Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis, Bagian Sembilan

6 Juli 2024   01:00 Diperbarui: 6 Juli 2024   01:08 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malioboro 8 Agustus 2014 -Foto: Irvan Sjafari

Yogyakarta, 8 Agustus 2014

Hampir subuh di Yogya. Ketika keretaku tiba. Cerah ceria cuaca malam temaram.  Terkejut aku tiba-tiba.  Dua mata memandang dari balik jendela dan menunjuk aku, kemudian melambai.  Tubuh lelah pun setelah sembilan jam lebih berada dalam kereta api jadi tersentak, terusir rasa kantuk.

Perempuan menunjuk aku untuk turun. Dia  tahu aku ada di gerbong Eksekutif 6 berangkat dari Gambir. Begitu aku turun dengan membawa tas ransel carrier yang cukup berat, dia ternyata tidak sendiri. 

Usianya  sekitar 30 tahun atau 31 tahun.  Tubuh setinggi aku dengan rambut keriting tergerai. Dia bersama dua orang, seorang pemuda yang usianya 24 tahun dan perempuan 34 tahun.

"Irvan?" ujar perempuan berambut keriting itu. "Aku Ayu, masih sepupunya "R" dan ini kawan-kawan komunitas ku.  Dia minta aku memastikan Mas baik-baik saja!"

"Surprise! Jadi kamu dapat foto aku agar bisa dikenali?"

"Yup! Bahkan kereta apa yang ditumpangi dan datang jam berapa pun sudah diketahui."

"Astaga?"

"Jangan ge-er Mas, "R" hanya ingin mendapat info sepak terjangmu di kota yang bersahaja ini," kata perempuan itu.

"Kok?" tanyaku memperhatikan.

"Tidak berhijab? "R" memang dari keluarga yang ketat dan taat  tetapi mereka tidak memaksa keluarga yang lain harus mengikuti tata cara mereka.  Tetapi kalau mau masuk jadi anggota keluarga batihnya, ya...siapa pun harus nurut."

"Paham!" Aku tahu arah pertanyaannya.

"Jadi apa yang harus kami bantu?"

"Hotel backpacker ada nggak sih dekat stasiun?  Setelah itu aku harus ke Pentingsari, padat jadwalku."

Aku diperkenalkan dengan  Gendis dan Harbowo yang mendampingi Ayu. Mereka baik mengantarkan aku menelusuri Maliboro hingga ke Jalan Dagen Nomor 81.  Hotel Kunthi. 

Beberapa ABG tampak berswafoto dengan berapa spot seperti tugu.   Jalan Maliboro dini hari menjelang subuh masih ramai.  Ayu, Gendis dan Harbowo mengantarkan aku ke resepsionis.

"Kata "R" kamu belajar sejarah dan lingkungan, kebetulan Gendis ini  tahu sejarah Bandung 1950-an. Salah seorang kerabat ibunya pernah tinggal di Bandung."

"Iya, aku rutin menulis di Blog Kompasiana mau arahnya tentang neo menak, pariwisata dan lingkungan tiga unsur yang berkontribusi besar membangun Kota Bandung setelah Republik?"

"Nah, aku juga mengikuti tulisan Mas.  Kapan aku ingin cerita soal kerabat Ibuku. Pasti menarik, dia perempuan bersemangat tinggi, suka berpetualang, pendidikannya pun bagus.  Suaminya pun mendukung dia sampai menyelesaikan pendidikannya, hanya saja..."

"Ya, nanti aku cerita, sehabis Mas pulang dari Pentingsari? Di Lesehan atau rumah makan di sini malam besok? Ayu dan Harbowo juga ikut."

Baik sekali "R" membujuk sepupunya untuk mengajak temannya.

"Siapa nama kerabatmu?"

"Widy. Ibu aku cerita dia memang  suka keluyuran.  Berani berpergian sendirian.  Dia anaknya Yahut! Dia termasuk terlalu maju di zamannya,"

"Terima kasih, sampai jumpa. Aku mungkin ke Gudeg Wijilan sore."

"Oke, kami ke sana. Pesan "R", jangan jadi wartawan nakal ya!  Orang sini guyub tinggi loh, mas!"

Itu maksudnya "R".  Memantau apakah aku tergolong wartawan nakal atau tidak.  Buruk sekali citra wartawan di mata dia. Seolah-olah sambil meliput sambil "berpetualang".   Kami berpisah. Aku pun masuk kamar beristirahat sebentar.

Baru aku melangkah.  Ayu berbisik: "R" bilang nakalnya kalau Mas sudah menikah  saja!"

"Nah, kan?"

