Mohon tunggu...
D Lova Aloysia
D Lova Aloysia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bunyi dan Makna dalam Puisi Karya Tri Budhi Sastrio

6 Juli 2022   14:48 Diperbarui: 8 Juli 2022   03:09 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Puisi merupakan salah satu karya sastra yang terikat oleh rima, irama, dan kemerduan bunyi. Kosasih (2012: 97) menyatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya akan makna. Keindahan dalam karya puisi salah satunya dibangun oleh bahasa berupa kata-kata yang indah yang terwujud dari ekspresi jiwa seseorang. 

Sebagian keindahan puisi terletak pada bunyi. Atmazaki (2002: 73) berpendapat bahwa bunyi dalam puisi merupakan salah satu sarana kepuitisan di samping sarana-sarana yang lain. Puisi selain mempunyai pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang, juga disusun sedemikian rupa dengan penyepadanan bunyi. Bunyi dapat memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan menimbulkan suasana yang khusus. Menurut Pradopo (1997: 57), gaya bunyi merupakan penggunaan bunyi-bunyi tertentu untuk mendapatkan efek tertentu yaitu efek estetis. 

Gaya bunyi meliputi gaya ulangan bunyi, gaya kiasan bunyi, orkestrasi bunyi, dan irama. Gaya ulangan bunyi dibedakan menjadi enam jenis, yaitu aliterasi, asonansi, sajak awal, sajak akhir, sajak tengah, dan sajak dalam. Gaya kiasan bunyi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu onomatope, metafora bunyi, dan simbolik bunyi. Orkestrasi bunyi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu efoni dan kakofoni. Irama juga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu metrum dan ritme. 

Kemampuan menganalisis puisi merupakan suatu hal yang tidak mudah, tetapi sangat diperlukan agar pembaca mampu memahami makna yang terkandung di dalamnya. Pada penelitian ini, selain melakukan analisis bunyi, peneliti juga melakukan analisis makna menggunakan teori semiotika. Semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda (Gottdiener dalam Sobur, 2001: 87). Salah satu ahli semiotika yakni Roland Barthes. Di dalam teorinya, Roland Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi. 

Denotasi merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan pertanda, yang di dalamnya menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Sementara konotasi merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan pertanda, yang di dalamnya menghasilkan makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. 

Pada penelitian ini, peneliti memilih tiga puisi karya Tri Budhi Sastrio yang berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah, Ilusi Korupsi dan Remisi, serta Merdeka (Ber)Korupsi untuk digunakan sebagai bahan kajian. Peneliti memilih tiga puisi tersebut karena menurut peneliti puisi-puisi tersebut memiliki ragam bunyi yang bervariasi serta mengandung makna yang mendalam sehingga mampu menciptakan nilai-nilai estetis. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk menganalisis bunyi dan makna yang terkandung dalam tiga puisi karya Tri Budhi Sastrio tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga puisi karya Tri Budhi Sastrio yang berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah, Ilusi Korupsi dan Remisi, serta Merdeka (Ber)Korupsi memiliki ragam bunyi yang bervariasi dan mengandung makna yang mendalam sehingga mampu menciptakan nilai-nilai estetis.

A. Bunyi

Menurut Pradopo (1997: 57), gaya bunyi merupakan penggunaan bunyi-bunyi tertentu untuk mendapatkan efek tertentu yaitu efek estetis. Gaya bunyi meliputi gaya ulangan bunyi, gaya kiasan bunyi, orkestrasi bunyi, dan irama.

1. Gaya Ulangan Bunyi

Gaya ulangan bunyi dibedakan menjadi enam jenis, yaitu aliterasi, asonansi, sajak awal, sajak akhir, sajak tengah, dan sajak dalam.

a) Aliterasi, adalah ulangan bunyi konsonan dalam baris sajak (Pradopo, 1997: 58).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan aliterasi sebagai berikut.

(1) Mengumbar benci, dendam serta memelihara amarah (hlm. 152, larik ke-42)

(2) Tidak hanya slogan pemanis tapi perintah dan titah (hlm. 152, larik ke-48)

Kalimat (1) menggunakan ulangan bunyi konsonan m-m. Kalimat (2) menggunakan ulangan bunyi konsonan t-t.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan aliterasi sebagai berikut.

(3) Perampok, pemerkosa, penipu, pembunuh, dan pencuri (hlm. 174, larik ke-13)

(4) Tak boleh ada toleransi, tak boleh simpati, tak ada remisi (hlm. 174, larik ke-15)

Kalimat (3) menggunakan ulangan bunyi konsonan p-p. Kalimat (4) menggunakan ulangan bunyi konsonan t-t.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan aliterasi sebagai berikut.

(5) Itu pun kalau kroni-kroni mereka tidak lagi kembali menang (hlm. 197, larik ke-60)

(6) Dan sekarang … ya sekarang tatkala merdeka kita kenang (hlm. 197, larik ke-61)

Kalimat (5) menggunakan ulangan bunyi konsonan k-k. Kalimat (6) menggunakan ulangan bunyi konsonan k-k.

b) Asonansi, adalah ulangan bunyi vokal dalam baris sajak (Pradopo, 1997: 57).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan asonansi sebagai berikut.

(1) Berkilau indah laksana mutiara ditatah di bilah hadiah (hlm. 151, larik ke-9)

(2) Marah dan susah, jengah gelisah, tak terengah-engah (hlm. 151, larik ke-11)

Kalimat (1) menggunakan ulangan bunyi vokal a-a. Kalimat (2) menggunakan ulangan bunyi vokal a-a.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan asonansi sebagai berikut.

(3) Padahal ya padahal semuanya kan masalah domestikal (hlm. 174, larik ke-5)

(4) Boleh menerima remisi, tapi pelaku korupsi, hi … hi … hi (hlm. 174, larik ke-14)

Kalimat (3) menggunakan ulangan bunyi vokal a-a. Kalimat (4) menggunakan ulangan bunyi vokal i-i.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan asonansi sebagai berikut.

(5) Bahwa hanyalah sang pesakitan yang cuma semata wayang (hlm. 196, larik ke-40)

(6) Semakin meriah menghiasi bibir-bibir lidah suara sumbang (hlm. 197, larik ke-53)

Kalimat (5) menggunakan ulangan bunyi vokal a-a. Kalimat (6) menggunakan ulangan bunyi vokal i-i.

c) Sajak Awal, adalah pola persajakan yang berada di awal baris-baris sajak (Pradopo, 1997: 58).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan sajak awal sebagai berikut.

(1) Juga karena sebenarnya, tidaklah sulit apalagi susah

      Jika diminta memilah-milah, mana benar mana salah (hlm. 152, larik ke-29--30)

(2) Kemudian menjadi satu-satunya titah perintah Allah

       Kemudian ditunjukkan sendiri oleh Putra utusan-Nya (hlm. 153, larik ke-50--51)

Kalimat (1) menggunakan pola persajakan dengan huruf awal j-j. Kalimat (2) menggunakan pola persajakan dengan huruf awal k-k.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan sajak awal sebagai berikut.

(3) Di negeri ini ada banyak yang aneh dan tak masuk akal,

       Dengki, iri serta balas dendam sering kali sangat kental. (hlm. 174, larik ke-1--2)

(4) Korupsi memang masih sangat banyak dan terus merajalela,

       Karena sebagian besar pelakunya juga para pejabat negara. (hlm. 175, larik ke-37--38)

Kalimat (3) menggunakan pola persajakan dengan huruf awal d-d. Kalimat (4) menggunakan pola persajakan dengan huruf awal k-k.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan sajak awal sebagai berikut.

(5) Menjelajah pantai, mengarungi lautan, giat menang perang,

       Mendaki gunung, menuruni lembah dan ngarai yang garang, (hlm. 195, larik ke-4--5)

(6) Pekik merdeka memang menggema lantang, tetapi sayang

       Pekik MERDEKA (BER)KORUPSI eh didengar paling terang. (hlm. 197, larik ke-62--63)

Kalimat (5) menggunakan pola persajakan dengan huruf awal m-m. Kalimat (6) menggunakan pola persajakan dengan huruf awal p-p.

d) Sajak Akhir, adalah pola persajakan yang berada di akhir baris-baris sajak (Pradopo, 1997: 59).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan sajak akhir sebagai berikut.

(1) Memaafkan serta mengampuni sesama itu pasti indah,

      Juga sudah pasti amat, serta sangatlah terlalu mudah,

      Karena sama serupa sama sekali tak ada beda noktah

      Dengan mengampuni dosa sendiri yang sebesar gajah. (hlm. 153, larik ke-66--69)

Kalimat (1) menggunakan pola persajakan dengan huruf akhir h-h.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan sajak akhir sebagai berikut.

(2) Simak saja polemik berkaitan dengan korupsi dan remisi.

       Semua televisi, siarkan komentar pengamat masalah ini,

       Hampir semua tampaknya sepakat bahwa pelaku korupsi

       Amat tidak pantas menerima apa yang dinamakan remisi (hlm. 174, larik ke-8--11)

Kalimat (2) menggunakan pola persajakan dengan huruf akhir i-i.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan sajak akhir sebagai berikut.

(3) Dan sekarang … ya sekarang tatkala merdeka kita kenang,

       Pekik merdeka memang menggema lantang, tetapi sayang

       Pekik MERDEKA (BER)KORUPSI eh didengar paling terang. (hlm. 197, larik ke-61--63)

Kalimat (3) menggunakan pola persajakan dengan huruf akhir ng-ng.

e) Sajak Tengah, adalah pola persajakan yang berada di tengah baris antara dua baris sajak atau lebih (Pradopo, 1997: 60).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan sajak tengah sebagai berikut.

(1) Tak ada gegurat gerah dan jengah, resah dan gundah,

      Marah dan susah, jengah gelisah, tak terengah-engah (hlm. 151, larik ke-10--11)

(2) Hanya bisa dibelah jika benci, dendam, serta amarah

       Segera saja, diganti dengan perintah yang amanah (hlm. 152, larik ke-45--46)

Kalimat (1) menggunakan pola persajakan dengan kata di bagian tengah yang berakhiran ah-ah. Kalimat (2) menggunakan pola persajakan dengan kata di bagian tengah yang berakhiran i-i dan ah-ah.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan sajak tengah sebagai berikut.

(3) Di negeri ini ada banyak yang aneh dan tak masuk akal,

       Dengki, iri serta balas dendam sering kali sangat kental. (hlm. 174, larik ke-1--2)

(4) Boleh menerima remisi, tapi pelaku korupsi, hi … hi … hi

        Tak boleh ada toleransi, tak boleh simpati, tak ada remisi. (hlm. 174, larik ke-14--15)

Kalimat (3) menggunakan pola persajakan dengan kata di bagian tengah yang berakhiran i-i. Kalimat (4) menggunakan pola persajakan dengan kata di bagian tengah yang berakhiran si-si.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan sajak tengah sebagai berikut.

(5) Pokoknya semua tantangan dari batu karang sampai perang,

       Telah ditaklukkan tak hanya bermodalkan pedang dan parang, (hlm. 195, larik ke-6--7)

(6) Lalu sambil duduk dan kaki terus asyik bergoyang-goyang,

       Mereka memutuskan bahwa strategi yang ini boleh diulang,

       Agar semua anggaran proyek mau menari ikut berdendang (hlm. 197, larik ke-54--56)

Kalimat (5) menggunakan pola persajakan dengan kata di bagian tengah yang berakhiran ang-ang. Kalimat (6) menggunakan pola persajakan dengan kata di bagian tengah yang berakhiran i-i.

f) Sajak Dalam, adalah pola persajakan yang berada di dalam satu baris sajak (Pradopo, 1997: 61).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan sajak dalam sebagai berikut.

(1) Gundah, susah apalagi resah, semuanya bisa pasrah (hlm. 151, larik ke-3)

(2) Marah dan susah, jengah gelisah, tak terengah-engah (hlm. 151, larik ke-11)

Kalimat (1) menggunakan pola persajakan dengan kata-kata yang berakhiran ah-ah dalam satu baris sajak. Kalimat (2) menggunakan pola persajakan dengan kata-kata yang berakhiran ah-ah dalam satu baris sajak.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan sajak dalam sebagai berikut.

