"Widy. Ibu aku cerita dia memang  suka keluyuran.  Berani berpergian sendirian.  Dia anaknya Yahut! Dia termasuk terlalu maju di zamannya,"
"Terima kasih, sampai jumpa. Aku mungkin ke Gudeg Wijilan sore."
"Oke, kami ke sana. Pesan "R", jangan jadi wartawan nakal ya! Â Orang sini guyub tinggi loh, mas!"
Itu maksudnya "R".  Memantau apakah aku tergolong wartawan nakal atau tidak.  Buruk sekali citra wartawan di mata dia. Seolah-olah sambil meliput sambil "berpetualang".  Kami berpisah. Aku pun masuk kamar beristirahat sebentar.
Baru aku melangkah.  Ayu berbisik: "R" bilang nakalnya kalau Mas sudah menikah  saja!"
"Nah, kan?"
Â
Cikini, Â Jakarta, 20 Maret 1957
"Widy!  Bangun! Kereta sudah tiba di Jatinegara. Kita ke harus segera ke Cikini  sebelum sore.  Kita menginap di tempat kost  aku dulu!  Aku sudah kirim surat ke mereka menyediakan kamar untuk kita!" Syafri membangunkan istrinya.
Widy menggeliat. Dia tertidur. Rupanya mengendarai motor gandeng keliling Bandung kemarin melelahkan. Â Tubuhnya berpeluh karena Jakarta panas.
"Kita naik kereta di jalan itu, trem kan?" tanya Widy menunjuk sebuah kereta di jalan.