Mentari duduk di kursi lalu meletakkan kepalanya di meja sambil menutupinya dengan punggung tangan. Tangis Mentari masih terdengar tersedu meski dia berusaha menutupinya.
Sementara siswi -- siswi yang lain sedang heboh di belakang, Jovian masuk masih dengan buku yang dibacanya. Suara siswi -- siswi, tak terdengar lagi, suara tangis Mentari yang kini sampai di telinga. Jovian berjalan menghampiri Mentari yang kebetulan duduk di kursi sebelahnya. Dia menutup buku dan mulai duduk.
Jovian        : Ehm... Mentari, apa kau tidak apa -- apa? (Memegang bahu Mentari)
Mentari      : (Bangun dan mengusap air mata)Iya, ehm... Aku tidak apa -- apa.
Jovian        : Kau yakin? (Merogoh saku kemeja)
Mentari      : Ya, aku tidak apa -- apa, sungguh.
Jovian memberikan sebuah sapu tangan, Mentari menerimanya.
Mentari      : Terima kasih, Jovial. (Mengusap air matanya dengan sapu tangan)
Jovial        : Maafkan soal yang kemarin, ayahku terlalu ambisius dan dibutakan oleh harta.
Mentari      : Ah tidak, bukan ayahmu yang salah kemarin, ayahku yang sudah bersalah terhadap keluargamu. (Menunduk dan tersenyum) Maafkan kami. (Menengok ke arah Jovian)
Jovian        : Aku tidak ingin kamu berpikir begitu Mentari, bagaimanapun kami juga bersalah atas ketidakadilan di sidang waktu itu,