudah tua, tampak lusuh, juga berukir, detaknya seram terdengar jelas.

Disebelah kanan ruangan itu ada pintu besar sebuah kamar, tertutup rapat, entah mengapa aku merasa ada sesuatu didalam kamar itu, kuperhatikan sepi saja.

Seorang ibu sepuh keluar dan memandang kita berdua " Kennis ya, .. " Kennis bangkit dan segera berpelukan dengan ibu sepuh itu.

Kemudian beliau duduk disebuah kursi besar didepan meja ukiran dan memandang padaku.

"Ini mbak Puteri, putrinya bu Satrio kan ? "  sapanya ramah, beliau berdiri, kuhampiri  dan memeluk aku.

Kemudian kita duduk kembali berhadap-hadapan, suasana sepi, seperti ewuh pakewuh untuk membuka percakapan.

Aku menelan ludah dan membuka pembicaraan ini

"Saya beberapa hari yang lalu bertemu Arum ibu, di supermarket, saya berjanji ingin bertandang kerumahnya. Dia agak tergesa karena anaknya sedang sakit dirumah,..." aku berkata agak sendat, beliau memandang dengan tatapannya yang kosong kepadaku.

"Ini tadi dengan siapa, kok tahu rumahku ?"  beliau bertanya

"Kita dengan pak Diran ibu, yang menjaga pemakaman itu,... " aku menyahut.

Diran tidak ikut masuk kedalam, rupanya dia ada dimobil.

"Bagaimana kabar ibumu Kennis, sehat-sehat saja ?"

"Iya budhe, ibu sehat-sehat saja. Dahulu pernah kena serangan jantung ringan , tapi sekarang sudah baik, meskipun sekarang masih harus selalu kontrol tiap bulan dan diet,... " kata Kennis.

Bu Probo tersenyum, " Ibumu itu sukanya masak, macam-macam kue dan aneka masakan, enak-enak loh masakannya,... "

"Oh iya, tadi ibu juga titip kue dan masakan  untuk budhe, masih ada di mobil,..."  Kennis mau bangkit mengambil.

"Biar saja diambil mbok Solikah, ... " beliau memanggil mbok Solikah untuk mengambil rantang dari bu Harso sambil sekalian memberi minum Diran di mobil.

Yang banyak berceritera Kennis, karena bu Purbo bertanya tentang keluarga Kennis dan sanak familinya.

Mbok Solikah masuk, menyediakan teh hangat dan membawa serta oleh-oleh dari bu Harso ibunya Kennis.

"Ibumu dikeluarga kita terkenal paling pinter masak dari dulu, ... " beliau mengambil beberapa kue dan langsung mencicipnya.

"Iya aku ingat, pastelnya ini enak banget, kroketnya juga khas, resep dari jaman Belanda dulu, dari para sepuh leluhur keluarga, ... " beliau tersenyum mengingat.

Aku dan Kennis berpandangan dan ikut tertawa, kelihatan bu Probo lahap menikmati kudapan dari bu Harso.

"Ayo loh dimaem, ... ini mbak Puteri, ayo kita serbu bareng,... " beliau mengangsurkan piring kue itu kehadapan kita, aku mengambil kroketnya yang memang tampak menawan.

Kennis hanya tersenyum, dia tidak mengambil kuenya -- mungkin sudah bosan,  malah minum teh hangat yang disuguhkan mbok Solikah tadi.

Tiba-tiba beliau berhenti, tertunduk, kulihat matanya berkedip-kedip, tampak berkaca-kaca, dan menarik nafas panjang.

Aku perhatikan beliau, agak debar juga dalam hati ini.

Keadaan menjadi hening, hanya detak jam besar itu yang terdengar, ada dentangnya yang kedengaran sampai bergetar, aku agak terkesiap, Kennis juga terdiam.

"Arum sekarang sudah tidak seperti dulu lagi, dia sudah berbeda,... " beliau berkata lirih, memandangku bergantian dengan Kennis.

"Mestinya kalian sudah mendengar tentang keadaan Arum, dia sudah beda,... " kulihat bu Probo agak tersendat mengucapkan kata-kata itu, aku dan Kennis saling lirik, dihapuskan genangan air mata dipelupuk mata beliau.