(3) Yang tidak pantas dibicarakan ke atas pentas nasional (hlm. 174, larik ke-6)

(4) Maka semua pihak tentu gembira jika vonisnya ke penjara (hlm. 175, larik ke-22)

Kalimat (3) menggunakan pola persajakan dengan kata-kata yang berakhiran tas-tas dalam satu baris sajak. Kalimat (4) menggunakan pola persajakan dengan kata-kata yang berakhiran ra-ra dalam satu baris sajak.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan sajak dalam sebagai berikut.

(5) Telah ditaklukkan tak hanya bermodalkan pedang dan parang (hlm. 195, larik ke-7)

(6) Tempat dalih saling serang, pembuktian saling berperang (hlm. 196, larik ke-25)

Kalimat (5) menggunakan pola persajakan dengan kata-kata yang berakhiran kan-kan dalam satu baris sajak. Kalimat (6) menggunakan pola persajakan dengan kata-kata yang berakhiran rang-rang dalam satu baris sajak.

2. Gaya Kiasan Bunyi

Gaya kiasan bunyi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu onomatope, metafora bunyi, dan simbolik bunyi.

a) Onomatope, adalah tiruan bunyi untuk mengkonkretkan gambaran angan (Pradopo, 1997: 61).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan onomatope sebagai berikut.

(1) Lalu lidah pun ikut mendesah-desah, dan hati gelisah, (hlm. 151, larik ke-17)

Kalimat (1) menggunakan tiruan bunyi lidah yang mendesah-desah.

Pada puisi Tri Budhi Sastrio yang berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi dan Merdeka (Ber)Korupsi tidak ditemukan penggunaan onomatope.

b) Metafora Bunyi, adalah bunyi untuk mengiaskan bunyi yang sesungguhnya (Pradopo, 1997: 61).

Pada puisi Tri Budhi Sastrio yang berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah tidak ditemukan penggunaan metafora bunyi.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan metafora bunyi sebagai berikut.

(1) Boleh menerima remisi, tapi pelaku korupsi, hi … hi … hi (hlm. 174, larik ke-14)

Kalimat (1) menggunakan kiasan bunyi tawa hi … hi … hi yang biasa dilakukan oleh seseorang.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan metafora bunyi sebagai berikut.

(2) Yang penting, ha … ha … ha … semua orang dibuat senang (hlm. 195, larik ke-19)

Kalimat (2) menggunakan kiasan bunyi tawa ha … ha … ha yang biasa dilakukan oleh seseorang.

c) Simbolik Bunyi, adalah bunyi untuk menyimbolkan perasaan (Pradopo, 1997: 61). Pada umumnya berupa kombinasi bunyi vokal. Bunyi vokal i,e menyimbolkan perasaan yang riang atau senang. Bunyi vokal a,o,u menyimbolkan perasaan yang susah atau sedih.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan simbolik bunyi sebagai berikut.

(1) Karena tak lama setelah, jiwa tenang, pulas tengadah,

      Damai, tenteram, bebas marah, tak ada lagi itu resah. -> ie (hlm. 151, larik ke-6--7)

(2) Karena banyak orang merasakan sendiri, tidak mudah

       Ya betapa mengampuni dan memaafkan tidak mudah. -> aou (hlm. 151, larik ke-18--19)

Kalimat (1) menggunakan bunyi vokal i,e untuk menyimbolkan perasaan damai dan tenteram. Kalimat (2) menggunakan bunyi vokal a,o,u untuk menyimbolkan perasaan susah.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan simbolik bunyi sebagai berikut.

(3) Indonesia tempat hukum tegak kokoh berdiri bagai menara -> ie (hlm. 175, larik ke-25)

(4) Jengkel memang melihat orang-orang yang tulus dipercaya -> aou (hlm. 176, larik ke-41)

Kalimat (3) menggunakan bunyi vokal i,e untuk menyimbolkan perasaan bangga. Kalimat (4) menggunakan bunyi vokal a,o,u untuk menyimbolkan perasaan jengkel atau kesal.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan simbolik bunyi sebagai berikut.

(5) Dan yang merasa atasan pun akan dengan riang dan senang -> ie (hlm. 195, larik ke-17)

(6) Korupsi memang sudah ada sejak dahulu sampai sekarang -> aou (hlm. 196, larik ke-31)

Kalimat (5) menggunakan bunyi vokal i,e untuk menyimbolkan perasaan senang. Kalimat (6) menggunakan bunyi vokal a,o,u untuk menyimbolkan perasaan resah.

3. Orkestrasi Bunyi

Orkestrasi bunyi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu efoni dan kakofoni.

a) Efoni, adalah kombinasi bunyi yang merdu (Pradopo, 1997: 62). Pada umumnya berupa kombinasi bunyi sengau (m,n,ng,ny); bunyi bersuara (b,d,g); atau bunyi likuida (r,l).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan efoni sebagai berikut.

(1) Pendek kata mengampuni memaafkan, ronanya cerah

      Berkilau indah laksana mutiara ditatah di bilah hadiah (hlm. 151, larik ke-8--9)

Kalimat (1) menggunakan kombinasi bunyi sengau (m,n,ng,ny) dan kombinasi bunyi bersuara (b,d).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan efoni sebagai berikut.

(2) Karenanya harus terus dibina, agar kelak bila saatnya tiba,

       Bisa memasyarakat dan jadi insan yang berguna dan mulia. (hlm. 175, larik ke-35--36)

Kalimat (2) menggunakan kombinasi bunyi sengau (m,n,ng,ny).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan efoni sebagai berikut.

(3) Sekarang semua dilakukan sambil tertawa riang dan senang (hlm. 195, larik ke-13)

Kalimat (3) menggunakan kombinasi bunyi sengau (m,n,ng).

b) Kakofoni, adalah kombinasi bunyi yang tidak merdu/parau (Pradopo, 1997: 63). Pada umumnya berupa kombinasi bunyi tak bersuara (k,p,t,s).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan kakofoni sebagai berikut.

(1) Susah, amatlah tidak mudah, garan lapah sirat tanah,

      Menghilangkan marah itu, sudah jelas amatlah susah. (hlm. 151, larik ke-21--22)

Kalimat (1) menggunakan kombinasi bunyi tak bersuara (k,p,t,s).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan kakofoni sebagai berikut.

(2) Jengkel memang melihat orang-orang yang tulus dipercaya

       Eh malah ramai-ramai merompak dana melibas norma etika, (hlm. 176, larik ke-41--42)

Kalimat (2) menggunakan kombinasi bunyi tak bersuara (k,p,t,s).

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan kakofoni sebagai berikut.

(3) Melahap timbunan uang negara secara sewenang-wenang (hlm. 196, larik ke-42)

Kalimat (3) menggunakan kombinasi bunyi tak bersuara (p,t,s).

4. Irama

Irama dibedakan menjadi dua jenis, yaitu metrum dan ritme.

a) Metrum, adalah irama yang ajek disebabkan oleh tekanan teratur dan jumlah suku kata yang tetap (Pradopo, 1997: 64).

Pada puisi Tri Budhi Sastrio yang berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah, Ilusi Korupsi dan Remisi, serta Merdeka (Ber)Korupsi tidak ditemukan penggunaan metrum karena puisi-puisi tersebut merupakan puisi narasi yang jumlah suku katanya tidak tetap.

b) Ritme, adalah irama yang tidak ajek disebabkan oleh tekanan tidak teratur dan jumlah suku kata yang tidak tetap (Pradopo, 1997: 64).

Ketiga puisi Tri Budhi Sastrio yang berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah, Ilusi Korupsi dan Remisi, serta Merdeka (Ber)Korupsi termasuk menggunakan ritme karena puisi-puisi tersebut merupakan puisi narasi yang jumlah suku katanya tidak tetap. Berikut adalah contoh penggunaan ritme pada puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah.

(1) Memaafkan serta mengampuni sesama itu pasti indah,

      Juga sudah pasti amat, serta sangatlah terlalu mudah,

      Karena sama serupa sama sekali tak ada beda noktah

      Dengan mengampuni dosa sendiri yang sebesar gajah. (hlm. 153, larik ke-66--69)

Kalimat (1) menggunakan ritme karena jumlah suku kata pada masing-masing lariknya tidak tetap.

Berikut adalah contoh penggunaan ritme pada puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi.

(2) Simak saja polemik berkaitan dengan korupsi dan remisi.

       Semua televisi, siarkan komentar pengamat masalah ini,

       Hampir semua tampaknya sepakat bahwa pelaku korupsi

       Amat tidak pantas menerima apa yang dinamakan remisi (hlm. 174, larik ke-8--11)

Kalimat (2) menggunakan ritme karena jumlah suku kata pada masing-masing lariknya tidak tetap.

Berikut adalah contoh penggunaan ritme pada puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi.

(3) Dan sekarang … ya sekarang tatkala merdeka kita kenang,

       Pekik merdeka memang menggema lantang, tetapi sayang

       Pekik MERDEKA (BER)KORUPSI eh didengar paling terang. (hlm. 197, larik ke-61--63)

Kalimat (3) menggunakan ritme karena jumlah suku kata pada masing-masing lariknya tidak tetap.

B. Makna

Dalam Teori Semiotika, Roland Barthes menjelaskan dua tingkat pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi. Dua konsep tersebut dinamakan konsep signifikasi dua tahap.

1. Denotasi

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan pertanda, yang di dalamnya menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan kata denotasi sebagai berikut.

(1) Mengampuni dan memaafkan sesama jadi tak mudah (hlm. 152, larik ke-37)

(2) Ditulis dalam kitab-kitab suci para nabi, dulu pernah (hlm. 153, larik ke-49)

Kalimat (1) menggunakan kata denotasi mengampuni yang berarti tindakan memberi ampun dan kata memaafkan yang berarti tindakan memberi maaf. Kalimat (2) menggunakan kata denotasi kitab suci yang berarti buku berisi ajaran-ajaran hidup bagi umat beragama.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan kata denotasi sebagai berikut.

(3) Remisi itu hanya bagi yang kejahatannya bukan korupsi (hlm. 174, larik ke-12)

(4) Perampok, pemerkosa, penipu, pembunuh, dan pencuri (hlm. 174, larik ke-13)

Kalimat (3) menggunakan kata denotasi remisi yang berarti pengurangan hukuman yang diberikan kepada orang yang sedang menjalani hukuman. Kalimat (4) menggunakan kata-kata denotasi perampok, pemerkosa, penipu, pembunuh, pencuri yang berarti orang yang melakukan kegiatan kejahatan tersebut.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan kata denotasi sebagai berikut.

(5) Korupsi memang sudah ada sejak dahulu sampai sekarang (hlm. 195, larik ke-1)

(6) Sampai pada masa-masa pemilu yang masih akan datang (hlm. 197, larik ke-59)

Kalimat (5) menggunakan kata denotasi korupsi yang berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi. Kalimat (6) menggunakan kata denotasi pemilu yang berarti proses memilih seseorang untuk mengisi jabatan politik tertentu, mulai dari presiden hingga kepala desa.

Sebenarnya pada ketiga puisi Tri Budhi Sastrio tersebut banyak ditemukan penggunaan kata denotasi. Akan tetapi, peneliti tidak menyajikan semua. Peneliti hanya mencantumkan beberapa contoh kalimat yang menggunakan kata denotasi di ketiga puisi tersebut.

2. Konotasi

Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan pertanda, yang di dalamnya menghasilkan makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan kata konotasi sebagai berikut.

(1) Dengan ampuni dosa sendiri nan berbongkah-bongkah (hlm. 153, larik ke-65)

(2) Dengan mengampuni dosa sendiri yang sebesar gajah (hlm. 153, larik ke-69)

Kalimat (1) menggunakan kata konotasi berbongkah-bongkah yang berarti sangat banyak. Kalimat (2) menggunakan kata-kata konotasi sebesar gajah yang berarti sangat besar.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Ilusi Korupsi dan Remisi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan kata konotasi sebagai berikut.

(3) Bahkan hal pribadi berkaitan dengan guling dan bantal (hlm. 174, larik ke-3)

(4) Yang tidak pantas dibicarakan ke atas pentas nasional (hlm. 174, larik ke-6)

Kalimat (3) menggunakan kata-kata konotasi guling dan bantal yang berarti sesuatu yang bersifat pribadi yang orang lain tidak perlu tahu. Kalimat (4) menggunakan kata-kata konotasi pentas nasional yang berarti khalayak umum.

Berikut adalah hasil analisis terhadap puisi Tri Budhi Sastrio berjudul Merdeka (Ber)Korupsi. Pada puisi tersebut ditemukan penggunaan kata konotasi sebagai berikut.

(5) Ia tokoh terkenal yang telah mengarungi ombak dan karang (hlm. 195, larik ke-3)

(6) Melahap timbunan uang negara secara sewenang-wenang (hlm. 196, larik ke-42)

Kalimat (5) menggunakan kata-kata konotasi mengarungi ombak dan karang yang berarti memiliki banyak pengalaman. Kalimat (6) menggunakan kata-kata konotasi melahap timbunan uang negara yang berarti menyalahgunakan uang negara dalam jumlah besar.

Sebenarnya pada ketiga puisi Tri Budhi Sastrio tersebut juga ditemukan beberapa penggunaan kata konotasi lainnya. Akan tetapi, peneliti tidak menyajikan semua. Peneliti hanya mencantumkan beberapa contoh kalimat yang menggunakan kata konotasi di ketiga puisi tersebut.

Berdasarkan hasil analisis pada tiga puisi karya Tri Budhi Sastrio yang berjudul Mengampuni itu Indah dan Mudah, Ilusi Korupsi dan Remisi, serta Merdeka (Ber)Korupsi diperoleh simpulan bahwa ketiga puisi tersebut memiliki ragam bunyi yang bervariasi dan mengandung makna yang mendalam sehingga mampu menciptakan nilai-nilai estetis. Ragam bunyi yang terdapat pada tiga puisi karya Tri Budhi Sastrio terdiri dari gaya ulangan bunyi yang meliputi aliterasi, asonansi, sajak awal, sajak akhir, sajak tengah, dan sajak dalam. 

Selain itu, ditemukan gaya kiasan bunyi yang meliputi onomatope, metafora bunyi, dan simbolik bunyi. Orkestrasi bunyi juga ditemukan pada tiga puisi tersebut yang meliputi efoni dan kakofoni. Untuk irama hanya ditemukan ritme pada tiga puisi tersebut, sedangkan metrum tidak ditemukan. 

Sementara itu, dari hasil analisis makna menggunakan teori semiotika Roland Barthes disimpulkan bahwa tiga puisi karya Tri Budhi Sastrio tersebut mengandung makna denotasi dan makna konotasi. Bunyi dan makna memang merupakan unsur penting dalam karya sastra khususnya pada puisi. Melalui penggunaan bunyi, kata denotasi, dan kata konotasi, pengarang mampu memberikan penekanan terhadap sesuatu hal yang ingin disampaikan. Selain itu, juga untuk memperkuat kesan pembaca, menghidupkan imajinasi, sekaligus untuk memberi nilai estetis.

DAFTAR PUSTAKA

Atmazaki. (2002). Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Padang: UNP Press.

Juwati. (2017). Diksi dan Gaya Bahasa Puisi-Puisi Kontemporer Karya Sutardji Calzoum Bachri (Sebuah Kajian Stilistik). Jurnal KIBASP, 1(1), 72-89.

Kosasih. (2012). Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya.

Kurniawan. (2001). Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan Indonesia Tera.

Moleong, Lexy J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Najid, Moh. (2003). Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press dan Kreasi Media Promo.

Nurastuti, Wiji. (2007). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Ardana Media.

Pradopo, Rachmat Djoko. (1997). Gaya Bunyi. Jurnal Humaniora, V, 57-65.

_______________. (2010). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Santosa, Puji. (1993). Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

Sastrio, Tri Budhi. (2018). Inspirasi Tanpa Api. Kab. Sukabumi: Jejak.

Sobur, Alex. (2001). Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

_______. (2003). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sudaryanto. (2010). Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sudjiman, Panuti. (1986). Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. (1994). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Vera, Nawiroh. (2014). Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Wahjuwibowo, Indiwan Seto. (2013). Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Waluyo, Herman J. (2002). Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun