"Hmm! Terima kasih, Rodrigues. Aku juga mengucapkan selamat atas keberuntungan yang kau dapat melalui pamanmu. Aku harap kau selalu beruntung dengan lukisan-lukisanmu."
"Terima kasih kawan! Aku harap kelak kita dapat saling bertukar kabar melalui surat."
"Tentu, Rodrigues!"
Keesokan harinya, kabar tentang kondisi kesehatan permaisuri yang cukup mengkhawatirkan telah tersebar ke seantero negeri. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa yang terjadi pada sang permaisuri adalah sesuatu hal yang wajar. Kondisi dimana psikologis seorang ibu terguncang karena putranya harus menjalani hukuman sebagai konsekuensi dari tindakan tercela yang dilakukannya.
Apalagi beliau tidak dapat menemui putranya, hingga batas waktu yang belum dapat dipastikan.
Sejak sadarkan diri dari pingsannya tempo hari, permaisuri telah berusaha mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk bangkit. Menepis rasa sakit dalam dadanya. Namun, setiap kali dirinya teringat akan sosok putranya, emosinya kembali teraduk.
"Makan siangmu sudah datang, Ibu. Ayo aku suapi."
Permaisuri hanya mengangguk dan tersenyum tipis memandangi wajah putrinya, yang duduk di ujung ranjangnya. Beliau pun telah memulai suapan pertamanya oleh putri Nicole.
"Aku sangat senang kau mau makan, Ibu. Kau harus kuat dan kembali ceria seperti sedia kala." mereka berbincang di sela-sela kegiatan putri Nicole yang menyuapi permaisuri.
"Hmm. Terima kasih telah mau merawat dan menemaniku, Nicole. Sikapmu telah semakin dewasa."
"Kau tidak perlu berterima kasih untuk itu, Ibu. Sudah seharusnya aku melakukannya untukmu."