BAB I
Asal Muasal Jiwa Kepemimpinan yang Kuat
Kaki kecil itu berlari dengan tergesa, menyusuri lorong di kediamannya hingga akhirnya tiba pada hamparan luas halaman depan rumah. Matanya awas mengintai seperti mata elang, dengan lidi di tangan, dilihat anak-anak seusianya kini telah berbaris rapih membentuk barisan. Ia edarkan pandangannya sekali lagi, melihat kesekeliling, takut-takut ada barisan yang tidak mendapatkan perhatian berujung tak rapih. Merasa kurang yakin, kedua kaki kecil itu kembali melangkah menyusuri sela-sela barisan. Lalu pada akhirnya mengangguk puas seraya tersenyum bangga. Layaknya seorang pemimpin, ia pimpin pasukan berbentuk barisan tersebut. Berlagak seperti Jendral dengan kedua tangan yang saling bertautan di belakang punggungnya.
Mungkin banyak yang bertanya, siapa gerangan anak kecil dengan jiwa seperti pemimpin itu?
Namanya Ahmad Yani, anak sulung dari sepasang Suami Istri, Sarjo dan Istrinya, Martini yang lahir pada 9 Juni 1922 di Powerejo, Jawa Tengah. Sejak kecil, anak dari sepasang Suami Istri itu sudah mempunyai jiwa kepemimpinan yang sangat besar. Terbukti dengan lakon yang ia gawaikan Ketika bermain dengan teman-temannya di halaman depan rumah. Lidi yang biasanya ia gunakan sebagai alat, merupakan senjata khas yang selalu di bawa kemana-mana. Sangat cerdik serta disiplin. Ahmad kecil selalu menjadi pemimpin bagi teman-temannya.
Suatu ketika di sore hari, Ahmad kecil duduk di kursi kosong yang berada tepat di sebelah Ayahnya. Sadar ada yang ingin anaknya sampaikan, Sarjo membuka suara, lantas bertanya pada anak sulungnya itu,
“ada apa?” Tanya sang Ayah pada Ahmad kecil.
Mendengar pertanyaan sang Ayah, tanpa basa-basi ia menjawab bahwa dirinya menginginkan mainan baru. Sarjo tersenyum sebagai jawaban, Pria itu mengangguk mengerti. Maka akan ia berikan nanti, mainan baru untuk Ahmad kecil. Tak ada permintaan lain harus begini atau begitu perihal mainan apa yang ia inginkan. Ayahnya pasti sudah tau mainan seperti apa yang diinginkan oleh anaknya, begitu pikir Ahamad, dan memang betul adanya, Sarjo tau. Esoknya, ia berikan sebuah ketapel buatan tangannya sendiri untuk Ahmad yang dengan perasaan senang langsung menerimanya. Senjata baru untuk bermain perang-perangan bersama anak kampung, sorak Ahmad kala itu.
Ahmad, dirinya tak pernah menuntut hal-hal yang membuat kedua orang tuanya susah, asal ada untuk dipakai untuk bergawai, maka itu sudah lebih dari cukup. Selain jiwa kepemimpinan yang melekat, kesederhanaan serta kepatuhan yang besar pada orang tua juga ia miliki.
Singkat cerita, tepat pada tahun 1927, Ahmad ikut bersama dengan kedua orang tuanya untuk pindah ke Batavia, kini dirinya tak lagi menetap di rumah yang ia tempati sejak lahir, tepanya di Desa Rendeng RT 01/ RW 02, Kecamatan Gebang, Purworejo. Ahmad memilih ikut merantau dengan kedua orangtuanya yang kesana kemari karena suatu urusan, salah satunya adalah dengan ikut pindah ke Batavia. Di Batavia sendiri pula sang Ayah, Sarjo, mulai bekerja untuk General Belanda. Sesekali Ahmad selalu ikut dengan Ayahnya yang kala itu mwmiliki profesi sebagai supir.
Tanpa disadari, seseorang tertarik, ia memperhatikan Ahmad. Pergerakan Ahmad membuat Pria itu merasa tertarik.
Hulstyn namanya, dia adalah seorang Belanda yang juga merangkap sebagai majikan dari Ayah Ahmad. Pria Belanda itu melihat dan merasakan sesuatu pada diri Ahmad, si kecil yang selalu ia perhatikan sedang mengintili Ayahnya ketika sang Ayah bekerja.
Dirinya merasa tertarik untuk mengasuh Ahmad.
“Jiwa-jiwa kepemimpinannya sangat terlihat dan mengagumkan,” monolog Huslstyn kala itu.
Sebetulnya, selain permainan yang selalu digawaikan oleh Ahmad, ada satu hal lagi yang tanpa sadar memabantu anak itu dalam membentuk karakter serta jiwa kepemimpinan dalam dirinya menjadi semakin kuat, dan hal tersebut ialah cerita tentang Pangeran Diponegoro.
Kisah Pangeran Diponegoro ini cukup populer dan banyak beredar dikalangan masyarakat. Kisah ini juga sangat dipercayai warga setempat. Konon katanya di daerah dataran rendah Bagelen wilayah Kedu, ada suatu hal tentang kepahlawanan yang diturunkan dari sosok Pangeran Diponegoro, mengingat daerah tersebut merupakan daerah yang ditempati cukup lama oleh Pangeran dan para pasukannaya. Kehebatan Pangeran Dipenogero benar-benar diagungkan oleh masyarkat setempat, salah satunya Ahmad, bahkan berapa kalipun Ibu bercerita perihal sosok Pangeran Diponegoro, tidak ada kata bosan bagi Ahmad dalam mendengarnnya.
Seperti saat ini, di malam hari, ia kembali mendengarkan sang Ibu bercerita tentang Pangeran Diponegoro, dan lagi-lagi dirinya merasa kagum. Ketika mendengarkan cerita tersebut, Ahmad betul-betul terkesima untuk kesikian kali atas segala usaha yang telah Pangeran Diponegoro lakukan di masa lalu.
