"Aku tak bisa terus seperti ini," gumam Rindu, memandangi langit pagi dari jendela ruang tamu. "Aku tak bisa terus bersembunyi di balik kebahagiaan semu."
Ia melangkah menuju kamar Gazi, memutar kenangan tentang mereka yang dulu begitu bahagia. Gazi yang penyayang, yang selalu ada untuknya, namun tidak bisa memenuhi kebutuhan emosional dan seksualnya. Rindu tahu bahwa itu bukan kesalahan Gazi, tapi kenyataannya---ia merasa kosong. Ketika berhadapan dengan Rasha, perasaan itu seakan hidup kembali. Rasha adalah kenangan manis yang tak pernah hilang, meskipun waktu telah membawa mereka ke jalan yang berbeda.
Gazi terbangun, menatap Rindu dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Rindu, kamu tak perlu memaksakan diri. Jika kamu ingin berbicara, aku akan mendengarkan." Suaranya lembut, namun ada keraguan yang tersembunyi di sana.
Rindu duduk di tepi tempat tidur, meraih tangan Gazi. "Aku merasa hancur, Gazi. Aku mencintaimu, tetapi aku juga mencintainya." Suaranya serak, menahan tangis yang hampir meledak. "Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengatasi perasaan ini. Aku takut jika aku memilih salah satu, aku akan kehilangan semuanya."
Gazi menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba untuk tetap tenang, meskipun hatinya sedang hancur. "Aku sudah tahu, Rindu. Aku sudah tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan dia." Ia menggenggam tangan Rindu dengan lembut. "Aku mencintaimu, dan aku ingin kau bahagia. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi suami yang baik, tapi jika kau merasa kau perlu memilih jalan lain, aku takkan menghalangimu."
Rindu terdiam, merasakan beratnya kata-kata itu. Gazi, suaminya yang penyayang, yang sudah memberinya begitu banyak cinta, sekarang rela melepaskannya jika itu yang terbaik untuknya. Namun, perasaan yang ia miliki untuk Rasha begitu kuat, dan ia merasa tak sanggup menahan diri lebih lama. Cinta itu begitu nyata, begitu mendalam, dan seakan tak bisa dihapus begitu saja.
Pagi itu, Rindu memutuskan untuk menulis pesan kepada Rasha. Ia tahu itu adalah langkah yang harus diambil, meskipun ia masih ragu dan bingung. Ponselnya terasa berat di tangan. Pesan itu, kata-kata yang harus ia sampaikan, terasa seperti beban yang tak mampu ia pikul sendirian.
"Rasha, aku sudah memutuskan. Aku tidak bisa hidup dalam kebohongan lagi. Aku mencintaimu, dan aku ingin bersamamu. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapinya. Aku takut kehilangan semuanya."
Rindu menekan tombol kirim dan menatap layar ponselnya. Ia menunggu balasan yang tidak kunjung datang. Hatinya gelisah. Waktu seolah berjalan begitu lambat, dan ketidakpastian itu membuatnya semakin terjepit di dalam kebimbangan.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Pesan dari Rasha masuk.
"Aku menunggu, Rindu. Aku juga mencintaimu. Tapi aku tidak ingin kau merasa terburu-buru. Aku ingin kau memilih dengan hati yang tenang. Apapun yang kau pilih, aku akan menghormatinya."