 

Cikini,  Jakarta, 20 Maret 1957

"Widy!  Bangun! Kereta sudah tiba di Jatinegara. Kita ke harus segera ke Cikini  sebelum sore.  Kita menginap di tempat kost  aku dulu!  Aku sudah kirim surat ke mereka menyediakan kamar untuk kita!" Syafri membangunkan istrinya.

Widy menggeliat. Dia tertidur. Rupanya mengendarai motor gandeng keliling Bandung kemarin melelahkan.  Tubuhnya berpeluh karena Jakarta panas.

"Kita naik kereta di jalan itu, trem kan?" tanya Widy menunjuk sebuah kereta di jalan.

"Itu kalau mau ke Harmoni. Tetapi ini ke Cikini dulu, kita naik delman! Setelah meletakan barang, kita makan di warung tempat langganan aku! Soto Haji Ma'Ruf di Gondangdia, belum pernah mencoba soto Betawi.

"Belum sih, tetapi soto ada daging kambingnya, ya? Nanti kamu mengajak dansa lagi nanti malam," katanya menjulurkan lidah.

Syafri hanya tertawa.

Tetapi Widy menolak ketika mengangkat tas pakaiannya ke delman. "Kamu bukan pangeran dan aku bukan Putri Salju, kita ini sahabatan dalam ikatan pernikahan! Kalau kamu angkat tas aku, aku angkat tas kamu!"

Benar Widy mengangkat Tas Syafri. Lalu mereka naik delman. Mereka menuju Cikini.

"Rindu sama Naila?" tanya Widy dalam perjalanan.

"Rindu  dan tidak rindu. Bagaimana pun juga aku harus mengenalkan kamu ke dia."

"Iya, kamu utang itu. Aku juga utang mengenalkan kamu pada cinta pertamaku. Kalau Hardja, kamu sudah tahu kan?"

"Namanya siapa?"

"Deden, dia sudah menikah tetapi  sudah ke Yogya,  kabarnya dia malah dekat dengan kerabatku yang tinggal di sana."

"Mau ke Yogya juga?"

"Ingin! Sok atuh! Kita jadwalkan!" Widy kembali memperlihatkan senyumnya yang lucu. 

Yang punya kost di Cikini, namanya Bu Yuni Rahmi  menyambut  Syafri menggandeng Widy. "Ayo masuk, kamar untuk dik Syafri dan Dik Widy untuk sudah ada. Kamar Syafri dulu di lantai atas. Aldo! Bantuin bawain tas mereka!"

Seorang pemuda berumur 15 tahun masih mengenakan seragam sekolah datang dan tersenyum melihat Syafri. "Bang Syafri, ya? Aku Aldo yang dulu main layangan bersama?"

Syafri memeluk anak muda itu.  "Kamu badannya jadi besar begini. Dulu mah kamu kecil kurus."

"Iya, makan terus," kata Yuni Rahmi. "Subur seperti aku!  Tetapi bapaknya tetap kurus!"

Widy meliihat kamar untuk dia dan Syafri di lantai dua.  Minimalis hanya ada tempat tidur untuk dua orang, lemari dan meja serta dua kursi.  Keduanya membereskan pakaian setelah Aldo keluar.

"Kamu mandi dulu Sayang! Syafri memberikan handuk buat Widy. "Kamar mandinya masih di lantai ini.  Orang-orang masih belum pulang kerja atau kuliah."

Widy mengangguk.  Dia menerima handuk itu.   Setelah  mandi mereka menqasar salat zuhur dan asar

"Kamu mau nonton nggak di Metropole? Habis makan?"

"Aku yang bayar ya? Masa kamu terus!"  ucap Widy. "Aku juga punya gaji dari mengajar?"

Syafri mengangguk.

Tak lama kemudian pasangan itu sudah naik becak ke arah Gondangdia.  Berapa warga Cikini mengawasi mereka. "Suami-istri itu kayak orang belum pernah pacaran saja? Pegang-pegangan?" ucap seorang pemuda bernama Otong. "Makanya waktu pacarana pegang-pegangan!"

"Luh  mau begitu!  Luh mau pegang-pegangan dulu sebelum menikah, cium-cium, lalu pas sudah menikah malah menjauh, kemudian cari istri lain? Gue kemplang luh, Tong!" kata seorang tua.

"Anak muda kan Be! Kemarin gue jalan sama die?"

'He yang luh makusd, Nisa anak  Manggarai itu nggak luh apa-apain, kan?" sindir Yuni. "Nggak  luh pegang-pegang atau baru pegang-pegangan?"