Beliau minum teh hangat dimeja dan seolah merapikan duduknya

"Kami tidak mengerti kabar Arum bu, setelah tamat SMA kita kuliah dikota lain. Apalagi sesudah kerja dan menikah, kita semua berpisah  Repot urusan keluarga masing... "

Beliau mengangguk, mengelap mukanya, tunduk sebentar, menarik nafas panjang lagi, kemudian dipandangnya aku dan Kennis.

"Seluruh keluarga pasti sudah mendengar kabar sus-sus kita, kematian Bagus Permadi kakaknya Arum, kematian Lastri dan kebakaran rumah kita,... " beliau memandang Kennis yang tertunduk,  kemudian memandangku, akupun memandang beliau dengan kerutan dialisku, tatapan penuh tanda tanya, kurang mengerti.

"Waktu itu keluarga kita baik-baik saja, kita masih sering bertemu antar keluarga besar. Pak Probo juga lumayan maju pesat usahanya,... " beliau berhenti.

"Karena urusannya makin banyak, beliau membutuhkan sekretaris tambahan, dan Lastri masuk dalam keluarga kita,... " beliau memandang kosong pada meja, termenung sejenak, aku melirik Kennis yang terus serius memandang pada bu Probo.

"Dia cantik, masih muda, cekatan dan diberi tempat di kamar atas yang memang selalu kosong. Dengan tujuan jika pak Probo sewaktu-waktu membutuhkan, Lastri cepat bisa dipanggil untuk mengurus segala keperluan kantor,... "

"Ternyata mereka berselingkuh dan Lastri dijadikan isteri siri pak Probo,... " beliau memandang kita berdua dengan pedih.

Agak tercekat , beliau menarik nafas lagi,...

Kemudian rumah tangga itu mulai rapuh, sering terjadi pertengkaran dan kemudian Lastri diusir oleh bu Probo keluar dari rumah itu.

Entah mengapa, perusahaan juga mulai goyah, pemasukan makin seret, relasi banyak yang menjauh dan menghindari pak Probo.

Keadaan keuangan keluarga makin merosot, dan entah dapat pikiran dari setan mana, menurt bu Probo, tapi itu semua pasti hasil rengekannya Lastri.

Lastri yang terus merecoki dan merayu  pak Probo, sepertinya dia tidak mau berpisah karena  tidak ingin hidup susah.

Lastri kemudian  mengenalkan Baskoro, yang katanya anak kesayangan dari seorang dukun pesugihan yang terkenal.

Entah kenapa pak Probo menurut terus  pada permintaan Lasri, bahkan menjadi  kalap dan lupa pada akibat yang bakal ditimbulkan pada upaya sesat itu.

Perkenalannya dengan dukun yang konon punya ilmu pesugihan linuwih di Jawa Tengah dijalani  dan ditempuh membabi buta juga oleh pak Probo.

Mereka mencari jalan pintas, suatu upaya jalan menyimpang yang mengerikan.

Bahkan pak Probo rela anak pertamanya, Bagus Permadi   dijadikan korban, untuk tumbal dari upaya yang mengerikan itu.

Keadaan rumah tangga sudah makin kisruh, karena bu Probo sejak semula tidak menyetujui cara itu, beliau hanya bisa menangisi nasip buruk yang menimpanya.

Kemudian, karena putus asa, juga malu, keadaan keuangan makin morat-marit,  hutangnya terus menumpuk, membuat keluarga itu tambah berantakan.

Ditambah berita mengejutkan, , Lastri dengan Baskoro mendapat kecelakaan yang mengerikan di daerah Cemoro Sewu,  hingga keduanya tewas.

Terkuak kemudian Lastri dan Baskoro sebetulnya pasangan kekasih yang sengaja menipu memperdaya serta mengeruk kekayaan keluarga Probo.

Bu Probo makin berontak dan terjadi pertengkaran yang menyedihkan.

Kemudian dengan membawa bekal yang ada, akhirnya beliau pergi dengan Arum meninggalkan rumah itu.

Tanpa tujuan, beliau berkelana keluar kota dan akhirnya sampai di desa dekat perumahan Green Village. Mereka ditolong oleh pak Sarmo, diberi tumpangan disebuah gubuk untuk bisa berteduh.

Yang kemudian terjadi,  rumah mewah besar yang sudah mulai lapuk, ditengah kota itu terbakar dengan hebat.

 Pak Probo, yang merasa bersalah, baru sadar,  menjadi  linglung dan sampai berkelana kemana-mana, tak tentu arah dan tujuan.

 Kemudian beliau berusaha mencari keberadaan bu Probo dan Arum.

Upayanya tidak sia-sia,  sehingga bisa menemukan bu Probo dan Arum, beliau juga  tiba didaerah perumahan Green Village dipinggir kota itu.

Beliau meminta maaf pada bu Probo dan Arum atas kesilapan yang dilakukan selama beliau bersama Lastri.

Karena kasihan dengan nasip pak Probo,  bu Probo serta Arum mengajak pak Probo berdiam digubug itu..

Sisa-sisa uang kekayaan masa lalu dari rumah di jalan Darmo akhirnya dibelikan rumah didaerah itu dan mereka seterusnya mendiami rumah didekat kuburan Green Village sampai sekarang ini.

Ayah dari Baskoro, seorang dukun yang sakti dan kejam,  juga menakutkan, bernama Pergola, merasa sakit hati dan dendam dengan pak Probo.

Selalu mencari keluarga Probo untuk membalas dendam, karena kematian Baskoro dan Lastri, meminta tebusan harta yang besar pada pak Probo.

Kulihat bu Probo menggeleng-gelengkan kepalanya, menata nafasnya,...

Kita terperangah dan terhenyak, tetapi  tetap bersabar mendengarkan tutur ibu Probo, sementara susasana sekitar makin hening dan kelam.

Demikian, setiap hari pak Probo, yang selalu suntuk menyesali nasipnya, disetiap malam  selalu jalan-jalan mengitari pekuburan itu, untuk menentramkan hatinya.

Dan jika lelah dan capek, sering berteduh dibawah pohon beringin besar ditengah pekuburan itu, merenungkan nasipnya.

Tidak jarang sampai jauh larut malam beliau disana, beliau selalu ditemani oleh pak Sarmo yang setia.

Kemudian di suatu malam beliau pulang diiringi seorang laki-laki muda yang tidak dikenal, mengaku bernama Danur Wenda.

Orangnya baik, tampan, juga sopan santun tutur bahasanya, Arum dikenalkan dengan Danur Wenda, yang segera tertarik  dengan sosok yang menawan itu.

Danur jadi sering bertandang, tetapi karena konon dia itu seorang pekerja keas, jika datang kerumah selalu  pasti pada malam hari yang gelap.

Ketika semakin akrab, Arum makin mantap bertekad  berbagi kasih  dengan Danur, mereka ingin terus bersama seia sekata untuk selamanya.

Terlebih Danur bersedia menolong dan melindungi pak Probo dari intaian dan ancaman Pergola, dukun pesugihan, asalkan Arum bersedia kawin dengan dia.

Karena Arum juga sudah lengket dengan Danur, dia menyetujui pernikahan itu.

Bu Probo diam sejenak, menarik nafas dalam dan memandang kita berdua bergantian.

Ada suasana yang teramat hening menyelimuti ruang duduk ini, agak miris, mistis, rasanya membuat berdiri bulu kuduk..

Kemudian perlahan beliau berkata dengan perlahan  :

"Tetapi ternyata dia bukan manusia seperti kita ini. Danur Wenda adalah mahluk halus penghuni pohon beringin ditengah pekuburan itu,..." aku dan Kennis tersentak, kaget.

"Tetapi waktu itu untuk sementara, kita menjadi aman dari ancaman dukun pesugihan itu, dia tidak berani mengganggu dan mengancam kita sekeluarga lagi.  Saya dengar Pergola  meninggal secara mendadak, banyak yang menyatakan dia terkena santet dari musuh-musuhnya atau terkena karma dari ulahnya sendiri,... "  beliau terdiam, dan menyilakan kita untuk minum dan mencicip kudapan lagi.

:"Pak Probo waktu itu juga meninggal dengan keadaan tenang, selalu meminta maaf pada kita dan beliau minta dikuburkan dekat dengan rumah,.. .  Bagus Permadi  juga dipindahkan menjadi satu dengan ayahnya. Itu kuburannya tampak dari sini, ada bangunan yang bagus itu, ... pak Diran yang selalu merawat dan membersihkan pemakaman itu." Ada getar pedih disudut suara beliau.

Tiba-tiba kita semua kaget, jam Yung Hun yang berdiri dipojok  itu berbunyi, dentangnya mengagetkan, detaknya juga rasanya jadi menyeramkan, Kennis duduk lebih merapat padaku, aku menarik nafas.

"Arum sekarang sudah lain, dia tidak suka lagi bergaul dengan manusia, dia rasanya lebih nyaman hidup didunia baru bersama suami dan anaknya,... " suara beliau tersekat, tertahan.

Keadaan kian redup, susasna terasa makin  sunyi sepi dan hening, hanya detak jam besar dipojokan itu yang terdengar makin menyeramkan..

 Tiba-tiba lampu menyala, rupanya mbok Solikah menyalahkan lampu tambahan dari dalam, hanya  dua lampu dipojok dengan pendar yang masih redup juga.

Aku sebetulnya ingin bertanya, dimana sekarang Arum berada, tapi tenggorokan ini rasanya terkunci..

:"Mungkin Arum tidak mau menemui kalian, anaknya agak sakit,... " bu Probo berbicara seolah kepada dirinya sendiri, kupandangi beliau, kukerutkan alisku.

Pandangannya beralih kepintu kamar yang tertutup rapat disamping ruang tengah kita duduk, aku juga segera menoleh kearah pintu itu.

Pintu itu perlahan terbuka, dan aku melihat Arum sedang menggendong bayi, dibelakangnya ada suatu mahluk tinggi besar yang menyeramkan berbulu tebal

Deengan mata merah, mulut menyeringai, jari-jarinya berkukuk tajam dan runcing  serta ada dua tanduk pendek dikepalanya.

Kennis memelukku, terpekik - kaget bukan kepalang, dia bangkit berusaha lari  dan tersandung kakinya sendiri, hampir jatuh, sempoyongan, kemudian dia tergopoh lari keluar terbirit-birit.

Aku mendengar tuter mobil diluar , terdengar jerit Kennis  :" Ruddyy,..  "

Aku terpaku, memandang Arum yang dengan tenang menatapku, aku terkesiap melihat anak bayi yang digendongnya, wujudnya seperti manusia biasa , tapi  berbulu tebal dan ada dua tanduk kecil di kepalanya.

"Arum,... "  aku menyapa dengan suara tergagap, terbata getar, gidik ini rasanya sudah sampai diubun-ubun.

"Puteri, ... ini anakku , ini suamiku,..." suaranya kedengaran redup  mendayu sayup, dia memegang lengan mahluk itu.

Dan hanya dalam sekejapan mata, aku melihat mahluk berbulu tebal itu beralih rupa menjadi seorang pria yang  gagah menawan, bersih  dan kemudian juga memeluknya.

Dan mata ini berkejap lagi, kulihat bayi digendongan Arum sudah berubah menjadi bayi yang lucu, imut dan montok,  aku menggeleng-gelengkan kepalaku, rasanya tidak percaya dengan apa yang kualami dan kulihat waktu itu.

"Maa,  mamaa... " terdengar langkah gesa dan suara suamiku memanggil.

"Iya, aku disini,... " jawabku sambil menoleh, kemudian segera balik melihat  lagi kepintu tadi.

 Pintunya sudah tertutup  rapat,  Arum beserta anak dan suaminya sudah tidak tampak.

Aku terduduk, mengatur nafasku yang berdegup, kutelan ludahku,  kugeleng-gelengkan kepalaku.

Suamiku datang dan memandangi aku dengan pandangan was-was, penuh rasa kawatir, kemudian duduk dan  memelukku

"Ma, ...  mama tidak apa-apa ?" tanyanya, aku hanya menggeleng., dan menarik nafas panjang.

Ku lirik bu Probo, beliau  memandangku dengan pandangan yang kosong, kemudian tertunduk, mendesah  menghela nafas panjang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun