Prolog
Cahaya hangat mentari menyelinap melewati celah - celah jendela sebuah rumah kecil nan berdebu. Perabot - perabot tua dan arsitekturnya menunjukkan umur bangunan ini yang sudah tak muda lagi. Seorang wanita duduk di sebuah kursi kayu berukiran bunga pada sebuah ruang tengah nan terlihat klasik. Tangannya membuka halaman demi halaman sebuah album tua berwarna jingga yang sebagian halamannya sudah kotor termakan usia. Suara musik klasik jawa mengalun lirih ke penjuru ruangan. Lalu, sejenak hening. Wanita itu tersenyum kecil. Memulai monolog.
Wanita        : (Menengok ke samping, seolah - olah sedang menatap jendela) Mentari. (Menghela napas lalu sejenak berhenti) Tiap kali sang surya muncul dari timur sisi jendelaku, (mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah jendela) anganku teringat pada sebuah kisah lama. (Menengok ke arah penonton) Kisah yang memicu prihatin, kisah yang tak habisnya buat rasa bersalah, dan buat kian banyak sesalan. Suatu kisah yang aku sendiri tidak mengerti mengapa Tuhan sampai menghadirkannya di dunia nyata.
(Wanita itu menutup album jingganya kemudian berdiri dari kursi)Aku? Aku tidaklah lebih dari sebuah ujung kuku pada bagian kisah itu, aku hanyalah debu kecil yang terbang pada setiap alurnya tanpa berani melakukan apapun. Bodoh. Ya, aku memang bodoh. (Berhenti sejenak)Biar aku ceritakan kepadamu. Kesalahan yang kubuat bertahun - tahun yang lalu, kesalahan besar dimana aku tidak peduli pada sosok Mentari.
Suasana hening, lampunya meredup. Suara musik jawa kembali mengalun. Narator mematung. Tirai tidak tertutup, adegan berlanjut ke babak 1.
Babak 1
Panggung diatur layaknyaruang kelas pada bagian sebelah kiri, 4 kursi dan 4 meja disusun miring dan agak menyerong untuk menghindari pemblokingan. Terlihat 4 siswa perempuan sedang bergerombol di deretan kedua, dua diantaranya duduk di kursi. Satu siswa laki - laki lainnya duduk di salah satu kursi di deretan terdepan membaca sebuah buku. Lampu tidak menyorot area kelas.
Suara wanita bersenandung terdengar dari arah panggung sebelah kanan, seorang gadis dengan seragam putih abu - abu lengkap dengan tas ransel berwarna merah muda berjalan dengan senyum dan semangat yang tulus melewati narator yang telah mematung berdiri di tempatnya. Tangannya memegang sebuah kotak makan dan tempat minum yang warnanya senada dengan ransel. Tiba - tiba suara lantang dari luar panggung memanggil.
Reyhan     : Mentari!
Gadis itu lantas menengok, Mentari menghentikan langkahnya. Seorang laki - laki datang menghampiri mentari dengan terengah - engah. Lampu fokus menyorot kepada keduanya.
Mentari     : Ayo, Rey!