Tak sepatah kata pun mampu keluar dari mulut mereka, lidah rasanya kelu, bahkan sekadar mengabari Ibu mereka saja rasanya tak mampu, selain karena perasaan yang campur aduk, sambungan kabel telepon rumah pun di telah gunting oleh orang-orang tadi. Maka yang hanya bisa mereka lakukan adalah menangis sembari menunggu Yayuk di halaman rumah bagian depan ketika orang-orang tersebut telah pergi meninggalkan kediaman mereka. Sebelum Yayuk datang, beberapa Ajudan sempat datang lebih dulu untuk memeriksa dan mungkin berniat untuk menenangkan, bilang bahwa yang dibawa tadi bukan lah Ayah mereka. Namun nasi sudah menjadi bubur, mau sebagai mana mencoba untuk dibuat tenang. Jelas-jelas yang mereka lihat dengan mata kepala sendiri tadi itu merupakan Ayah mereka, Jendral Ahmad Yani. Bukan orang lain.
Sekitar pukul setengah enam lebih, Yayuk pulang, lalu dikagetkan dengan anak-anak yang sedang menangis di halaman rumah. Kini mereka bahkan berteriak, matanya menatap heran dan kebingungan. Mengapa sepagi ini anak-anaknya sudah berdiam dihalaman belakang rumah?
“Bapak, Bu!! Bapakkk!!!” Teriak mereka sambal menangis.
Yayuk yang kebingungan ikut merasa cemas, “Kenapa Bapak? Ada apa?!”
“Bapak diculik! Bapak ditembak!”