Karena kisah tersebut juga bagian dalam dada Ahmad bergemuruh. Sambil menatap Ibu, dirinya membuka suara.
“Hebat ya, Buk!” Seru Ahmad, “Sudah besar nanti, aku ingin seperti beliau.” Sambungnya.
Mendengar seruan sang anak, Martini tersenyum seraya bergurau.
“Betul mau seperti beliau?” Tanyanya dengan nada menggoda, membuat Ahmad mengangguk cepat
“Iya!” Timpal Ahmad.
“Memang tau seperti apa caranya?”
“Tau! Caranya, dengan membela negara!” Jawab Ahmad dengan semangat.
Mendengar jawaban Ahmad yang penuh dengan semangat, Martini hanya mampu tersenyum seraya mengaminkan ucapan yang keluar dari mulut sang anak.
Cerita-cerita kepahlawanan tersebut memang kerap kali banyak memotivasinya sehingga mempengaruhi karakter serta wataknya pula. Singkat cerita, konon katanya kala itu, Pangeran Diponegoro berhasil mengalahkan Bangsa Belanda pada masa perang Gerilya.
Seperti itulah cerita ini dapat membuat karakter kuat serta sikap kepemimpinan Ahmad semakin terbentuk, dimana hal itu yang juga membuat Hulstyn sang Pria Belanda, merasa tertarik untuk mengasuh Ahmad. Hulstyn juga menambahkan nama Yani dibelakang nama Ahmad, sehingga Ahmad akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Ahmad Yani. Pun walaupu begitu, kedua orang tua Ahmad Yani, Sarjo dan Martini. Mereka berdua tetap konsisten memanggilnya dengan sebutan Ahmad.
Disamping itu, Hulstyn juga berusaha untuk menyekolahkan Yani. Pria Belanda tersebut membantu Yani dan berusaha agar anak itu dapat mengikuti Pendidikan di HIS (Hollands Inlandse School) atau biasa yang kita sebut kini sebagai Sekolah Dasar pada tahun 1928.
Pada masa sekolah dasarnya, Yani tentu tumbuh seperti anak-anak pada umumnya. Ia bermain, dan belajar dengan tekun. Tumbuh menjadi sosok yang pintar, sopan dan dermawan. Jiwa kepemimpinannya masih melekat, bahkan para teman Yani menyegani sosoknya. Ia disegani bukan hanya karena sifatnya, tapi juga karena kepintaran dan kecerdasan yang ia miliki. Hal ini bahkan diakui oleh teman-teman Yani yang lain.
“Yani memang anak yang pintar,” begitu komentar mereka.
Perlu diakui bahwa Yani memang sosok yang sangat mengagumkan bagi semua orang.
Mula-mula, Yani memang mengenyam Pendidikan HIS-nya di Purworejo, namun kemudia ia pindah ke Magelang dan berujung menamatkan sekolahnya di Bogor yang akhirnya selesai pada tahun 1935. Lalu dirinya melanjutkan sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) bagian B, yang tak lain dan tak bukan merupakan sekolah lanjutan setara dengan SMP. Kepintarannya yang mampu membuat Yani akhirnya bisa untuk melanjutkan sekolahnya.
Mengagumkan, dimasa sekolah menengahnya Yani benar-benar menjadi kebanggaan. Dirinya sangat pintar, otaknya cerdas dan menjadi murid degan nilai kelulusan terbaik. Yani menyelesaikan pendidikannya di MULO pada tahun 1938. Tak sampai disitu saja, anak yang kini mulai beranjak dewasa itu memutuskan kembali untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu di AMS (Algemeene Middelbare Scchool) bagian B yang letaknya di Jakarta. AMS sendiri merupakan tingkatan yang setara dengan Sekolah Menengah Atas.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dimana Yani melanjutkan pendidikan hingga tamat, kali ini hanya dua tahun Yani bersekolah di AMS lantaran adanya kasus serius menyebabkan pendidikannya terganggu. Perang Dunia II pada 1939 adalah jawabannya. Selain kekacauan tersebut, pada tahun 1940 di bulan Mei, negeri Belanda berhasil di duduki oleh Jerman. Lantas setelah itu, di Indonesia pemerintah Hindia Belanda mengumumkan berlakunya misi untuk rnenghadapi kemungkinan terseretnya wilayah ini kedalam perang. Maka tepat pada tahun tersebut pula lah Yani memutuskan untuk meninggalkan AMS dan lanjut mendaftarkan diri sebagai aspiran pada Dinas Topografi Militer Belanda. Itu semua ia jalani selama enam bulan di Malang.
Setelah selesai, dengan pangkat Sersan Cadangan Bagian Topografi, lelaki itu akhirnya di tempatkan di Bandung. Yani menjalankan tugasnya dengan baik dan atasannya menilai bahwa dalam diri bintara ini terdapat bakat militer yang cukup besar. Karena itulah pada akhir tahun 1941 ia dikirim ke Bogor untuk mengikuti latihan militer yang lebih Intensif. Lalu setela semua itu selesai, barulah Yani kembali dipindahkan ke Bandung.
Sementara itu perang sudah melanda wilayah Indonesia. Beberapa kota di luar Jawa sudah jatuh ke tangan Jepang. Awal Maret 1942 pasukan Jepang mendarat di beberapa tempat di pulau Jawa. Sangat disayangkan, pasukan Belanda ternyata tidak mampu menahan serangan Jepang. Pernah suatu ketika di sekitar Kota Bandung terjadi pertempuran, diantaranya di wilayah Ciater dan Lembang. Ahmad Yani ikut dalam pertempuran ditempat ini. Namun lagi-lagi, Jepanglah yang menjadi pemenangnya sehingga akhirnya kota Bandung jatuh ketangan Jepang. Sedangkan Ahmad Yani bersama pasukan Belanda lainnya ditawan. Beberapa bulan lamanya ia mendekam di kamp tawanan di Cimahi. Lalu setelah keluar dari kamp, Yani memilih kembali ke kampung halamannya.
BAB II
Perihal Jepang dan Awal Kisah
Masih di tahun 1942. Kala itu, ketika Yani memutuskan untuk kembali ke kampung halaman, di sana pula ia memiliki rencana dalam mengikuti kursus ketik. Dirinya memiliki ketertarikan dalam hal tersebut sehingga bulat tekatnya untuk mengikuti kursus. Yani mulai mencari-cari di mana letak sanggar ketik di Purowejo agar ia bisa mulai mempelajari skill tersebut. Beberapa hari mencari, akhirnya ia temui sanggar ketik yang selama ini dirinya cari.
ARTI, merupakan nama sanggar yang Yani temukan. Dengan tampilan yang gagah, Pria itu memasuki tempat kursus seraya tersenyum menyapa kepada beberapa orang yang ia jumpai. Tanpa diduga dengan tiba-tiba, seseorang menghampiri dan menyapa Yani secara langsung,
“Selamat siang.” Sapa Wanita tersebut dengan intonasi yang halus namun tegas, sangat sopan sembari tersenyum ramah. Maka Yani dengan sopan pula membalas sapaanya, “Siang,”
Masih dengan senyuman manis terpatri, Yayuk, nama Wanita tersebut, pada akhirnya mempersilahkan Yani untuk masuk. Yayuk lantas tanpa basa-basi, ia melontarkan pertanyaan kepada Yani. Dirinya bertanya perihal apa maksud dan tujuan Yani untuk datang ke tempat tersebut.
Mendengar pertanyaan Yayuk, Yani mengangguk paham, pada akhirnya Pria itu menjelaskan apa maksud serta tujuan yang dirinya miliki sehingga membuatnya mendatangi tempat tersebut. Yani juga sedikit bercerita perihal ketertarikannya dibidang menulis serta mengetik ini. Maka begitulah singkatnya Yani yang pada akhirnya bergabung dengan sanggar ARTI dan menjadi murid dari Yayuk Ruliyah yang ternyata merupakan guru di sanggar tersebut.
Diluar dari rasa ketertarikan, sebuah keadaan memaksa Yani untuk melanjutkan pendidikannya di Institut-Institut yang didirikan oleh Jepang pada masa itu. Jawa Boei Gyugun Kanbu Rensetai. merupakan tempat dimana Yani melanjutkan pendidikannya kembali. Pria itu mempelajari hal-hal berbau militer lagi di sana, karena pada dasarnya sekolah tersebut memang melatar belakangi pendidikan di bidang militer.
Seperti sekolah kemiliteran pada umunya. Yani mendapatkan pelatihan fisik dan pelatihan berupa akademis. Mengetik dengan mesin tik juga merupakan salah satu keterampilan yang Yani dapatkan. Hal tersebut pula yang menjadi salah satu faktor pendukung bagi Yani untuk bergabung menjadi bagian dari sanggar ARTI, agar nantinya skill dan keterampilan dalam mengetik yang ada di dalam dirinya dapat lebih berkembang lagi.
Awal mula, Yani memang rajin dalam mengikuti kursus, dengan telaten ia belajar teknik-teknik yang Yayuk arahkan kepadanya. Dirinya juga mempraktekan hal tersebut dengan baik. Hingga sedikit demi sedikit Yani menjadi lebih menguasai skill-nya. Namun setelah dua bulan mengikuti kursus, Pria itu tiba-tiba saja tidak menampakan lagi diri. Hilang kabarnya, tidak ada berita apapun dalam ke-absenannya ini.
Dalam hati, Yayuk yang memiliki posisi sebagai guru bertanya-tanya, apa yang membuat Yani tidak mengikuti kelas?
Berhari-hari dirinya dibuat heran, hingga akhirnya memilih untuk membiarkan hal tersebut. Mungkin Yani memang mempunyai kegiatan lain sehingga dirinya tidak dapat mengikuti kursus, atau kemungkinan lebih buruk lainnya adalah Pria itu memutuskan untuk berhenti dalam kursusnya.
Kemudian detik demi detik berlalu, menit demi menitpun kian ikut berlalu, jam demi jam terlewati, hari demi hari ditinggalkan, masih dengan Yayuk kini. Di hari yang cerah ini, tepatnya di kota Powerejo, Wanita itu tengah bersiap. Ramai warga akan menyambut para Perwira Remaja yang berasal dari Powerejo pada hari ini, pun termasuk dirinya, walaupun hnaya sekila tapia pa salahnya menonton. Tak mau menunggu lama, ia bergegas menuju tempat penyambutan. Bertemu segelintir orang yang ia kenal, sesekali Yayuk tersenyum untuk membalas sapaan mereka dan sesekali pula dirinya membuka suara seraya menjawab ketika seseorang melontarkan pertanyaan berupa kabar kepa dirinya.
“Yayuk, apa kabar?” Tanya seseorang dengan raut bahagia yang membuat Yayuk ikut tersenyum karenanya.
“Kabar baik,” balas Yayuk. Setelah itu, keduanya kembali beradu kata.
Acara berjalan begitu ramai. Namun fokus Yayuk terbagi tatkala matanya dengan tak sengaja melihat sosok tak asing bagi dirinya. Dengan alis yang sedikit mengerut, ia perhatikan Pria yang kini menjadi objek penglihatannya, hingga pria tersebut menoleh dan berbalik menatap ke arah Yayuk, mungkin sadar akan sepasang mata yang sedari tadi menatapnya dengan pandangan menelisik.
Kedua pasang mata itu beradu temu pada akhirnya. Dalam hati, Yayuk menghela puas karena yang ia lihat ternyata benar dan percis seperi dugaanya. Itu Yani, Ahmad Yani yang pernah? Atau masih menjadi muridnya?
Berbeda dengan Yayuk yang tenang. Yani sedikit terkejut, terbukti dengan mata yang sedikit saja, hanya sedikit, membola karena akhirnya setelah beberapa lama ia dapat kembali melihat Yayuk yang diam-diam pesonanya menelisik ke dalam relung hati. Tak ada kata sapaan sejak saat itu, namun surat dari Magelang berhasil sampai ke tangan Yayuk.
Memang tidak ada satu ada atau dua patah kata yang dilontarkan ketika keduanya bertemu pada acara penyambutan tersebut. Namun kendati demikian, pergerakan Yani sangat cepat. Terbukti dengan surat yang dirinya kirimkan kepada Yayuk. Sejak saat itu pula, keduanya menjadi lebih sering kirim mengirim surat. Sesekali juga bertemu, dan melakukan sebuah pendekatan. Hingga akhirnya menikah dan sah menjadi sepasang suami isteri pada tanggal 5 Desember di tahun 1944.
Menjalani bahtera rumah tangga tentunya tidak mudah bagi keduanya pada zama itu. Banyak sekali kesuliatn-kesulitan yang dialami. Contohnya ketika Yani yang saat itu sedang mempunyai suatu urusan di luar. Pria itu izin kepada sang Isteri untuk keluar barang sebentar saja karena ada suatu urusan yang perlu ia urus. Mendengar permintaan izin tersebut, tentu Yayuk segera mengizinkan Yani untuk keluar. Namun tidak seperti apa yang dijanjikan sebelumnya, alih-alih sebentar, bahkan hingga malampun Yani belum sama sekali menampakan batang hidungnya. Padahal kala itu Yayuk tengah hamil tua kala itu.
Namun Yayuk paham atas segala situasi yang ada, ia lantas berdoa kepada Tuhan agar Suaminya baik-baik saja, apalagi konflik dengan Jepang kian memanas. Singkatnya, setelah beberapa hari, Yani akhirnya selamat sampai rumah. Hal yang menyebabkan dirinya terlambat untuk pulang adalah karena tentara Jepang yang mengejar-ngejar dirinya serta rekan-rekannya yang lain dengan beberapa kali adu tembak. Tentu selama beberapa hari itu pula Yani dan yang lainnya berusaha untuk lolos dari kejaran tentara Jepang tersebut, ia bersembunyi.
Dirasa situasi sedikitnya sudah terasa aman. Yani dan rekannya yang lain memutuskan untuk kembali pulang ke ke diamannya masing-masing. Namun ketika sampai di rumah, Pria itu tidak sama sekali mendapati sang istri. Rasa khawatir menyelusup ke dalam hati, ditambah Yayuk yang kala itu tengah mengandung di usia kandungan yang sudah tua. Segera saja Yani mencari keberadaan sang istri. Ketika mencari, hal yang ada dikepalanya adalah tempat pengungsian. Mungkin saja Yayuk berada disana, begitu pikirnya kala itu.
Sempurna seperti dugaanya. Sang istri ada di sana. Melihat kedatangan Yani, Yayuk tersenyum hangat, di wajahnya tersirat raut lega ketika melihat wujud Yani pada akhirnya. Yani menghampiri sang istri, ia memeluknya erat seraya mengecup keningnya dengan hangat.
“Syukurlah dirimu baik-baik saja.” Gumam Yani kala itu yang di hadiahi senyuman hangat oleh Yayuk.
Wanita itu mengangguk, “Syukur bahwa kita berdua sama-sama baik-baik saja.”
BAB III
Kehidupan dan Keluarga serta Kasih Sayang
Kini dua puluh satu tahun telah terlewati, kemerdekaan juga telah di dapatkan. Roda telah kembali berputar, walaupun banyak huru-hara yang masih perlu di urusi, tapi itu tidak menghalangi keluarga Ahmad Yani dalam menikmati kebahagiaannya. Ciri khas seorang Ahmad Yani sejak dulu yang kini ia usahakann untuk menurunkan hal tersebut kepada anak-anaknya. Perihal kesederhanaan, dirinya dan Yayuk berusaha mengajarkan kepada anak-anaknya agar selalu hidup sederhana dan tentunya tidak sombong dengan segala hal yang telah dimiliki.
Nilai-nilai kesederhanaan selalu ada di dalam setiap aktivitas kehidupan keluarga tersebut. Tentunya, selain nilai kesederhanaan yang diajarkan serta diterapkan, ada juga nilai persaudaraan yang Yani dan Yayuk berikan pada setiap anaknya, sehingga mereka paham apa itu rasa persaudaraan, rasa saling menyayangi dan mencintai antara satu sama lain sebagai keluarga. Keharmonisan dan kedamaian tersebut mulai tercipta dikala Yani dan keluarganya tinggal di Tegal setelah banyaknya konfllik yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, maka di masa-masa inilah keluarga Ahmad Yani mulai memiliki kedamaian yang utuh. Tepat pada saat itu pula Yani menjabat sebagai Komandan Resimen Gerakan Banteng Negara dalam Oprasi Penumpasan DI/TII Jawa Tengah.
Kala itu, di halaman belakang rumah, sembari melihat anak-anaknya bermain. Yani menikmati secangkir teh hangat yang Yayuk buatkan untuknya. Dari arah matanya saja terlihat bahwa Yani teramat sangat menyayangi anak-anaknya. Selain rasa sayang yang terpatri untuk ke tujuh anaknya tersebut, Yani juga terkenal sebagai seorang yang sangat menyangi seluruh anggota keluarganya. Meski sudah berkeluarga, Yani tidak pernah sekalipun melupakan kedua orang tuanya. Ia kerap kali mengunjungi mereka. Menyalurkan rasa rindu, walaupun semakin beranjak dewasan ada sedikit rasa canggung yang terselip dan dapat ia rasakan terhadap sang Ayah. Kendati demikian, tetap, tidak ada yang dapat menghalangi rasa sayang Yani kepada sang Ayah.
Kita semua tau bahwa Ahmad Yani tumbuh menjadi seorang yang luar biasa dengan latar Pendidikan yang sangat membanggakan. Hal tersebut tentunya berpengaruh terhadap pola asuh yang Yani gunakan kepada anak-anaknya. Pria itu, selain mengajarkan nilai kesederhanaan dan kasih sayang, tapi juga mengajarkan ke disiplinan dan ketegasan. Ahmad Yani juga lebih mengutarakan rasa sayang kepada anak-anaknya dengan menggunakan pergerakan secara langsung.
Pada awal tahun 1955, Ahmad Yani dikirim untuk kembali melanjutkan pendidikannya. Kali ini bukan di Indonesia melainkan lintas negara, tepatnya di Amerika, di Ommand and General Staff College, Fort Leaven Worth, Kansas, selama setahun lebih. Dengan terpaksa dirinya harus meninggalkan istri serta ke anak-anaknya yang lain. Bagi Yayuk maupun anak-anaknya, hal tersebut sangatlah wajar dan mereka tidak merasa keberatan atas itu semua. Mereka pun tahu, segala sesuatu yang Yani lakukan dan jalani adalah untuk negara. Karena Pendidikan juga dapat berdampak bagi masa depan negara.
Namun karena hal tersebut pula, dengan terpaksa Yayuk serta anak-anak harus pindah dari rumah yang mereka tempati. Hal tersebut dikarenakan rumah tersebut merupakan rumah dinas yang diberikan oleh negara untuk Ahmad Yani karena jabatan beliau yang kala itu merupakan seorang Komandan Resimen Pemberantasan DI/TII Jawa Tengah. Dengan lapang dada, maka mereka semua pindah kerumah yang ukurannya tidak lebih besar dari pada rumah dinas sebelumnya.
Selain rumah, kendaraan yang dimiliki hanya sepeda ontel. Bertepatan pada saat itu pula, anak-anak sudah mulai bersekolah. Melihat anak-anaknya tumbuh dengan baik, tentunya membuat Yayuk merasa bersyukur. Saking sayangnya ia terhadap anak-anaknya, menggunakan sepeda ontel, Yayuk kerap kali berkeliling ke sekolah tempat di mana anak-anaknya menuntut ilmu. Wanita itu selalu menjemput mereka, karena selain rasa kasih saying yang besar sebagai seorang Ibu. Kendati demikian, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Yayuk kerap kali merasa khawatir. Takut-takut suatu hal terjadi, maka ia akan terus mengawasi pergerakan sang anak.
Biasanya, Yayuk akan menunggu anaknya di bawah pohon rindang, selain untuk menjemput, Wanita itu juga kadang membawakan bekal berisi roti dengan olesan selai untuk anaknya. Anak sulung dari Ahmad Yani dan Yayuk, Indrian Ami Rullian, atau akrabnya adalah Rulli. Gadis kecil itu selalu merasa terharu tiap kali melihat sang Ibu yang sudah dalam posisinya, meneduh di bawah pohon rindang, menunggu dirinya keluar untuk pulang bersama atau singkatnya datang untuk menjemput. Bagi Rulli sendiri, Ibunya merupakan sosok yang hebat serta kuat. Karena bisa menangani segala sesuatu tanpa ada Suami disisinya. Ia kerap kali merasa salut atas segala perjuangan sang Ibu. Disamping hal tersebut, gadis kecil dan saudara-saudaranya yang lain tetap memaklumi ke-bsenan sang Ayah yang jarang sekali berada di rumah karena banyak sekali kasus negara yang tak pernah ada habisnya bahkan setelah tahun kemerdekaan.
Kini kaki Rulli melangkah menghampiri Ibu yang melambai kepadanya. Dengan kedua tangan memegang tali tas yang tersampir pada sisi kanan dan kirinya, Rulli datang menghampiri Yayuk dengan senyuman. Gadis itu menyalami tangan sang Ibu.
“Sudah selesai?” Tanya Yayuk yang dibalasa anggukan semangat oleh Rulli si anak sulung.
Lalu keduanya segera pulang dengan Rulli yang posisinya kini dibonceng di belakang. Sambil menikmati semilir angin yang menerpa wajah, dalam hati kian bersyukur atas segala apa yang Tuhan berikan hingga kini.
Bulan demi bulan berlalu, di tahun 1956 setelah selesai dengan pendidikannya, masih banyak hal yang diurusi oleh Ahmad Yani, hingga pada awal tahun 1958, keluarga Ahmad Yani pindah ke Jakarta Pusat, tepatnya di Jalan Lembang no 58. Di rumah tersebut pula anak bungsu dari pasangan Ahmad Yani serta Yayuk Ruliah Ahmad Yani lahir. Tepatnya pada tanggal 4 Januari tahun 1958. Anak bungsu tersebut diberi nama Irawan Sura Eddy.
Pada saat itu, Yayuk serta beberapa anaknya berencana pergi ke puncak, hal tersebut merupakan rutinitasnya dalam melepas penat, atau bisa disebut sebagai liburan. Kerap kali dirinya dan keluarga pergi ke sana, disana terdapat villa keluarga yang biasanya akan menjadi tempat singgah bila mana mereka pergi kesana. Namun, tiba-tiba kala itu, Yayuk merasakan kontraksi pada perutnya tanpa diduga-duga, waktu melahirkan tiba tanpa aba-aba. Bahkan untuk sekedar pergi ke rumah sakit atau klinik saja tidak sempat. Beruntung pada saat itu ada seorang Atashi Militer Belanda yang memang sering mampir ke kediaman keluarga Ahmad Yani. Beliau membantu memanggil seorang bidan untuk proses persalinan, hingga akhirnya Eddy lahir dalam keadaan sehat di ranjang yang biasanya selalu dipakai istirahat oleh Ahmad Yani.
Anak-anak Ahmad Yani tumbuh dengan berbagai macam karakter. Tak lupa disertai dengan kedisiplinan yang diturunkan oleh sang Ayah. Contoh kedisipilinan yang terapkan pada kehidupan sehari-harinya adalah ketika acara makan malam. Tidak ada yang boleh makan sebelum Ahmad Yani pulang bertugas. Bahkan hingga posisi duduk diatur pula oleh beliau.
Memiliki cara didik yang unik, para anak Ahmad Yani kerap kali merasa kesal dan lucu sekaligus. Seperti waktu Rulli si anak sulung bersama Emi si anak kedua di ajak oleh beliau untuk ikut pergi bertugas. Ahmad Yani hanya menyuruh anak-anaknya untuk ikut tanpa menyediakan tempat kusus dalam kendaraan yang akan di tumpangi, bahkan dirinya berlaga seperti tak mengenali kedua putrinya sehingga Rulli dan Emi, keduanya sama-sama menggerutu walaupun akhirnya paham akan maksud dan tujuan dari sang Ayah mengapa dirinya berlaga seperti itu. Pada akhirnyapun keduanya bahkan tidak sama sekali mendapatkan perlakuan spesial, mereka hanya sebatas diketahui oleh orang-orang disana sebagai anak dari Jendral Ahmad Yani. Posisi keduanya bahkan duduk di jok paling belakang.
Seperti yang sudah dibilang, walaupun begitu, baik Rulli maupun Emi, mereka sama-sama menangkap maksud dari sang Ayah. Ayahnya itu tak ingin kedua putrinya berlaga sombong, ia ingin anak-anaknya tetap rendah hati. Mau apapun posisinya pada saat itu. Mungkin Rulli dan Emi memanglah anak Jendral, namun Jendral juga manusia, kan?
Dalam hal ini, kerendah hati Ahmad Yani dapat terlihat dengan jelas. Seperti yang diketahui sejak awal, segala bentuk sikap Ahmad Yani memang luar biasa, bahkan sejak dirinya masih kecil hingga menjadi orang penting bagi negara. Sampai-sampai Presiden Soekarno sangat mempercayai kinerja-nya. Tak jarang bahkan, Ahmad Yani sesekali mendapatkan panggilan pribadi dari Presiden RI pertama itu untuk sekedar berkunjung ke Istana Negara. Desas desuspun terdengar bahwa dirinya mungkin yang nanti akan menggantikan posisi Presiden yang kini ditempati oleh Soekarno.
Bila dulu bermain perang-perangan adalah hal favoritnya, kini memainkan layangan merupakan permainan yang sangat di senangi oleh Ahmad Yani. Pria itu di setiap sorenya ketika sedang senggang, selalu memainkan permainan tersebut dengan rasa ambisius yang tinggi, ia sama sekali tidak mau kalah, kadang hal itu terlihat sangat lucu di mata anak-anaknya. Ahmad Yani sering kali bermain bersama tentara-tentara yang rumahnya berjejer, berdekatan dengan kediamannya. Untuk mendapatkan kemenangan, Pria itu selalu memutus benang layangan lawan, dan hal tersebut dianggap lucu oleh anak-anak beliau.
BAB IV
Kebahagiaan yang di Renggut
Pada awal tahun 1965 anak tertua Ahmad Yani telah memasuki masa-masa pendidikan di perguruan tinggi. Pada saat itu pula, banyak kejadian-kejadian yang membuat semua orang geleng-geleng kepala serta membuat khawatir. Hal ini tentunya membuat Ahmad Yani lebih gencar untuk melindungi anak tertuanya agar tetap aman. Perlengkapan hingga apapun yang dibutuhkan untuk OSPEK (Orientasi Studi Pengenalan Kampus) selalu para pengawal Ahmad Yani yang membelikan atas titahannya.
Singkat cerita di malam hari, pada tanggal 30 September, para Taruna datang ke kediaman Ahmad Yani. Mbok Mangun selaku pembantu disana menyuguhi para Taruna dengan pisang goreng yang telah dipersiapkan. Di ajaknya para Taruna duduk di halaman belakang untuk berbincang. Lalu sepulang para Taruna, merasa tidak ada kegiatan yang akan dilakukan, Ahmad Yani serta ketujuh anaknya yang ada di dalam rumah, memutuskan untuk tidur. Jika bertanya mengapa hanya ada Ahmad Yani dan ketujuh anaknya, maka jawabannya adalah, pada saat itu, Yayuk tengah pergi ke daerah Taman Siropati sedangkan Rulli sedang mempunyai urusan yang berkaitan dengan pendidikannya. Anak sulung itu baru pulang ketika jam menunjukan pukul sepuluh malam kurang. Dilihatnya rumah sudah sepi, adi-adiknya serta sang Ayah sepertinya sudah tertidur lelap. Maka dengan segera, Rulli mempersiapkan dirinya untuk segera tidur juga, karena merasa tubuhnya kini sudah sangat lelah.
Baru saja hendak merebahkan dirinya ke tempat tidur, suara telepon rumah berbunyi. Takut mengganggu orang-orang yang sudah terlelap, gadis itu segera keluar kamar, mengangkat sambungan telepon tersebut.
“Halo?” Sapa Rulli, gadis itu mengerutkan keningnya karena hanya hening yang ia dapati kini. Lalu di dengarnya suara cekikikan beberapa orang di sebrang sana, membuat Rulli merasa dipermainkan, lantas kembali membuka suara,
“Halo?! Ini siapa ya? Kalau tidak jawab terus akan saya tutup sambungannya!” Bentak Rulli.
“Ini betul rumah Jendral Ahmad Yani?”
Walau sedikit ter heran, Rulli tetap menjawab, “iya, kenapa memangnya?”
Bukan jawaban yang Rulli lantas dapatkan. Hanya ada suara cekikikan dari beberapa orang lalu sambungan diputus begitu saja. Jengkel, gadis itu sedikit membanting telepon rumah dan berlalu. Tapi, belum sempat kakinya memasuki kamar, telepon tersebut kembali berbunyi. Menghela nafas, bahunya sedikit turun karena lelah yang ia rasakan, dengan segera dirinya terpaksa kembali berbalik untuk mengangkat sambungan tersebut lagi.
“Halo?” Rulli berdecak, lagi-lagi ia hanya mendengar suara cekikan orang-orang berjenis kelamin laki. Sukses membuat dirinya naik pitam, Rulli sedikit membentak.
“Siapa ini?!”
“Jangan kurang ajar ya!” Lalu seperkian detik berikutnya, ia tutup sambungan tersebut secara sepihak dengan nafas tak beraturan karena merasa dipermainkan.
“Orang aneh!” Gumamnya sambal menggerutu dan melangkah memasuki kamar.
Fajar mulai menyapa, walaupun matahari belum memunculkan sinarnya, tapi udara pagi itu terasa nyata. Di sekitar jam emapat pagi, sekolompok orang sudah siap sedia dengan pasukannya. Pasukan tersebut mengaku sebagai Pasukan Cakrabirawa, siapa sangka juga di dini hari seperti ini pasukan itu tiba-tiba berada di depaan rumah kediaman Jendral Ahmad Yani twpatnya pada pintu belakang. Bahkan membuat pembantu yang membukakan pintu untuk mereka kebingan, selain karena kedatangan pasukan yang mengaku sebagai Cakrabirawa tersebut, dirinya juga merasa terkejut karena ketukan yang dihasilkan sangat keras bunyinya, seperti tidak ada tata krama dalam hal tersebut, apalagi di pagi-pagi buta seperti ini.
“Mohon maaf mau cari siapa, ya?” Tanyanya dengan sopan, walaupu di dalam hati ada rasa ksedikit ketakutan.
Sambil celingak-celinguk ke arah dalam rumah, dengan nada tegas, salah satu dari mereka menjawab, “Bapak ada? Kami disuruh Presiden untuk menjemput Bapak agar menghadap ke Istana.”
“Eh, anu. Mohon maaf, tapi Bapak masih tidur.”
“Bisa tolong dibangunkan?” Pinta salah satu Cakrabirawa, kemudian dibalas anggukan kaku.
Sedangkan tepat pada saat itu, Eddy, anak bungsu Ahmad Yani, ternyata sudah bangun, merasa tidak enak untuk membangunkan sang Jendral, maka pembantu tersebut meminta tolong kepada Eddy untuk membangunkannya. Ia memberitahu bahwa Jendral ditunggu oleh Presiden, diluar ada Cakrabiwara yang menunggu. Anak berusia tujuh tahun itu sedikit heran, namun dengan polosnya tanpa tanya lebih lanjut, dirinya segera membangunkan sang Ayah.
“Pak, bangun, diluar ada Cakrabirawa. Katanya Presiden mau bertemu Bapak.” Ucap Eddy, sambal menggoyangkan kaki sang Ayah yang kini mulai terusik ketenangannya, hingga akhirnya terbangun merasa heran, untuk apa Presiden memanggilnya sepagi ini. Dirinya memang sering dipanggil ke Istana dengan waktu yang tidak ditentukan, namun sepagi ini rasanya sangat janggal.
Ahmad Yani bangkit sambal menyesuaikan langkahnya karena rasa kantuk yang masih ia rasakan. Hingga akhirnya tiba berhadapan dengan Cakrabirawa.
“Ada apa?” Tanya Ahmad Yani.
“Presdien ingin bertemu anda sekarang juga, Jendral.”
Lantas tanpa rasa curiga, Ahmad Yani mengangguk dan izin untuk kembali masuk. Bertujuan berganti baju, karena rasanya kurang etis dan tak sopan bila mana dirinya menghadap Presiden sedangkan pakaian yang dikenakan adalah piama tidur. Namun ternyata tak semudah itu, karena Cakrabirawa dengan posesifnya menahan sang Jendral untuk masuk berganti pakaian, ia kekeuh memaksa agar detik itu juga Ahmad Yani ikut dengan mereka. Tapi Ahmad Yani tetap teguh pada pendiriannya. Ia tetap kekeuh pada pendiriannya, sambil sesekali beradu kata dengan salah satu Cakrabirawa. Naik pitam, Ahmad Yani kembali berbalik menghadap Cakrabirawa lantas merebut senjata yang digenggam oleh salah satu dari mereka, dipukulah orang tersebut karena dirinya merasakan emosi yang meluao. Sedangkan para Cakrabirawa sendiri sempat membekku akibat perlakuan Ahmad Yani yang kini hendak memasuki rumahnya lagi, ia hendak melanjutkan niatnya yang sempat tertunda, namun ketika berbalik dan berjalan beberapa angkah,
“SEKARANG!!!”
DOR!
DOR!
DOR!
DOR!
Suara tembakan bertubi-tubi, bahkan suaranya sangat menggema pada dini hari tersebut sukses membangunkan seisi rumah dan beberapa penghuni rumah lain, namun taka da yang berani untuk memeriksanya karena merasa takut. Sedangkan sang Jendral kini sudah terkapar di lantai dan tak berdaya. Eddy yang menyaksikan itu dengan reflek menangis, namun satu kata pun tak keluar dari mulutnya, sedangkan pembantu tadi juga hanya bisa membelalakan matanya tanpa berbuat apa-apa karena todongan senjata.
Kakak-kakak Eddy yang lainnya sudah bangun sejak suara itu menggelegar memenuhi rongga telinga, bahkan Yuni serta Amel berusaha untuk membuka pintu yang ditahan oleh banyaknya orang diluar. Kejadian tersebut sangatlah cepat. Sang Jendral yang berlumuran darah di Tarik begitu saja hingga darahnya membuahkan jejak dilantai. Setelah para Cakrabirawa keluar sembari membawa Ahmad Yani dengan posisi tersebut, para anak-anak yang lain akhirnya bisa keluar dari dalam billik mereka.
Beberapa dari mereka masih sempat melihat sang Ayah yang digusur dengan tegak dan tidak etis. Tangisan sudah pecah sedari tadi, mereka berlari keluar. Namun belum sempat sepenuhnya menysul, seseorang ternyata masih menjaga pintu belakang. Orang tersebut menyodorkan senjatanya.
“Masuk kalian! Atau mau saya tembak?!” Ucapnya membuat nyali anak-anak yang kini sedang terisak keras itu menciut, lalu dengan terpaksa masuk kedalam rumah, sembari menatap nanar pada lantai yang kini berlumuran darah.
