Beberapa hari setelah percakapan itu, Rindu merasa semakin tertekan. Ia berusaha berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa---bersama anak-anak, mengikuti kegiatan di media sosial, dan menjaga keseimbangan dalam keluarga. Namun, hatinya terus berpindah-pindah, antara Gazi yang penuh kasih dan Rasha yang selalu menunggu.
Malam itu, saat anak-anak sudah tidur, Rindu kembali melihat pesan dari Rasha. Rasa rindu itu datang lagi, seakan-akan Rasha berbicara langsung di hadapannya.
Rasha:
"Kita perlu berbicara, Rindu. Aku tidak bisa terus menunggu."
Rindu menggigit bibir bawahnya, perasaan bersalah dan bingung semakin melanda. Ia tahu bahwa pertemuan dengan Rasha kali ini mungkin akan menjadi titik balik dalam hidupnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.
Beberapa jam kemudian, Rindu keluar dari rumah dengan perasaan gelisah. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menghadapi perasaan ini, untuk mengerti apa yang sebenarnya ia inginkan.
Ia mengendarai mobilnya menuju sebuah kafe kecil yang sudah menjadi tempat pertemuan rahasia mereka. Di sana, di tengah malam yang sunyi, Rasha menunggunya.
Rasha berdiri saat melihat mobil Rindu datang, senyumnya yang penuh harapan itu tak bisa disembunyikan. "Aku sudah menunggumu, Rindu," katanya dengan suara yang hangat namun penuh rasa cemas.
Rindu menatapnya dalam-dalam, merasa seolah-olah dunia mereka hanya ada di antara dua jiwa yang saling mencari.
"Aku tahu, aku salah," kata Rindu, suara agak gemetar. "Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini."
Rasha mendekat dan menggenggam tangan Rindu. "Aku tidak meminta semuanya, Rindu. Aku hanya ingin kesempatan, kesempatan untuk mencintaimu."
Namun, di dalam hatinya, Rindu tahu bahwa jalan yang akan ia pilih tidak mudah. Cinta yang ia simpan selama ini tak bisa begitu saja ia jalani tanpa akibat. Di luar sana ada Gazi, yang menunggunya dengan segala kesabaran. Ada anak-anak yang sangat ia cintai. Cinta yang tak bisa dimiliki mungkin adalah cinta yang harus dilepaskan---demi kebaikan semua orang.