Bagian 26
Seusai melakukan pekerjaannya hari ini di perkebunan, Matias kembali menyempatkan diri menemui sahabatnya, Rodrigues.
"Lihat ini Matias! Aku menyewa alat untuk memotret. Aku menyewanya untuk membantu sepupuku memotret pepohonan liar di belakang rumahku. Dia memerlukannya untuk memenuhi tugas dari lembaga perguruannya. Bawalah, siapa tahu kau membutuhkannya!"
"Sepupumu sudah selesai menggunakannya?"
"Tentu. Kemarin kami sudah menggunakannya. Kau masih punya waktu lima hari untuk menggunakan itu, sebelum aku mengembalikannya ke kios pusat dokumentasi."
"Baiklah Rodrigues! Aku akan membawanya dulu. Terima kasih."
Hari telah malam saat Matias beranjak pergi dari tempat tinggal sahabatnya itu. Dalam perjalanan pulangnya, masih terngiang tentang semua yang dikatakan oleh Nivea siang tadi. Sekarang dirinya tahu, bahwa sebenarnya pangeran Edmund menyimpan kecemburuan saat melihat dirinya dan Nivea mengenakan pakaian dengan warna senada tempo hari.
Matias menghela nafas, bersaing dengan putra baginda raja bukan suatu hal yang perlu ditakutinya. Dia tak akan mundur selangkah pun. Dia akan menghadapi apapun resiko yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.
Waktu berputar kembali, pagi telah menyongsong.
Keluarga Lawrence telah selesai melakukan sarapan bersama. Dan seperti biasanya, mereka masih punya sedikit waktu untuk berbincang.
"Katakan sesuatu Ibu."
"Hah? Apa?" tanya countess Victoria mengernyitkan dahi tak mengerti.
Gadis itu memberi kode dengan matanya, yang dalam hitungan detik membuat sang ibu mengerti.
"Ah, itu.. Hmm.. Aku ingin mengatakan bahwa kini... Martha dan putra dari duchess Valerie tengah menjalin sebuah hubungan." countess Victoria menutup kalimatnya dengan anggukan dan sebuah senyum.
"Apa???" count Antonio dan Matias kompak membelalak.
"Hahaha. Kau? Martha?"
"Hmm.. Itu benar kakak! Ibu telah mengatakan hal yang benar."
"Sejak kapan Martha?" timpal ayahnya ikut bertanya penasaran.
"Sejak kita pulang dari perjamuan makan malam tempo hari di istana."
"Ah, pantas saja kau berdansa dengannya!" tukas sang kakak.
"Jadi, apakah ketika berdansa... kalian telah meresmikan hubungan itu?" tanya ayahnya kembali.
"Hmm.. Kau benar ayah!"
"Selamat Martha! Aku selalu mendukungmu!"
Ucapan selamat dari Matias telah membuatnya tersipu malu. Rona kemerahan pun tersirat di wajah cantiknya.
***
Lagi-lagi Matias tak sengaja memergoki tuan Benedict berbincang dengan lelaki bermata satu itu. Namun kini, dirinya memergoki mereka tengah berbincang di depan gedung kantor pajak.
Segera saja Matias meminta tuan Luigi untuk mengendarai kereta kudanya dengan lebih lambat. Dan Matias telah berhasil memotret kedua lelaki itu beberapa kali. Tentu saja apa yang dilihatnya itu membuatnya semakin penasaran, bahkan dirinya tak ragu lagi untuk menyelidiki perihal penyelewengan pajak perkebunan.
Hingga akhirnya setengah harinya di perkebunan telah dia jalani, siang ini Matias menemui Rodrigues dan mengutarakan niatnya. Mereka memutuskan untuk saat ini juga bergerak menyelidiki lelaki bermata satu itu, yaitu tuan Keith.
Setelah mengatur strategi, Matias dan Rodrigues telah tiba di kantor pajak. Rodrigues menyamar sebagai seseorang yang seolah-olah telah mengenal tuan Keith. Dengan menaruh keyakinan bahwa tuan Keith adalah pekerja disana, Rodrigues tak ragu bertanya pada salah satu loket yang ada.
Lelaki itu bertanya, "Nona, apakah tuan Keith ada di tempat?"
"Ya, tuan Keith ada di ruangannya. Adakah yang bisa Saya bantu, tuan?"
"Saya ingin bertemu dengannya, nona. Saya ingin berdiskusi dengan beliau terkait pajak untuk usaha pabrik yang Saya miliki."
"Ah, silahkan naik lewat tangga di sudut sana tuan! Tuan Keith ada di ruang percetakan tagihan, lantai tiga. Oh ya tuan, ruangan itu cukup steril. Tunggulah hingga beliau keluar setelah Anda mengetuk pintunya!"
"Ah, baiklah nona! Terima kasih."
Gadis pekerja loket tersebut kembali menunduk, mengerjakan tugas di meja kerjanya setelah sempat tertunda beberapa menit. Hingga gadis itupun tak melihat Rodrigues yang tidak benar-benar naik ke tangga di sudut sana.
Informasi yang diberikan gadis itu sudah cukup menjawab rasa penasaran Matias dan Rodrigues tentang siapa sebenarnya lelaki itu.
Dan tentu saja lelaki itu dapat dengan mudahnya melakukan manipulasi tagihan pajak. Mencetak secarik kertas tagihan yang mengatas namakan pihak pajak, bukanlah hal sulit baginya. Tuan Keith tak segan-segan melakukan penipuan.
"Informasi apa yang kau dapat, Rodrigues?" tanya Matias ketika Rodrigues menghampiri dirinya di suatu tempat yang aman, tak jauh dari gedung kantor pajak.
"Salah satu dugaan kita benar, Matias. Tuan Keith bekerja disana. Dia memang bekerja sebagai pencetak tagihan pajak."
"Hmm.. Seorang pencetak tagihan biasanya tak hanya mencetak, dia juga sebagai orang yang membuatnya."
"Tapi, ada kemungkinan lain... dirinya dilindungi oleh seseorang yang berada di atasnya. Jika dia memang sudah lama memanipulasi tagihan dan hal itu belum juga terbongkar, maka... pasti salah seorang di atasnya telah cukup melindunginya. Meski tahu dia sering melakukan pemalsuan tagihan."
"Kau tepat, Rodrigues! Dan tampaknya kita juga harus mencari tahu, siapa yang jabatannya berada di atas tuan Keith. Kita akan melanjutkannya besok, Rodrigues! Aku akan segera mencetak gambar-gambar hasil potretanku tadi pagi."
***
Nivea dan Seri tengah berada dalam perjalanan mereka menuju ke istana. Tentu saja keduanya akan hadir dalam pesta para gadis.
"Pangeran akan memilih Anda, nona!"
"Jangan menakutiku, Seri!"
"Apa menjadi pasangan bagi seorang pangeran adalah sesuatu yang menyeramkan, nona?"
"Hmm.. Bagiku, itu lebih dari sekedar menyeramkan."
"Jika nanti pangeran memilih Anda? Bagaimana nona? Apa Anda akan menolaknya di hadapan semua orang disana?"
"Entahlah Seri! Kalaupun aku terpaksa menerimanya, itu hanya karena aku tidak ingin membuat masalah lagi dengan ayahku. Dan aku tak akan mempermalukan pangeran Edmund di hadapan semua orang. Aku akan menerimanya. Ya! Tapi, itu.... hanya bersifat sementara."
"Ah, Saya mengerti maksud Anda, nona. Eh? Kapan Anda mengenakan kalung itu nona? Anda memakainya tanpa bantuan Saya." kedua mata Seri menangkap sebuah kalung emas putih dengan liontin inisial N, tengah bertengger di leher nonanya.
"Tentu saja aku memakainya sendiri, sebelum keluar dari kamar. Kau tahu, Seri? Kalung ini pemberian Matias."
Seri menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangannya dan membulatkan matanya. Setengah tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Perjalanan di petang hari yang sejuk itu, masih terus berlanjut. Jarak tempuh dari kediaman duke Eduardo ke istana memang cukup jauh.
Nivea dan Seri juga masih berbincang tentang hal lain. Namun di dalam hati, sesungguhnya Nivea ingin malam ini cepat berakhir. Atau kalau bisa, dirinya akan berlari ke planet lain sekarang juga.
Dirinya hanya tak ingin mempermalukan nama keluarganya untuk kedua kalinya di hadapan keluarga baginda raja. Gadis itu akan berusaha semampunya untuk tidak kembali ke rumah dengan membawa masalah lagi. Meski mungkin di lain hari dia akan kembali membuat masalah.
27. Bersandiwara
Pesta para gadis sedang digelar. Tentunya terlihat banyak gadis telah memenuhi area sekitar istana kerajaan. Nivea dan Seri juga telah tiba disana. Seri tetap mengekor di balik tubuh Nivea, meski Nivea terlihat sedang berbincang bersama beberapa orang gadis yang dikenalnya.
Nivea tak mau terpisah dari pelayan pribadinya itu.
Nivea, Martha, Gabriela dan Catherine yang merupakan seorang putri dari count di wilayah barat, mereka sedang asyik berbincang di dekat tangga dalam istana. Sesekali terdengar riuh tawa diantara keempat gadis itu.
"Aku rasa, kalian harus mengetahui sesuatu."
"Apa itu, Martha?" tanya Gabriela dibarengi dengan wajah penasaran kedua teman lainnya.
"Sekarang aku dan Daniel sedang menjalani sebuah hubungan."
"Wah.. Benarkah?" tanya mereka kompak.
"Apa Daniel yang kau maksud itu adalah putra duchess Valerie?"
"Tepat sekali nona Nivea!" jawab Martha.
"Daniel adalah teman kami di perguruan, nona." tambah Gabriela mengarah kepada Nivea.
"Bahkan Martha dan Daniel juga berteman saat di sekolah dasar." lanjut Catherine menimpali. Membuat mereka kembali tertawa bersama.
"Apakah... dia cinta masa kecilmu, nona Martha?"
Martha mengangguk tersenyum malu-malu. Dan tentunya memancing yang lainnya kembali tertawa.
"Kami sangat senang mendengar kau, bisa bersatu dengan cintamu Martha!" timpal Catherine.
"Itu benar. Kami ikut bahagia, nona Martha."
"Ah, nona Nivea! Tampaknya... aku mengenal kalung emas putih itu." ucap Martha dengan sorot matanya tertuju pada leher Nivea. Tentu saja kedua temannya jadi ikut memandang kesana.
"Ah, itu... Hahaha. Kau bisa saja nona! Apa.. kau ingin aku mengatakannya?"
"Hahaha. Apa kau sangat menyukai kalung itu, nona?" tanya Martha.
"Tentu, nona Martha! Kalian bisa melihat liontin ini menunjukkan inisialku. Dan.. aku mendapat kalung ini dari Matias."
Martha tersenyum, diikuti pertanyaan dari Gabriela, "Apa yang dimaksud itu kakakmu, Martha?"
"Tentu Gabriela!"
"Ya, kami memang berteman baik." tambah Nivea.
Alunan musik yang lembut masih terdengar, menjadi latar dalam acara tersebut. Setelah menikmati kudapan yang disuguhkan oleh para pelayan istana, baginda raja meminta perhatian pada seluruh gadis yang berada di hadapannya.
"Selamat malam para gadis di negeri ini, kami sangat berterima kasih atas kehadiran kalian disini. Kalian tampak antusias dan tampil anggun dalam pesta yang kami adakan untuk para gadis kali ini. Tak lama lagi putraku, pangeran Edmund akan memilih salah satu dari kalian sebagai calon pendampingnya di kemudian hari. Gadis yang akan dipilihnya nanti, tentu didasari oleh latar belakang pendidikan, bakat, serta latar belakang keluarga yang baik. Aku harap kalian yang ada disini dapat menerima keputusan pangeran Edmund nanti dengan penuh dukungan dan suka cita."
Jeda sesaat. Mereka menunggu pangeran Edmund maju untuk berbicara. Lelaki yang mengenakan tuksedo putih malam itu tampak lebih tampan dari hari-hari biasanya. Rambut hitamnya begitu rapi dengan tatanan belah pinggir. Dirinya telah menawan hati seluruh gadis di negeri itu. Kecuali Nivea.
Dan tibalah saatnya, pangeran Edmund mengumumkan gadis pilihannya. Dengan gagahnya, dia telah berdiri di samping baginda raja. Di hadapan semua orang.
"Dengan penuh rasa hormat dan terima kasih kepada kalian, para gadis cantik yang ada di negeri ini. Sesungguhnya aku telah memilih salah satu dari kalian untuk menjadi calon permaisuriku di masa mendatang."
Semua gadis kompak menampilkan binar kecerahan di raut wajah mereka. Tentu mereka berharap-harap cemas, tak sabar ingin tahu siapakah gadis beruntung yang telah dipilih oleh sang pangeran.
"Dia sangat tampan, nona Nivea."
"Hmm.. Itu benar nona. Aku rasa kedua mataku masih normal. Tapi... dia cukup bodoh."
"Hah? Apa nona?"
"Ah, tidak! Tidak, nona Martha." Nivea menggeleng dan tertawa kecil berharap Martha tak mendengar kata bodoh yang dia ucapkan.
"Dan pilihanku ini adalah murni sebagai pilihanku sendiri. Didasari oleh beberapa kriteria tertentu. Dan pilihanku jatuh kepada....."
Sayup-sayup suara para gadis di tengah sana kian riuh terdengar. Mereka saling bertanya siapakah kira-kira gadis itu.
"Gadis itu adalah putri dari duke Eduardo Del Castano."
Nivea tertegun, tak menghiraukan suara tepuk tangan yang mulai bergemuruh menunggu namanya disebutkan oleh pangeran Edmund.
"Nona Nivea Del Castano, aku memintamu dengan hormat agar maju ke depan. Untuk dapat berdiri di sampingku."
"Apa katanya? Nona... Hei, nona Nivea! Cepat kau kesana.. Pangeran telah memilihmu." Martha yang berdiri di samping Nivea, berusaha menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
"Eh? Apa?" akhirnya Nivea menoleh juga padanya.
"Melangkahlah ke depan sana, nona! Pangeran memintamu kesana."
"Ah, baiklah.. nona Martha."
Dengan langkah ragu-ragu, Nivea berusaha menguasai diri. Berpura-pura biasa saja dan terus melangkah menghampiri pangeran Edmund. Dan saat itu, semua mata tertuju kepada Nivea.
Pangeran Edmund tersenyum puas, mendapati gadis yang disukainya telah berdiri di samping dirinya. Dengan senyum itu dia memandang dalam ke wajah Nivea.
"Aku akan memperkenalkanmu. Bisakah... kau menerimaku, nona Nivea?" ucapnya dengan nada berbisik. Hanya mereka berdua yang dapat saling mendengar.
Nivea menghela nafas, "Baiklah pangeran, aku akan mencobanya."
Pangeran pun membulatkan kedua matanya, cukup terkejut mendengar hal itu. "Baiklah. Aku akan mengumumkannya."
Nivea hanya bisa diam. Sesekali melempar senyum tipis kepada semua orang.
"Baiklah, aku memperkenalkan nona Nivea Del Castano kepada kalian semua. Gadis cantik ini telah bersedia menjadi calon pendampingku. Aku mengharapkan dukungan penuh dari kalian agar ke depannya semua dapat berjalan dengan lancar."
Seri yang sejak tadi berdiri di dekat Gabriela dan Catherine, terlihat biasa-biasa saja mendengar keputusan yang diambil oleh pangeran Edmund. Keputusannya untuk memilih sang nona, tentu telah dia duga sebelumnya.
Dan Nivea yang bersedia menerimanya, bukanlah sesuatu yang mengejutkan lagi baginya. Dia sangat mengetahui, alasan Nivea terpaksa menerima pangeran Edmund.
Sedangkan Martha, sesungguhnya dia cukup kecewa dengan hal itu. Dia tak tega membayangkan bagaimana reaksi kakaknya jika tahu, gadis yang sangat disukainya itu telah menjadi calon pendamping pangeran.
Pesta para gadis telah berakhir. Meski tak menjadi pilihan pangeran Edmund, mereka tetap bersuka cita kembali ke rumah masing-masing. Kecuali Martha, tak ada satupun yang terlihat keberatan dengan pilihan sang pangeran. Mereka tak akan berani menolak keputusan keluarga kerajaan.
"Hahaha..."
"Anda mengagetkan Saya, nona. Kenapa tiba-tiba Anda tertawa?"
"Tentu aku puas telah bersandiwara."
"Hmm.. Anda sudah pandai berbohong, nona."
"Huh, itu benar Seri. Jika aku bertemu dengan Matias, aku akan mengatakan yang sejujurnya."
"Sejujurnya?"
"Ya! Tentang alasanku terpaksa menerima lamaran itu."
"Ah, kenapa Anda harus mengatakan itu pada tuan Matias?"
"Tentu aku harus mengatakannya, Seri. Aku tidak ingin dia... dia salah paham. Aku tak ingin dia berpikir bahwa aku benar-benar mau menerima lamaran itu."
"Anda takut tuan Matias cemburu, nona?"
"Hah? Apa katamu?"
"Oh.. itu.. Hahaha. Tidak nona. Rasanya malam semakin dingin, bukan? Ini nona, kenakan mantel Anda!" Seri mengalihkan pembicaraan dengan menyerahkan sebuah mantel hitam berbulu ke tangan Nivea. Mereka masih berada dalam perjalanan pulang.
28. Penyelidikan Berlanjut
"Aku rasa, hanya aku yang belum mengetahui hasil dari acara semalam." ucap Matias pagi itu di hadapan ketiga anggota keluarganya.
"Pangeran Edmund memilih nona Nivea." ucap Martha ringan.
Matias terdiam. Memandang wajah Martha seolah ingin memastikan apakah Martha mengatakannya dengan wajah serius.
"Itu benar, Matias. Bukankah nona Nivea pernah menjadi adik kelasmu?"
"Ah, itu.. itu benar Ibu."
"Pasti duke Eduardo sangat senang karena anak gadisnya telah terpilih." ucap count Antonio.
Matias menyembunyikan kekecewaannya. Lelaki itu tak menduga bahwa Nivea akan berubah pikiran. Hanya dalam hitungan hari yang lalu, gadis itu mengatakan padanya bahwa dia tidak menyukai pangeran Edmund. Tapi kenapa tiba-tiba saja dia mau menerima keputusan pangeran.
Memang rasanya tidak mungkin jika Nivea kembali mempermalukan pangeran di hadapan orang yang lebih banyak. Tapi, jika Nivea benar-benar telah setuju dengan keputusan itu, artinya Matias tak punya harapan lagi. Keputusan itu telah diumumkan di hadapan seluruh gadis yang hadir tadi malam. Yang ada, dirinya harus terpaksa mengaku kalah. Dia harus merelakan Niveanya.
Matias mengatakan pada tuan Luigi bahwa dia tidak jadi minta diantar ke perkebunan. Dia lantas minta diantarkan ke rumah Rodrigues.
Beberapa menit kemudian dia telah sampai di rumah sahabatnya itu.
"Maaf aku mengganggumu pagi-pagi Rodrigues."
"Tidak masalah! Kau tidak ke perkebunan?"
Matias menggeleng, "Aku ingin melanjutkan pencarian kita. "
"Ah, kau sudah mencetak hasil gambar itu?"
"Belum Rodrigues. Aku belum sempat ke percetakan dokumentasi."
"Baiklah! Pagi ini kita cetak dulu gambar-gambar itu, lalu kita kembali ke kantor pajak."
"Benar, kita harus mendapat lebih banyak informasi dari sana."
Setelah cukup berbincang, keduanya memutuskan untuk pergi. Dengan menumpang kereta kuda milik Matias, tuan Luigi akan mengantar kemana pun mereka minta.
Setibanya mereka di balai percetakan dokumentasi, Matias mengutarakan maksudnya untuk mencetak beberapa foto tuan Benedict dan lelaki bermata satu, pagi hari yang lalu di depan gedung kantor pajak.
Matias dan Rodrigues ikut memperhatikan kerja seorang paman yang mencetak foto-foto tersebut dengan bantuan beberapa peralatan, yang tersedia di sekeliling beliau.
Setelah menunggu kurang lebih dua jam, foto-foto itu telah selesai dicetak. Paman tersebut juga telah mengembalikan alat memotret itu ke tangan Matias.
Lalu mereka masih melanjutkan perjalanannya ke kantor pajak.
Di perjalanan itu Rodrigues mengamati hasil foto hitam putih itu di tangannya. Dia mengamati dan berusaha mengingat penampilan tuan Keith, karena baru kali ini dia dapat melihatnya lewat foto. Kemudian Matias menyimpan foto-foto itu kembali ke dalam kantung bagian dalam jasnya.
Hingga kini tiba saatnya kedua lelaki itu harus turun dari keretanya. Mereka telah tiba di depan gedung kantor pajak. Matias meminta tuan Luigi untuk menunggu di tempat yang aman.
Dan langkah mereka terhenti, ketika Matias menyadari sosok yang dikenal oleh seluruh orang seantero negeri itu.
"Tunggu Rodrigues!"
"Hmm. Apa Matias?" dia menoleh heran kepada Matias di sampingnya.
"Apa aku tidak salah lihat? Apa yang dilakukan pangeran Edmund disini?" Matias mengarahkan pandangannya kepada pangeran Edmund yang tampak sedang berjalan seorang diri di dekat pintu masuk. Dia berjalan dengan santainya, tanpa seorang pengawal mengekor di belakangnya.
"Ah, kau benar Matias! Itu benar-benar pangeran."
"Kalau dia berkeliaran di sekitar sini, aku tak bisa ikut ke dalam sana Rodrigues. Dalam acara perjamuan makan malam di istana, kami sempat berbincang. Dia akan merasa aneh jika melihatku berada disini."
"Baiklah! Aku akan masuk sendiri lagi. Dan... berikan alat memotret itu padaku! Aku akan menyembunyikannya di dalam jaket ini."
Mereka bergeser ke balik dinding yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Matias mengeluarkan alat memotret dari dalam tas jinjingnya, dan mengalungkan talinya ke leher Rodrigues. Buru-buru Rodrigues kembali menutup rapat jaket cokelatnya yang tampak longgar. Mereka pun lantas berpencar disana.
"Selamat pagi nona!"
"Selamat pagi tuan! Ah, saya lupa menanyakan nama Anda kemarin."
"Saya tuan Barney, nona. Saya ingin kembali menemui tuan Keith, apakah beliau ada di tempatnya?"
"Beliau ada, tuan Barney. Silahkan saja Anda naik."
"Baik nona. Ah, ya.. Kalau boleh tahu, apa yang dilakukan yang mulia pangeran Edmund disini? Tadi Saya sempat melihatnya disini."
"Dalam satu bulan, beliau melakukan beberapa kali kunjungan kesini, tuan."
"Ah, baiklah! Saya permisi, nona."
Rodrigues cukup puas mendapat informasi itu. Rasanya sangat mudah mengorek informasi dari gadis yang berada dalam loket itu. Rodrigues melengos menuju tangga di sudut sana.
Ketika sebelah kakinya menginjak satu anak tangga, dia dapat menangkap keberadaan pangeran Edmund di ujung tangga atas sana. Pangeran yang tampak dari belakang itu, sepertinya sedang berbicara dengan seseorang yang tak terjangkau oleh kedua mata Rodrigues.
Perlahan Rodrigues melanjutkan langkahnya menapaki tangga itu satu persatu. Namun kemudian pangeran merangkul lelaki yang berbincang dengannya, mereka mulai melangkah. Membuat Rodrigues berusaha mempercepat langkahnya tanpa menimbulkan suara. Dan dia telah berhasil melihat tuan Keith dan pangeran Edmund dengan jelas.
Dari balik dinding, segera saja Rodrigues berhati-hati mengambil gambar mereka beberapa kali. Sebelum ada orang lain yang naik lewat tangga. Beruntung tak ada siapapun disana, sehingga Rodrigues masih punya kesempatan untuk menguping.
Dia menajamkan kedua telinganya. Hingga akhirnya dia mendapatkan fakta bahwa selama ini tuan Keith telah melakukan banyak penipuan. Dan lelaki bermata satu itu bekerjasama serta mendapat perlindungan dari pangeran Edmund.
Rodrigues sungguh tak ingin mempercayai hal itu. Seorang putra dari baginda raja yang tersohor di seantero negerinya, telah mendukung banyak penipuan dan praktik korupsi. Tanpa berlama-lama lagi, Rodrigues segera pergi dari kantor itu, menghampiri keberadaan Matias yang sedang menunggunya.
"Kau tak kan percaya dengan apa yang akan ku katakan, Matias."
"Ada apa Rodrigues?" tanyanya kian penasaran melihat ekspresi wajah Rodrigues. Mereka tengah berada di dalam kereta kudanya.
"Dalam penipuan itu, tuan Keith bekerjasama dengan.... pangeran Edmund."
"Apa katamu?"
"Aku mendapatkan beberapa gambar mereka. Aku juga menguping pembicaraannya. Dan aku sudah menarik kesimpulan. Tuan Keith sudah banyak melakukan pemalsuan tagihan pajak. Sekaligus kuitansi penerimaan pembayaran pajak. Dia bekerjasama juga dengan orang dalam pada perusahaan tertentu. Biasanya orang dalam itulah, yang memintanya membuat tagihan pajak palsu untuk menipu atasannya. Orang dalam itu menjanjikan upah untuknya jika dia mau membantu. Tapi upah yang diminta tuan Keith cukup besar. Hal itu, karena dia harus membagi upahnya kepada pangeran."
Matias mengangguk-anggukkan kepalanya, setelah mendengar penjelasan Rodrigues dengan seksama.
"Jadi, sama saja dengan pangeran Edmund mendukung kejahatan. Mulai dari korupsi yang dilakukan oleh orang dalam perusahaan itu, lalu mengetahui dan mendukung apa yang dilakukan tuan Keith. Hingga pangeran pun ikut menikmati hasilnya. Hmm.. itu berarti, tuan Benedict berada di posisi orang dalam yang kau maksud, Rodrigues!"
"Tepat sekali, Matias!"
29. Kekecewaan Tuan Putri
"Tapi, jika tuan Carlos mengatakan beliau juga mendapat surat tagihan atas pajak yang tertunggak, itu artinya tuan Benedict pernah tidak menyetorkan uangnya ke pihak pajak."
"Bahkan kita tidak tahu, Matias. Surat tunggakan itu benar-benar datang dari pihak pajak atau tuan Keith yang mengarangnya sendiri."
"Kau benar Rodrigues! Semua data yang asli akhirnya tercemar oleh yang palsu."
"Dan yang asli, salinannya pasti ada di gedung arsip."
"Ini rumit Rodrigues!"
"Ini ada kaitannya dengan pangeran. Kenapa rasanya, aku sangat geram. Apa kau berpikir.... untuk mengungkapnya di hadapan yang mulia baginda raja?"
"Kau gila, Rodrigues! Aku tak berpikir sejauh itu. Aku hanya ingin menolong tuan Carlos, agar beliau tidak terus-menerus dibohongi."
"Tapi pangeran Edmund adalah calon penerus baginda raja. Bagaimana mungkin kita diam saja, padahal kita mengetahui kebusukannya."
"Tapi.. kita harus mendapat bukti lain jika ingin membawa hal ini kepada baginda raja. Kita tidak bisa membuktikannya hanya dengan gambar-gambar itu."
Matias menghela nafas, "Masih ada waktu untuk menemui tuan Carlos di perkebunan. Aku antarkan kau pulang sekarang, Rodrigues. Setelahnya aku akan ke perkebunan."
Beberapa jam ke depan, Matias telah sampai di perkebunan.
Meski hari sudah cukup siang, tapi dia memutuskan untuk berkeliling di area perkebunan anggur itu lebih dulu. Memantau pekerjaan para pekerja kebun sekaligus mendengarkan satu dua keluh kesah yang mungkin dirasakan mereka. Setelah cukup berkeliling, Matias pun menemui tuan Carlos.
"Maaf atas kelancangan Saya, tuan. Saya dan teman Saya, Rodrigues telah menemukan titik terang dari masalah tagihan pajak yang Anda keluhkan tempo hari."
"Apa? Kalian menyelidikinya?"
"Kami sama sekali tidak berniat awalnya, tuan. Hanya saja, tidak sengaja Saya mendengar percakapan tuan Benedict dengan seseorang."
"Seseorang?"
"Ya! Mereka membicarakan tentang tagihan pajak asli dan palsu."
"Apa? Kenapa kau tidak langsung mengatakannya padaku?"
"Maafkan Saya tuan, tapi Saya tidak mungkin mengatakannya pada Anda tanpa membawa bukti apapun."
"Jadi, apa sekarang kau membawa buktinya?"
"Sementara Saya hanya memiliki gambar ini, tuan." seraya menyerahkan cetakan foto-foto dari dalam kantung jasnya.
"Dalam gambar ini Anda dapat melihat tuan Benedict berbincang dengan seseorang yang Saya maksud. Ini adalah gambar yang Saya ambil kemarin pagi di depan kantor pajak. Tapi ini adalah kedua kalinya Saya melihat mereka bertemu. Yang pertama kali waktu itu, orang ini datang menemui tuan Benedict disini."
Setelah mengamati foto-foto itu, tuan Carlos mengembalikannya ke tangan Matias, "Aku belum pernah melihat orang ini sebelumnya."
"Dia seorang pekerja di kantor pajak, tuan. Maaf tuan, bolehkah jika Saya meminjam kertas tagihan pajak bulan lalu?"
"Apa yang akan kau lakukan dengan kertas itu?"
"Saya dan Rodrigues masih harus menyelidikinya, tuan. Saya belum bisa mengatakan kepada Anda, siapa saja yang terlibat dalam masalah itu."
"Hmm.. Baiklah! Kau bekerja keras untuk itu, Matias." seraya menepuk-nepuk sebelah bahu lelaki itu.
Tuan Carlos pun segera mengambilkan secarik kertas tagihan pajak bulan lalu yang didapatnya dari tangan tuan Benedict. Kemudian menyerahkannya ke tangan Matias. Setelah menyimpannya baik-baik, Matias pun melangkah keluar dari ruang kerja tuan Carlos.
Dan betapa terkejutnya dia, mendapati seseorang telah berdiri di dekat pintu dan menyapa dirinya dengan senyum indahnya.
"Hai tuan Matias!"
"Ah! Salam hormat, semoga keberkahan dan kebahagiaan mengalir untuk Anda, yang mulia tuan putri." seraya membungkuk dan tersenyum.
"Terima kasih tuan Matias! Apakah kedatanganku mengganggumu?"
"Tentu tidak, yang mulia. Bukankah Anda ingin menemui tuan Carlos di dalam sana?"
"Ah, tidak! Seseorang disana mengatakan kau ada di dalam. Maka itu, aku menunggumu disini."
"Baiklah yang mulia! Kalau begitu, apa yang dapat Saya lakukan untuk membantu Anda?"
Gadis itu menyunggingkan senyumnya, "Tolong temani aku mengobrol."
"Apa? Ah, Saya mengerti yang mulia. Kita dapat berbincang sambil berkeliling area perkebunan. Atau, apakah yang mulia ingin duduk?"
"Tidak! Tidak masalah dengan berkeliling. Kita berkeliling saja."
Matias mengangguk dan mulai mengarahkan langkah mereka ke arah tengah-tengah perkebunan. Angin yang berhembus ringan mulai terasa pada siang menjelang sore hari itu. Putri Nicole datang kesana hanya ditemani oleh Bella dan kusirnya. Dia tak ingin ada pengawal yang mengekori kereta kudanya dalam perjalanannya ke perkebunan anggur kali ini.
"Apakah sangat menyenangkan menjadi orang biasa?"
"Hmm.. Maksud Anda, yang mulia?"
"Ya! Orang biasa... bukan... anak dari seorang baginda raja sepertiku."
"Ah, menurut Saya menjadi orang biasa sangat menyenangkan, yang mulia."
"Benarkah? Aku juga ingin menjadi orang biasa kalau begitu." seraya tersenyum simpul dan menunduk. "Seperti apa menyenangkannya, tuan Matias?" lanjutnya.
"Hmm.. Misalnya saja, orang biasa rata-rata dapat melakukan semua hal yang diinginkannya tanpa harus takut dirinya akan menjadi perhatian banyak orang. Itu kebahagiaan yang sederhana, yang mulia."
"Ya! Kau benar. Mereka bahagia dengan kebebasan yang mereka punya. Sedangkan aku... Aku tidak memiliki kebebasan seperti orang biasa."
"Jangan berkecil hati, yang mulia. Setiap manusia yang terlahir di dunia, tidak dapat memilih dirinya ingin dilahirkan di keluarga mana. Saya rasa, yang mulia tuan putri juga beruntung telah terlahir sebagai putri baginda raja."
"Beruntung katamu?"
"Tentu, yang mulia! Banyak orang ingin terlahir sebagai anak dari seorang raja. Mereka memiliki angan-angan yang indah. Bisa menjalani hidup serba berkecukupan, dilayani, dihormati."
"Ah! Tapi, mereka tidak tahu bagaimana rasa yang sesungguhnya saat mereka menjadi seorang putri dari baginda raja. Aku sudah merasakannya. Ya! Dan aku dapat mengatakan bahwa angan-angan mereka tak seindah yang mereka bayangkan."
Putri Nicole tiba-tiba menghentikan langkahnya di bawah salah satu pohon anggur yang teduh.
"Apa yang mulia lelah?" tanya Matias yang ikut berhenti di sampingnya.
Gadis itu menggeleng. "Aku ingin mengatakan sesuatu."
"Ya, yang mulia! Apa itu?"
"Aku menyukaimu, tuan Matias!"
"Apa? Yang mulia? Saya.... saya....."
"Kau menyukai nona Nivea? Hmm?" dengan melemah, putri Nicole bertanya tentang hal yang sudah dia ketahui jawabannya.
Matias memilih tak menjawab. Lelaki itu hanya menunduk, menelan ludah.
"Tapi, nona Nivea akan menjadi pendamping hidup kakakku. Apa, kau belum tahu soal itu?"
"Saya tahu, yang mulia. Itu sudah diumumkan."
"Jadi, apakah kau masih juga menaruh sebuah harapan padanya?"
"Tidak, yang mulia. Mana mungkin Saya......"
"Kalau begitu, bisakah kau menyukaiku saja?"
"Yang mulia, Saya.. Saya benar-benar menyesal harus mengatakan bahwa Saya tidak bisa, yang mulia."
"Kenapa kau tidak bisa menerimaku, tuan Matias?"
"Yang mulia, Saya... Saya tidak dapat mengatakan alasannya. Tapi, Saya begitu berharap kelak yang mulia tuan putri... menemukan seseorang yang dapat mencintai dan menjaga yang mulia dengan tulus."
Dan kalimat itu, hanya dapat ditanggapi dengan wajah datar putri Nicole.
Meski lelaki yang disukainya tak dapat menerima perasaannya, tapi setidaknya putri Nicole telah mengutarakan maksud hatinya. Sang tuan putri pun kembali ke istana dengan membawa kekecewaan.
30. Seri Menjemput Matias
Dua hari kemudian.
Karena kesibukannya seharian di perkebunan anggur kemarin, maka baru sore hari ini Matias kembali menemui Rodrigues di rumahnya.
"Aku sudah mencetak gambarnya. Pangeran Edmund dan tuan Keith. Simpanlah Matias! Satukan saja dengan gambar yang sebelumnya." seraya memberikan hasil cetakan foto tersebut kepada Matias.
"Aku juga sudah meminjam kertas tagihan pajak bulan lalu kepada tuan Carlos."
"Jika buktinya sudah cukup meyakinkan, sebaiknya kita ungkapkan saja ke hadapan baginda raja. Kita tidak perlu ragu, Matias."
"Sejujurnya aku masih sedikit ragu, Rodrigues. Tapi kita... sudah terlanjur melangkah sampai sejauh ini. Aku rasa, kau harus mendekati tuan Keith. Sehingga, kita bisa menyeretnya ke istana dan membuatnya mengakui perbuatannya."
"Hmm.. Besok pagi aku akan benar-benar menemuinya. Setelah itu, aku akan menemuimu di perkebunan."
"Baiklah Rodrigues! Terima kasih."
Sementara di kediaman keluarga Del Castano, gadis yang mahir dalam pembuatan roti itu, melakukan hal yang sungguh tak terduga. Belum sampai satu minggu dirinya terpilih menjadi calon pendamping pangeran Edmund, dia mulai tidak tahan dengan sandiwaranya dan dia pun mulai berulah.
"Kau gila Nivea? Apa yang kau lakukan dengan rambutmu?"
"Kenapa Ayah? Kau mengatakan aku gila."
"Permaisuri akan marah jika tahu ada seorang rakyatnya, seorang gadis mencukur rambutnya sepertimu."
"Baik, kalau begitu aku tidak akan muncul di hadapannya."
"Bagaimana mungkin! Kau calon pendamping pangeran Edmund. Kau akan menikah dengan pangeran."
"Siapa yang bilang aku akan menikah dengannya, Ayah?"
"Nivea!"
"Dengar ayah, aku.. Aku mencintai Matias. Dan aku... hanya akan menikah dengannya."
Nivea membalikkan tubuhnya, beranjak meninggalkan ayahnya yang masih memasang ekspresi terkejut. Beliau tak percaya pada kalimat terakhir yang didengarnya, terlontar dari mulut Nivea.
Duchess Elvira yang sedari tadi hanya terdiam mengamati perdebatan antara suami dan anaknya itu, akhirnya buka suara.
"Aku rasa, lagi-lagi Nivea mengatakan hal yang jujur."
"Sejak kapan? Sejak kapan dia jatuh cinta pada putra count Antonio?"
"Aku tidak tahu."
"Aku pernah mendengar anak itu menunggui Nivea seharian di tokonya. Apa yang sudah dia lakukan pada anak gadisku?"
"Aku rasa tidak ada, hanya saja... sepertinya Matias telah membuat hidupnya menjadi lebih berwarna. Lagi pula yang aku tahu, Matias memang cukup sering berkunjung ke toko. Di sela kesibukannya, dia dapat menjadi teman bicara dan pendengar yang baik bagi Nivea."
"Apa maksudmu, Elvira?"
"Pemuda itu telah berhasil merebut hati anak gadisku, yang keras seperti batu. Entah bagaimana caranya... dia melakukan itu. Hingga Nivea sampai jatuh cinta padanya. Anakmu tidak bodoh, Eduardo. Dia tahu lelaki seperti apa yang pantas mendapatkan hatinya."
"Lantas apa yang harus ku katakan pada yang mulia baginda raja, Elvira? Anak itu... Nivea mencoreng wajahku untuk ke sekian kalinya."
Satu hari itu Nivea tidak datang ke toko rotinya. Dia hanya berdiam diri di dalam kamarnya dan pagi tadi dia meminta bantuan Seri untuk mengurus operasional toko rotinya. Nivea sedang tidak enak hati. Rasanya, dia malas untuk melangkah keluar dari kamar. Apalagi keluar rumah.
Dan saat itulah, entah kenapa dia ingin memotong rambutnya sendiri. Mungkin sekedar meluapkan emosinya yang tertahan. Dia benar-benar tidak ingin menikah dengan pangeran Edmund. Hati kecilnya telah menyadari, bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada sosok Matias Vander Lawrence.
Di hadapan cermin yang berada dalam kamar mandinya, dia nekat menggunting rambut panjangnya sampai di bawah telinga. Padahal, pada masa ini mencukur rambut hingga sependek itu adalah sesuatu yang tabu, bagi seorang gadis dan wanita dewasa.
Mereka akan kesulitan menggelung rambutnya, ketika harus mengikuti kegiatan tertentu seperti acara atau festival yang kerap dilaksanakan di negeri itu. Sehingga permaisuri mengharapkan semua gadis dan wanita di negerinya itu selalu memiliki rambut panjang.
Tentu saja duke Eduardo bukan main terkejutnya saat melihat penampilan baru anak gadisnya itu.
Nivea kembali ke kamarnya setelah berdebat dengan sang ayah. Dia pun menunggu kepulangan Seri dari tokonya, karena dia akan meminta bantuan sekali lagi pada gadis itu. Sekian menit menunggu, akhirnya gadis itu muncul di hadapannya.
"Nona! Astaga! Ada apa dengan rambut anda, nona?"
"Apa aku terlihat sangat buruk, Seri?"
"Tidak... bukan begitu nona. Hanya saja, Anda membuat Saya terkejut."
"Kau lelah Seri?"
"Hmm.. Sedikit nona. Ada Clara dan David yang membantu disana."
"Bolehkah jika aku... meminta sedikit bantuanmu lagi?"
Seri membulatkan matanya, dia penasaran pada tugas barunya. "Tentu nona! Anda bisa mengatakannya sekarang."
"Kalau begitu, tolong temui Matias di rumahnya."
"Apa? Kapan nona?"
"Sekarang Seri! Pergilah dengan tuan Willy ke rumahnya. Tolong katakan padanya, aku menunggunya di taman Edelweis."
"Apa? Anda bercanda nona?"
"Cepat Seri, kita harus pergi sekarang." seraya bergerak turun dari ranjangnya.
"Kita? Anda bilang, Saya yang pergi dengan tuan Willy.."
"Antarkan aku dulu sampai di taman itu!" seraya mengenakan mantelnya. Nivea dan Seri melangkah cepat keluar dari kamar menuju pintu utama kediaman itu.
"Jika Ibu bertanya, katakan aku pergi mencari angin dengan Seri." ucap Nivea pada salah seorang penjaga pintu kediamannya.
Lelaki bertubuh tegap itupun sedikit membungkuk padanya, "Baik nona!"
Beberapa menit berselang.
Tuan Willy telah mengantar Nivea sampai di taman Edelweis. Setelah sang nona turun dari kereta kudanya, tuan Willy melanjutkan perjalanannya mengantar Seri ke kediaman keluarga Lawrence.
Semerbak harum khas bunga edelweis menyeruak di segala penjuru taman. Nivea tak perlu merasa takut menunggu sendirian di taman itu. Pada beberapa sisi taman tampak orang-orang yang sedang duduk-duduk di kursi taman, menikmati sejuknya udara malam di kota itu. Cahaya putih dari lampu pijar kerap menerangi di tiap sudut taman.
Matias tampak terkejut dengan kehadiran Seri malam itu. Hal yang tak pernah diduga bahkan dibayangkan sebelumnya. Entah apa yang membawa gadis itu hingga akhirnya menemui dirinya. Mungkinkah Nivea yang mengirimnya?
"Selamat malam tuan Matias."
"Ada apa Seri?"
"Saya harap, kehadiran Saya tidak mengganggu Anda."
"Bicaralah Seri! Ada apa?"
"Nona... nona Nivea sedang menunggu Anda di taman Edelweis."
"Apa? Kau bercanda, Seri?"
"Mana mungkin Saya bercanda, tuan. Ikutlah dengan Saya sekarang jika Anda bersedia menemuinya."
"Baiklah! Kita pergi sekarang!"
Seri kembali melangkah menuju kereta kudanya yang berhenti di dekat gerbang kediaman keluarga Lawrence. Matias pun mengekor di balik tubuhnya.
Dalam perjalanan yang tak memakan waktu lama itu, keduanya hanya saling terdiam. Matias cukup dibuat penasaran dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi pada Nivea. Percuma saja bertanya pada Seri, pikirnya. Gadis itu pasti mengatakan tidak tahu. Atau hanya berpura-pura tidak tahu.
Matias menahan saja pertanyaan itu, hingga dirinya bertemu dengan Nivea nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H