Tak sepatah kata pun mampu keluar dari mulut mereka, lidah rasanya kelu, bahkan sekadar mengabari Ibu mereka saja rasanya tak mampu, selain karena perasaan yang campur aduk, sambungan kabel telepon rumah pun di telah gunting oleh orang-orang tadi. Maka yang hanya bisa mereka lakukan adalah menangis sembari menunggu Yayuk di halaman rumah bagian depan ketika orang-orang tersebut telah pergi meninggalkan kediaman mereka. Sebelum Yayuk datang, beberapa Ajudan sempat datang lebih dulu untuk memeriksa dan mungkin berniat untuk menenangkan, bilang bahwa yang dibawa tadi bukan lah Ayah mereka. Namun nasi sudah menjadi bubur, mau sebagai mana mencoba untuk dibuat tenang. Jelas-jelas yang mereka lihat dengan mata kepala sendiri tadi itu merupakan Ayah mereka, Jendral Ahmad Yani. Bukan orang lain.
Sekitar pukul setengah enam lebih, Yayuk pulang, lalu dikagetkan dengan anak-anak yang sedang menangis di halaman rumah. Kini mereka bahkan berteriak, matanya menatap heran dan kebingungan. Mengapa sepagi ini anak-anaknya sudah berdiam dihalaman belakang rumah?
“Bapak, Bu!! Bapakkk!!!” Teriak mereka sambal menangis.
Yayuk yang kebingungan ikut merasa cemas, “Kenapa Bapak? Ada apa?!”
“Bapak diculik! Bapak ditembak!”
Lalu setelahnya adalah kacau, “Cari Bapakmu sampai ketemu!” Tegasa Yayuk. Namun kemana? Kepada siapa? Itu yang terngiang-ngiang sedari tadi. Bahkan hingga Ibu mereka pingsan karena terkejut pun, mereka bingung harus bagaimana. Para ajudan yang tadinya mendampingi Yayuk akhirnya pergi untuk mencari.
Sementara Yayuk dibawa ke dalam kamar, maka anak-anak kebingungan harus bagaimana. Kejadian beberapa jam yang lalu benar-benar seperti mimpi. Eddy, terutama untuknya, ia masih terus saja terbayang, melihat sang Ayah yang di tembak bertubi-tubi di depan mata kepalanya sendiri benar-benar membuat hatinya hancur berkeping-keping. Menit demi menit berlalu, Yayuk terbangun namun kembali dikejutkan dengan darah yang melumuri lantai, membuat Wanita itu kembali pingsan.
Lalu setelah itu, zenazah akhirnya ditemukan di lubang buaya. Bukan hanya Jendral Ahmad Yani yang menjadi korban, melainkan ke enam Jendral lainnya juga turut menjadi korban. Dengan sadisnya mereka di lempar ke sumur lama yang dikenal sebagai lubang buaya dengan kedalaman kurang lebih 12 meter. Kejadian tersebut tentunya menjadi luka mendalam bagi seluruh masyarakat, bahkan setelah adanya peristiwa tersebut. Banyak massa yang mengamuk tak terima. Mereka bakar markas PKI dan serangkaian demo lainnya mereka lakukan.
BAB V
Bukan Akhir dari Segalanya
Tepat pada tanggal 5 Oktober 1965. Tanggal, hari serta tahun dimana para jasad akhirnya dikebumikan. Yayuk serta anak-anaknya tentulah hadir dalam acara tersebut, rasanya tak menyangka, sangat. Dalam hati merutuk, mengapa bisa terjadi hal semacam ini, atau, mengapa semua ini terjadi?
Kejadian tersebut juga sangat menyayat hati bagi para anak-anak Ahmad Yani. Pasalnya sang Ayah sudah mewanti-wanti kepada anak-anaknya bahwa tak lama lagi aka nada parade senjata. Dirinya ingin anak-anak melihat senjata apa saja yang telah Indonesia miliki. Namun naas, hal menyenangkan tersebut malah tergantikan dengan acara pemakan yang membuat dunia seakan-akan runtuh dibuatnya tatkala memperhatikan jasad-jasad yang mulai di kebumikan.
Begitulah bagaimana sang Jendral gugur. Peristiwa ini diabadikan dan disebut sebagai Gerakan 30 September guna mengenang para Jendral. Setelahnya, nama Ahmad Yani tetap harum, jasanya tak terlupa. Bahkan seperti pertanda, beberapa sebelum kejadian pertumpahan darah tersebut, Ahmad Yani diberi sebuah minyak wangi dimana minyak wangi itu jatuh dan akhirnya pecah, lantas dengan segera sang Jendral mengusap sisa-sisa cairan itu kepada anak-anaknya, ia berkata,
“Kalau ditanya dari mana harumnya, jawab dari Bapak.”
Anak-anak yang sempat heran kini akhirnya paham. Mungkin inilah yang sang Ayah maksud, bahwa namanya akan kian harum diibaratkan seperti minyak wangi, serta sebuah amanat tersirat bahwa jangan sampai cerita-cerita sejarah ini terlupakan begitu saja. Bagi keluarganya, Ahmad Yani merupakan sosok yang luar biasa sekali, pengabdiannya pada negara begitu besar, cara ia mendidik, bagaimana latar pendidikannya benar-benar menjadi contoh tauladan. Kepintaran serta sifatnya, kegemaranya yang menjadi bukti nyata yang hingga akhirnya dikenang dengan baik. Sosoknya sangat melekat dalam benak.
Walaupun berat bagi Yayuk dan ke delapan anaknya, namun pada akhirnya tidak ada yang bisa mengelak dari takdir yang sudah terjadi kepada mereka. Kini yang menjadi fokus adalah usaha untuk bangkit dari keterpurukan, menjalani apa yang telah diajarkan oleh sang Jendral kepada mereka. Karena ini semua, bukanlah akhir dari segalanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H