Otong hanya bisa nyengir melihat Babenya melotot. "Nisa, anaknya Haji Yusuf, Teman Gue Tuh! Luh kenalan di kondangan Haji  Bahri kan?"

"Kan kayak di pilem-pilem Be?"

Yuni Rahmi berbisik pada laki-laki tua itu. "Itu yang aku takutkan kalau anak tanggung dilepas nonton fim Barat yang ada adegan orang pacaran."

"Pilem, pilem,  Luh, selesain sekolah luh dulu. Belajar yang baek! Lagian Nisa masih SMP.  Luh juga belum kerja tetap! Kalau sudah kerja baru luh mikir  macem-macem.  Tapi  tungguin Nisa selesai sekolah dulu!"

Bu Yuni kemudian masuk ke rumahnya, diikuti orang-orang yang tadinya menonton.

Warung Soto Haji Mar'uf ke Metropole, 1957

 

"Isi sotonya  penuh.  Ada potongan paru sapi, daging sapi, usus dan kuah santan dan babat,"  terang Syafro  kemudian menyeruput nasi dan soto.

"Hangat! Kuahnya santan kental mungkin ada rasa susu!"

"Itu yang khas dia. Itu yang buat warung soto ini beda."

Kemudian salah seorang anak buah Haji Ma'ruf membawakan seporsi sate kambing.

"Ya, Akang, panas nih badan?" kata Widy. "Malam makan nasi sayur saja ya?"

"Iya, sahabat hidupku!"

Setelah makan mereka kembali menyewa becak ke metropole.  Beberapa anak muda mengawasi mereka sambil bersuit-suit.  Mereka bercelana cowboy.  Namun seorang militer mengusir mereka agar tidak menganggu penonton.

 "Crossboy juga ada di sini?" gerutu Widy. 

"Aku khawatir militer yang diminta menangani mereka kalau polisi tidak mereka takuti lagi. Saat ini suasana politik panas."

"Kang Herland juga bilang begitu.  Kalau soal crossboy ini sampai ke telinga Bung Karno."

Setelah menonton, matahari mulai turun. Keduanya malah berjalan kaki ke Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit Umum Pusat. 

"Ini kampus tertua di Indonesia, cikal bakal pergerakan nasional. Juga rumah sakitnya," jelas Syafri. "Dulu namanya CBZ. Sejak awal bersatu dengan Stovia sebagai tempat praktik anak-anak kedokteran."

"Kalau Akang dulu kuliahnya?"

"Aku kuliahnya  kadang di Merdeka Selatan, kadang di Jalan Diponegoro. Dengar-dengar nanti Fakultas Sastra di Rawamangun."

Mereka memasuki gedung kedokteran.  Salah seorang dokter mengenali Syafri. Badannya gemuk.

"Bang Thamrin?"

"Syafri, lama tak jumpa,ini siapa?"

"Istriku Widy!"

Dia baru pulang praktik.  Mereka minum kopi di kantin kampus dan mengobrol soal nostalgia waktu plonco. Malah kemudian Thamrin mengantar mereka ke kost. "Aku mau menikah habis lebaran, sama  Nur Aisyah, adik kelasmu itu?"

"Selamat ya! Aku di Bandung bersama Widy. Dia malah mau kuliah di Unpad?"

"Oh, ya, begitu harusnya perempuan maju walau sudah berumah tangga. Kamu manfaatkan itu Widy, suamimu memberi kesempatan. Aku malah menunggu istriku lulus sarjana dulu."

Oto sedan Thamrin kemudian meninggalkan mereka di pintu rumah kost.  Dia bahkan memberikan alamatnya pada Syafri. "Kalau butuh sesuatu di Jakarta hubungi aku?"

Syafri mengangguk. 

"Teman-teman kamu di Jakarta juga orang-orang yang menghormati perempuan, Kang?"

"Rata-rata anak UI begitu kok. Ayo masuk  sayang, kita istirahat dulu."

"Aku cari nasi dan sayur dulu buat makan malam kita!"

Desa Pentingsari, 8 Agustus 2014

Desa Pentingsari, desa wisata  yang terletak di perjalanan antara Kota Yogyakarta dan Kaliurang.  Naik angkot turun di Pakem, lalu naik ojek langsung ke Sekretariat di rumahnya Pak Sumadi, kepala desanya. Usianya sudah 84 tahun.

"Dulu waktu saya kecil pada 1930-an  tidak banyak  kepala keluarga yang mendiami desa ini. Hanya ada lima belas.  Sekarang sudah didiami 266 kepala keluarga. Dari jumlah itu 73 kepala keluarga bersedia menyediakan kamarnya untuk homestay," ungkap Pak Sumadi.

