Desa Pentingsari masih memelihara rumah-rumah khas desa Jawa, termasuk rumah joglo  diberinama unik seperti Senthong Mbah Karyo, Aula Simbhok  untuk tempat rapat.  "Kami juga pernah menyelenggarakan pesta kebun dan ada lapangan futsal untuk outbound," papar Darto.
Aku menikmati hidangan sederhana sayur lodeh Jawa dengan abon sapi. Rasanya legit kemudian salat Jumat hanya dihadiri sekitar 50 orang dan menempati 60 persen luas masjid.
Darto mengantarkan aku melihat tempat aliran lahar dingin  yang dulu sawah. Pada 2010 sawah ini musnah karena terjangan lahar.Â
Aku bersyukur Pemprov Yogyakarta mampu menghadirkan desa wisata sebagai counter culture penginapan hotel-hotel mewah, alternatif untuk wisatawan backpacker seperti aku.
Aku pulang menjelang Asar dengan ojek yang aku carter ke desa ini. Bayarannya nggak mahal hanya Rp15 ribu sekali antar, jadi Rp30 ribu pulang pergi ke halte Trans Yogyakarta.
Di dalam bus ada dua  cewek bule Prancis yang mencoba mencari informasi.
"Voulez Vous francaise?" kata salah seorang cewek.
"Oui, C'est Moi, que Je Fais pour Vous  mademoiselle," kataku dengan bahasa Prancis sebisanya.
Dia minta informasi soal wisata di kota. Â Saya bilang banyak berpusat di seputar Malioboro hingga Kraton. Â Tetapi kalau di luar Yogyakarta.
"C'est formidable!" seruku.
Aku kembali ke Malioboro dan melihat Hotel Mutiara tempat aku menginap dengan keluargaku awal 1980-an. Â Lalu aku mencari losmen murah Famili.