Aku mengangguk.
Harmoni, Kota, Sunda Kelapa, Â 21 Maret 1957
"Widy! Ternyata Glodok itu lebih padat dibanding ketika aku kuliah," kata Syafri sambil menunjuk bangunan-bangunan pecinan dari trem."Kamu lihat becak dan oto sama padatnya."
"Woow!" ucap dia. "Bandung lebih sepi!"
"Kita ke Balai Kota peninggalan Belanda dulu. Lalu ke pasar ikan."
Mereka turun  dan melihat suasana glodok  hingga balai kota.  "Jadi di sinilah Batavia dulu," terang Syafri.
"Cuma panas, apa bule-bule itu nggak punya ide memindahkan ibu kota ka Bandung," celetuk Widy.
"Mungkin. Â Aku tidak tahu. Tetapi malah 1957 ini wartawan dengar Wali Kota Enoch pernah menyinggung hal itu."
Syafri baru menyadari istrinya memakai celana pendek berkantung banyak, mengenakan kaos dan ransel, serta topi, serta hanya memakai sepatu pentopel tanpa kaos kaki. Dia sendiri bercelana panjang. Â Beberapa mata laki-laki melihat dengan pandangan nakal ketika mereka mengunjungi balai kota. Tetapi Syafri segera menariknya.
"Kenapa Kang? Cemburu pada laki-laki  itu?  Mata Kang Syafri juga jangan begitu atuuh! Panas!"