HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
STUDI KRITIS PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DARI FIKIH, UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 SAMPAI KOMPILASI HUKUM ISLAM
Prof. Dr. H. Amiur Nuruddin, M.A.
Dr. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag.Â
Novia Muyasaroh
222121124 (4D)
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, IndonesiaÂ
Abstract:Â
 Dalam sejarahnya di Indonesia, sampainya keadilan kepada yang berhak dalam sistem hukum Islam telah menjadi simbol supremasi hukum di berbagai kerajaani Nusantara selama berabad-abad lamanya. Lebih dari itu, begitu signifi- kannya pengaruh hukum tersebut dalam masyarakat Muslim Indonesia, ia sering kali menjadi rujukan atas berbagai kasus perdata antar-individu. Sehingga, tak heran jika di kemudian hari melalui kompilasi hukum Islam dan peradilan agama, pemerintah berusaha mengakomodasi dan menjadikannya sebagai hukum positif yang memiliki kekuatan hukum mengikat.
Memfokuskan kajiannya kepada perkembangan dan pergeseran konseptual hukum Islam, buku ini menyajikan sebuah studi serius tentang tema inti hukum perdata, yaitu: perkawinan, perceraian, pengasuhan anak, pembatalan perkawinan, hingga hak dan kewajiban suami. Dikemas dalam analisis kritis dan komparatif terhadap fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hingga Kompilasi Hukum Islam Indonesia, buku ini merupakan salah satu rujukan penting bagi mereka yang ingin mendalami atau untuk mengkritisi dan menyempurnakan hukum perdata Islam di Indonesia atau yang juga dikenal sebagai hukum munakahat.
Keywords: hukum;islam; perkawinan.
Intriduction
 Buku ini merupakan sebuah kajian yang mendalam tentang Hukum Perdata Islam di Indonesia, dengan fokus pada latar belakang sejarah dan perkembangannya. Buku ini menguraikan secara komprehensif prinsip-prinsip perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Mulai dari rukun dan syarat perkawinan, pembahasan meluas pada proses pendahuluan perkawinan seperti peminangan, syarat, dan akibat hukumnya.
Selain itu, buku ini juga membahas secara detail mengenai pencegahan dan pembatalan perkawinan, serta pentingnya pencatatan perkawinan melalui akta nikah dan perjanjian perkawinan. Larangan-larangan perkawinan, termasuk poligami, hak dan kewajiban istri, serta proses perceraian juga menjadi fokus utama dari buku ini.
Result and Discussion
BAGIAN 1
PRINSIP PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG NO.1 THN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAMÂ
- perspektif FikihÂ
 perkawinan dalam bahasa arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi' dan al-dammu wa al-tadakhul.Â
menurut Hanafiah, "nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mt'ah secara sengaja" artinya kehalalan seorang lelaki untuk ber-istimta' dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar'i.Â
- Perspektif UU No.1 tahun 1974
 di dalam UU ini, seperti termuat dalam pasal 1 ayat 2perkawinan didefinisikan sebagai:
"ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa."
pencantuman ketuhanan yang maha esa adalah karena negara indonesia berdasarkan sila pertama. sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan agama, kerohanian, sehingga perkawinan bukan unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin dan rohani.Â
- Perspektif Kompilasi Hukum Islam
terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum islam yaitu:
"pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mittsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah"
Kata miitsaqan ghalidhan ditarik dari firman Allah yang terdapat pada QS. An-Nisa' ayat 21:
 "bagaimana kamu akan mengambil mahar yang kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang lain sebagai suami istri. dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (miitsaqan ghalidhan )."
BAGIAN 2
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
- Perspektif FikihÂ
 Menurut jumhur ulama, rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu memeiliki syarat tertentu.Â
a. calon suami, dan syarat-syaratnya
beragama islamÂ
laki-laki
jelas orangnya
dapat memberikan persetujuanÂ
tidak terdapat halangan perkawinan.
b. calon istri, dan syaratnya:
beragama, meskipun yahudi atau nasrani
perempuanÂ
jelas orangnyaÂ
dapat dimintai persetujuanÂ
tidak terdapat halangan perkawinanÂ
c. Wali nikah
laki-lakiÂ
dewasa
mempunyai hak perwalianÂ
tidak tedapat halangan perwalian.
d. saksi nikah
minimal dua orang laki-lakiÂ
hadir dalam ijab qabul
dapat mengerti maksud akadÂ
islam
dewasa
e. ijab qabul
adanya pernyataan mengawinkan dari waliÂ
adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelaiÂ
memakai kata-kata nikah
antara ijab dan qabul bersambunganÂ
antara ijab dan qabul jelas maksudnya
tidak sedang haji dan umrohÂ
majelis harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya wali dan dua orang saksi
BAGIAN 3
PENDAHULUAN PERKAWINAN: PEMINANGAN, SYARAT, DAN AKIBAT HUKUMNYA
- Khitbah
 Diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsugkan pernikahan. ulama fikih mendefinisikan dengan menyatakan keinginan pihak lelaki kepada pihak wanita untuk wengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita peminangan.
Dalam kitab fikih khitbah pernyataan keinginan untuk menikah terhadap seorang wanita yang telah jelas atau memberitahukan keinginan untuk menikah kepada walinya. keinginan bisa disampaikan dengan bahasa yang jelas dan tegas juga dapat dilakukan dengan sindiran.Â
- Syarat
 fikih islam telah mengatur syarat-syarat peminangan dan halangannya. dari hadis rasul yang artinya:
"janganlah kamu meminang wanita yang dipinang saudaranya, hingga peminang sebelmnya meninggalkannya atau telah mengizinkannya(muttafaq 'alaih)
fikih islam telah menetapkan bahwa wanita yang akan dipinang :
wanita yang pinang tidak istri orangÂ
tidak dalam pinangan lelaki lainÂ
tidak dalam masa iddah raj'IÂ
wanita yang dalam masa iddah wafat hanya dapat dipinang dengan sindiran
wanita yang dalam masa iddah ba'in sughra dapat dipinang oleh bekas suaminya
dalam masa issah kubra boleh dipinang oleh bekas suami setelah kawin dengan lelaki lain, didukhul dan telah bercerai.
BAGIAN 4
PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
- Pencegah PerkawinanÂ
 Pencegah Perkawinan diatur dalam UU No.1 Thn 1974 pasal 13 yang bunyinya
"Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan."
tTidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud didalam ayat tersebut mengacu kepada dua hal: syarat administratif dan syarat materil. Syarat adminiftratif berhubungan dengan administrasi perkawinan sebagaimana yang telah dijelaskan paa bagian yang membahas tata cara perkawinan. dan adapun syarat materil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan yang akan dibahas bagian lain.
- Pembatalan PerkawinanÂ
 Pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsi pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu teranjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap UU Perkawinan atau hukum munakahat. Jika terjadi maka pengadilan agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami dan istri dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut.Â
Adapun perkawinan yang dapat dibatalkan adalah seperti yang terdapat didalam UU Perkawinan:
Pasal 22 : "perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak dapat memenuhi syarat untuk melangsungkan prkawinan."
- Akibat Pembatalan Perkawinan
 didalam UU No.1 Thn 1974 Pasal 28 ayat (2):
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
suami atau istri yang bertindak dengan beriktikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a dan b sepanjang mereka memperboleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAGIAN 5
PENCATATAN PERKAWINAN
- pencatatan perkawinan
 ketentuan UU Perkawinan yang sebagaimana terlihat, tidak menempatakan perkawinan sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.Â
Dalam UU No. 1 Thun 1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa:
"tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Â
-Perjanjian PerkawinanÂ
 dalam UU perkawinan diatur dalam bab 5 dan hanya terdiri dari satu pasal, yaitu pasal29:
"pada waktu sebelum perkawinan berlangsung, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihaak ketiga tersangkut."
Dari bunyi pasal ini, sebenarnya tidak begitu jelas maksud dari perjanjian perkawinan tersebut. Dikatakan lebih sempit karena perkawinan dalam undang-undang ini tidak termasuk di dalamnya ta'lik talak sebagaimana yang termuat dalam surah nikah.
BAGIAN 6
LARANGAN PERKAWINAN
- larangan Perkawinan
 dalam hal laraangan perkawinan dala al-Qur'an memberikan aturan yang tegas dan terperinci. dalam QS. an-Nisa' ayat 22-23 Allah swt. dengan tegas menyatakan:
"dan janganlah kamu kawini wanita wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. sesunguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah swt. dan seburuk-buruknya jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, saudara bapakmu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusukan mu, saudara perempuan yang sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampuri dan kamu ceraikan, maka tidak berdosa kamu mengawininya. Dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandangmu (menantu) dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha Penyayang."Â
Berpijak dari ayat ini, maka para ulama membuat rumusan-rumusan yang lebih sistematis :
karena pertalia nasab (hubungan darah)
karena hubungan semenda
karena talian persusuanÂ
Â
BAGIAN 7
ALASAN DA PROSEDUR POLIGAMI
-Poligami
 UU Perkawinan menganut asas monogami seperti yang terdapat di dalam pasal 3 yang menyatakan "seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami", namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan.Â
dalam pasal 4 UU Perkawinan dinyatakan, seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:Â
istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkanÂ
istri tidak dapat melahirkan keturunan.
didalam pasal 5 ayat 1 UU Perkawinan, Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami, yaitu:
Adanya persetujuan dari istri
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak mereka
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak mereka.
BAGIAN 8
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
 kewajiban suami terhadap istri menurut kitab yang telah disebut dimuka adalah berlaku adil mengatur waktu untuk para istri, memberi nafkah dan lemah lembur dalam berbicara dengan mereka.Â
Muhammad Baqir al-Habsyi memberi ulasan yang sistematis tentang hak dan kewajiban suami istri.Â
kewajiban bersama suami dan istriÂ
kewajiban suami terhadap istri
kewajiban istri terhadap suami
Â
BAGIAN 9
PUTUSNYA PERKAWINAN DAN TATA CARA PERCERAIANÂ
- PerceraianÂ
 Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.Â
ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tatacara telah diatur baik dalam fikih maupun undang-undang perkawinan. Kendatipun perkawinan tersebut sebuah ikatan suci namun tidak boleh dipandang mutlak atau tidak boleh dianggap tidak dapat diputuskan.Â
Ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian, yaitu :
Terjadinya nusyuz dari pihak istriÂ
nusyuz suami terhadap istriÂ
terjadinya syiqaq
salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah)
pada pasal 38 UU Perkawinan dinyatakan :
"Perkawinan dapat putus karena: a.) kematian, b.) perceraian, c.)atas keputusan Pengadilan."Â
- Permohonan cerai talak berdasarkan alasanÂ
Permohonan cerai talak karena istri melalaikan kewajiban
permohonan cerai talak dengan alasan istri berbuat zina atau pemadat
permohonan cerai talak dengan alasan istri meninggalkan suami selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah
permohonan cerai talak dengan alasan istri mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih
permohonan cerau talak dengan alasan suami/istri melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain
permohonan cerai talak dengan alasan istri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
permohonan cerai talak dengan alasan terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaranÂ
permohonan cerai talak dengan alsan istri murtadÂ
permohonan cerai talak dengan alasan syiqaq
permohonan cerai talak dengan alasan li'anÂ
BAGIAN 10
IDDAH DAN MASALAHNYA
- iddah
 para ulama mendefinisikan iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.Â
mengenai idah putusnya perkawinan dengan sebab kematian terdapat pada ayat berikut:
"orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggal istri-istri menangguhkan dirinya(beridah) empat bulan sepuluh hari."
menurut kalangan fuqaha, idah itu teerbagi menjadi dua kategori: yang pertama, idah yang terjadi karena wanita tersebut ditinggal mati oleh suaminya. kedua, idah yang terjadi bukan karena ditinggal mati suami.
- Biaya peghidupan setelah perceraianÂ
 Apabila terjadi perceraian, suami kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas istri, yaitu:
memeberikan mut'ah yang layak kepada bekas istri, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla dukhul
memberi nafkah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in atau nusyuz dan dalam keadaan hmilÂ
melunasi mahar yang masih terutang dan apabila perkawinan itu qobla al-dukhul mahar dibayar stengahnyaÂ
meberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 thun.
BAGIAN 11
RUJUK DAN PERMASALAHNNYA
- RujukÂ
 yang secara bahasa berarti kembali atau pulang, dalam konteks hukum islam merupakan tindakan meneruskan hubungan perkawinan antara suami dan istri yang sebelumnya dikhawatirkan terputus karena talak raj'i yang diberikan oleh suami.
UU No.1 thun 1974 tidak secara eksplisit mengatur masalah rujuk, tetapi kompilasi hukum islam telah mengatur prosedur rujuk dengan detail, termasuk persyaratan administratif dan tata cara pelaksanaannya, terdapat perlindungan bagi istri agar memeiliki hak untuk menolak rujuk, yang mencerminkan semangat kesetaraan dalam hukum perkawinan.
BAGIAN 12
ASAL-USUL ANAK
- anak sah adalah yang lahir dari perkawinan yang sah, sementara anak luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Fikih islam tidak memberikan definisi yang tegas tentang anak sah, tetapi secara implisit menegaskan bahwa anak zina atau anak luar perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.
 Masalah anak sah diatur didalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 pada pasal 43:
(1). anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dn keluarga ibunya.
(2). Kedudukan anak tersbut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah.
BAGIAN 13
HADANAH: PEMELIHARAAN ANAK DAN TANGGUNG JAWAB ORANGTUA TERHADAP ANAK BILA TERJADI PERCERIANÂ
- HadanahÂ
 yang dimaksud dalam diskursus ini adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. pemeliharaan telah mencakup masalah ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok sianak.
- Pencabutan kekuasaan waliÂ
 kekuasaan seorang wali dapat dicabut bila melalaikan kewajibannya atau ia berkelakuan buruk, selain itu seorang wali wajib mengganti kerugian terhadap harta benda anak yng berada dibawah perwaliannya bila ternyata akibat kelalaiannya atau karena perbuatannya menyebabkan timbulnya kerugian terhadap harta dan benda. Seorang wali hruslah seorang yang jujur, adil, dan berlakuan baik yang mempunyai kewajiban untuk memelihara si anak dan harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya.
- Kewajiban finansial orang tua
 undang-undang biasanya mngatur kewajiban finansial orang tua terhadap anak-anak mereka setelah perceraian. ini mungkin termasuk pembayaran nafkah anak untuk menutupi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, perawatan medis, dan pendidikan. kewajban ini sering kali diatur berdasarkan prinsip keadilan, dengan mempertimbangkan kemampuan finansial masing-masing orang tua dan kebutuhan anak.Â
Referensi
prof. Dr. H. Amiur Nuruddin, M.A. Dr. Azhari Akm
al Tarigan, M, Ag. Hukum Perdata Islam di Indonesia study kritis perkembangan hukum islam dari fikih, Undang-undang No.1 tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Prensdemedia Group, 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H