Desa Pentingsari jadi desa wisata sejak 2008 untuk memberikan tambahan buat penduduk. Awalnya hanya Rp75.000 kini Rp100.00. Dari jumlah itu  45% kembali ke tamu berupa 3 kali makan dan snack. Rp5-10 ribu rupiah ke kas desa dan sisanya untuk pemilik. Satu rumah ada yang mempunyai 2 kamar untuk homestay.  Ada juga yang 8 kamar.  Kapasitas bermacam-amcam ada bisa satu orang namun ada juga yang empat orang.  

Di rumah Pak Sumadi banyak ornamen wayang orang.  Tandanya dia menguasai kebudayaan Jawa dan kearifan lokal. Rumahnya punya 4 kamar dan dia punya 4 anak serta tiga cucu.

"Ada delapan objek di sini, di antaranya situs peninggalan Sunan Kalijaga. Wisatawan juga dapat belajar membatik, membajak sawah hingga membuat janur.  Sejak 2008 hingga Juli 2024  sudah 87 ribu orang menginap di Desa Pentingsari," terang Pak Sumadi.

Aku juga ditemani oleh Darto Yugantoro, pemuda karang taruna setempat.  Dia juga cerita bahwa dalam setahun wisata memberikan penghasilan sebesar Rp600 juta pada desa. Jumlahnya kecil.

Desa Pentingsari masih memelihara rumah-rumah khas desa Jawa, termasuk rumah joglo  diberinama unik seperti Senthong Mbah Karyo, Aula Simbhok  untuk tempat rapat.  "Kami juga pernah menyelenggarakan pesta kebun dan ada lapangan futsal untuk outbound," papar Darto.

Aku menikmati hidangan sederhana sayur lodeh Jawa dengan abon sapi. Rasanya legit kemudian salat Jumat hanya dihadiri sekitar 50 orang dan menempati 60 persen luas masjid.

Darto mengantarkan aku melihat tempat aliran lahar dingin  yang dulu sawah. Pada 2010 sawah ini musnah karena terjangan lahar. 

Aku bersyukur Pemprov Yogyakarta mampu menghadirkan desa wisata sebagai counter culture penginapan hotel-hotel mewah, alternatif untuk wisatawan backpacker seperti aku.

Aku pulang menjelang Asar dengan ojek yang aku carter ke desa ini. Bayarannya nggak mahal hanya Rp15 ribu sekali antar, jadi Rp30 ribu pulang pergi ke halte Trans Yogyakarta.

Di dalam bus ada dua  cewek bule Prancis yang mencoba mencari informasi.

"Voulez Vous francaise?" kata salah seorang cewek.

"Oui, C'est Moi, que Je Fais pour Vous  mademoiselle," kataku dengan bahasa Prancis sebisanya.

Dia minta informasi soal wisata di kota.  Saya bilang banyak berpusat di seputar Malioboro hingga Kraton.  Tetapi kalau di luar Yogyakarta.

"C'est formidable!" seruku.

Aku kembali ke Malioboro dan melihat Hotel Mutiara tempat aku menginap dengan keluargaku awal 1980-an.  Lalu aku mencari losmen murah Famili.

Serelah salat ke Wijilan, untuk liputan kuliner gudeg sekaligus memenuhi janji dengan Ayu, Gendis dan Harbowo.  Aku datang lebih dulu ke tempat Bu Ami dan sempat wawancara sebelum ketiganya datang. Tentunya membeli seporsi gudegnya rasahnya gurih pada setiap gigitan.

Hanya lima belas menit kemudian ketiganya datang.  "Ndak nunggu lama kan Mas?" cetus Ayu.

"Sudah bikin laporan buat "R"?" tanyaku.

"Sudah dong Mas, aku bilang normal dan tidak nakal."

Aku tergelak. "Nakal bagaimana waktu aku di Yogyakarta hanya tiga malam empat hari, untuk mengcover banyak tempat wisata."

Gendis  kemudian bercerita tentang Widy yang gemar berpetualang. Sudah menikah makin menjadi bersama suaminya.  Gendis ingin minta bantuan aku mencari spot-spot yang mereka pernah kunjungi.

Gendis mengangguk.  "Sayang aku nggak pernah bertemu Tanteku itu. Tetapi ceritanya menarik kok? Bisa melengkapi riset Mas tentang Bandung, kota yang romantis untuk berdansa?"

"Kamu pernah berdansa di Bandung?"

"Kami bertiga pernah menyaksikan konser musik di Kampoeng Jazz, Saung Udjo? Dansa aku pernah!" teriak Gendis. "Sama mahasiswa ITB pacar kakakku, sampai dia cemburu."

"Tahun depan ketemu di Kampoeng Jazz, Unpad yuk?"

"Insha Allah!" kata Gendis. "Mau dengerin cerita soal Widy."

Aku mengangguk.

Harmoni, Kota, Sunda Kelapa,  21 Maret 1957

"Widy! Ternyata Glodok itu lebih padat dibanding ketika aku kuliah," kata Syafri sambil menunjuk bangunan-bangunan pecinan dari trem."Kamu lihat becak dan oto sama padatnya."

"Woow!" ucap dia. "Bandung lebih sepi!"

"Kita ke Balai Kota peninggalan Belanda dulu. Lalu ke pasar ikan."

Mereka turun  dan melihat suasana glodok  hingga balai kota.  "Jadi di sinilah Batavia dulu," terang Syafri.

"Cuma panas, apa bule-bule itu nggak punya ide memindahkan ibu kota ka Bandung," celetuk Widy.

"Mungkin.  Aku tidak tahu. Tetapi malah 1957 ini wartawan dengar Wali Kota Enoch pernah menyinggung hal itu."

Syafri baru menyadari istrinya memakai celana pendek berkantung banyak, mengenakan kaos dan ransel, serta topi, serta hanya memakai sepatu pentopel tanpa kaos kaki. Dia sendiri bercelana panjang.  Beberapa mata laki-laki melihat dengan pandangan nakal ketika mereka mengunjungi balai kota. Tetapi Syafri segera menariknya.

Gezicht op het Glodokplein, Djakarta -- 1957  Bintoro Hoepoedio.  https://id.pinterest.com/pin/475552041910265468/ 
Gezicht op het Glodokplein, Djakarta -- 1957  Bintoro Hoepoedio.  https://id.pinterest.com/pin/475552041910265468/ 

"Kenapa Kang? Cemburu pada laki-laki  itu?  Mata Kang Syafri juga jangan begitu atuuh! Panas!"

"Nah, itu baru seru!  Biar saja Jakarta jadi kota perdagangan. Pemerintahan di Bandung. Konstituante juga di situ?"

"Yang nggak beres-beres kerjanya. Tetapi Menyusun undang-undang untuk semua pihak tidak mudah, " ucap Syafri. "Pemilu kamu tidak memilih?"

"Belum cukup umur Kang Syafri, waktu aku  belum 17 tahun.  Kang Syafri memilih partai apa? Masyumi?" tebaknya.

"Nggak, aku PSI."

"Oh, ya Bang Hanief, sepupu Kang Syafri."

"Dia kan mengundang kita menginap di Menteng  malam nanti.  Keluarga aku di Jakarta berkumpul."

"Oh, aku hampir lupa!  Siang makan di Bakmi Gang Kelinci?"

"Nggak jadi di Glodok?   Aku saja sudah lupa tempat itu!. Wah, kamu pernah dengar?"

"Tentu, Maria pernah makan di sana, daerah Pasar Baru.

"Sekalian lihat Pasar Baru."

"Habis dari Sunda Kelapa."

Syafri berdebar, karena dia khawatir ada yang jahil seperti waktu di Balai Kota. Tetapi ternyata tidak. Sunda Kelapa dijaga beberapa tentara.  Bahkan ketika tahu mereka wisatawan dan Widy menyebut nama Herland, dari Siliwangi, serta Syafri menyebut Letnan Zainal  ada tentara mengantar mereka melihat kapal pinisi. Rupanya ada yang kenal.

"Wah, Letnan Herland dan aku pernah bersama aku ke Makassar waktu Kahar Mudzakkar mulai memberontak," ujar serdadu muda itu yang menyebut dirinya Sersan Abdul.

"Pinisi, perahu nenek moyang kita," kata Widy.

"Anjeun tahu," kata Syafri.

"Tahu  Kang Syafri,  Aku juga ingin menjelajah lautan."

"Ialah, kita coba dulu  ke Pulau Seribu. Tapi untung-untungan untuk dapat kapal pulang balik?"

"Kita menginap semalam ya?" pinta Widy.

"Iyaa..iyaa..! Tapi kasih  tahu Uda Hanief. Jadi kalau kita tidak kembali besoknya. Mereka bisa kirim bantuan (Bersambung)

Irvan Sjafari 

Foto 1:  Kredit: Irvan Sjafari

Foto: 2

Gezicht op het Glodokplein, Djakarta -- 1957  Bintoro Hoepoedio.  https://id.pinterest.com/pin/475552041910265468/  

Pemandangan jalan di Glodok, Jakarta, 1957

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun