Dua :Â Petaka Pulau Cendani
Wisma Pitung terletak di pinggir laut. Konon didesain sesuai aslinya sewaktu masih ada di Bumi. Hanya saja ukuran bangunan rumah panggung dari kayu ini lebih besar 80 x 10 meter, sementara aslinya 40 x 6 meter. Nyaris dua kali lipat. Salah satu tempat penginapan bagi tamu antar pulau yang jaraknya jauh dari Tanjung Jakarta. Di situ ada dermaga. Ada berapa kapal bersendar.
Bagus satu kamar dengan istrinya Purbaendah. Raya bersahabat sahabatnya Cynthia di kamar kedua, Mak Eti, dan Maurizia di kamar ketiga, Serda Reda, Letnan Robin dan Made dalam satu kamar, Jumhana dan Baraya karena merasa tentara satu kamar dengan Kapten Daud. Tidur di lantai tidak mengapa, asal ramai-ramai. Bahkan ada yang tidur di balkon dengan kasur dengan angin laut. Aku Kanaya tetap dengan  Yura, tentunya dan Kang Atep Firman menggerutu dia tidur sendiri.Â
Pada waktu makan malam kami melihat bulan yang cukup besar, namun masih tiga perempat. Kata Kak Raya, ukuran bulan lebih besar dari yang jadi satelit bumi, tapi jaraknya jauh. Â Namun tetap berpengaruh pada pasang surut lau, terutama saat purnama. Kami makan malam di pantai. Otoritas menyuguhkan hiburan musik kroncong dengan lima musisi. Selain kami Kak Cynthia dan Kapten Daud, ada enam tamu lain.
Di antaranya seorang yang mengaku dari planet Kuantum  X, koloni manusia yang dipelopori Jepang dan ada sebagian orang Indonesia yang ikut. Dinamakan Kuantum, karena dalam satu gugus Kuantum yang terdiri dari 20 planet, tapi hanya dua yang bisa dihuni, yaitu ke 10 dan 20. Jepang dan Indonesia bekerja sama meneliti kedua planet ini dulu. Â
Hanya saja kebanyakan orang Indonesia lebih tertarik mendiami planet yang didominasi air laut, sementara orang Jepang yang banyak daratan pegunungan dengan jutaan danau kecil dan sungai yang mengalir ke satu-satunya lautan.Â
Nama duta ini Kunihiro Yamashita. Dia diutus berapa minggu lalu karena hasil jerih payah Raya dan timnya sepuluh tahun silam. Walau sama-sama berangkat bersama, tapi baru berapa tahun terakhir ini saling mengunjungi.Â
Kunihiro ini berusia 25 tahun, seorang insinyur yang tinggal di kota yang menamakan dirinya Harajuku. Pendirinya dulu memisahkan dari sembilan koloni lainnya, membuat kota kecil dengan spesialisasi seni. Pusat kotanya Tokyo Hawei, artinya Tokyo yang damai.
Kunihiro dan Atep cepat karib karena menurut Atep ada nama pemain Persib menurut perpustakaan bernama itu. Klop, Kunihiro ini suka sepak bola. Akhirnya mereka satu kamar bertukar cerita soal sepak bola di planet masing-masing.
Kunihiro juga menyapa Yura karena wajahnya mirip Jepang. Yura bercerita moyangnya ada yang ikut eksodus ke Kuantum 10 bernama Keiko. Entah apa keturunannya. Akhirnya Kak Raya setuju menjadikan Kuantum X sebagai kunjungan berikutnya.
Kunihiro ditemani oleh duta lainnya bernama Sari Okano, sekitar 30 tahun. Ahli budaya dan seni. Dia blasteran Jepang Indonesia turun temurun. Akhirnya kami ngobrol sampai pukul 10 malam sambil menikmati ikan bakar.
Cynthia cerita tentang suaminya bernama Octa Saputra, bertugas di perkebunan karet di selatan Pulau Pelopor. Dia punya dua anak yang kini berusia 5 tahun dan 3 tahun. Mereka tinggal di Selatan Tanjung Jakarta, sebuah Blok yang disebut Mukim 48.
Catatanku tertanggal 23 April 2445, pagi hari. Tapi penanggalan Kuantum XX yang aku baca di surat kabar, hari ini tertanggal 18 Juni tahun 287. Lebih tua dari koloni di Titanium? Ketika aku tanya ke Kak Raya dia jawab, karena satu hari di Titanium itu 30 jam, jadi satu tahunnya sama dengan 450 hari Bumi dan agak sama dengan di Kuantum XX. Selain itu waktu relatif di Titanium.
Di Intersellar waktu menjadi anomali. Raya berusaha menselaraskannya. Dia juga tidak ingin melompat waktu terlalu jauh. Aku pun juga. Kali ini beruntung masih menemui orang-orang yang dikenalnya.
"Kak Kanaya, mau ikut kapal layar atau sepedaan di laut?" Yura menyadarkan sahabatnya, yang asyik menulis di tabletnya.Â
"Sepedaan atuuh!. Ini kesempatan nyoba sepedaan di air," cetus Kanaya sambil mematikan tablet virtualnya dan meninggalkan surat kabar yang didapatnya di lobi. Surat kabar di meja balkon ini dilirik Bagus.
Bagus membaca surat kabar "Koridor  Nusantara" dengan takjub. "Masih sempat bikin cetak di zaman seperti ini?" celetuknya.
"Suratkabar itu kunaon?" tanya Purbaendah.
"Terbit seminggu sekali sejak koloni ini ada dua ratus tahun lalu. Kami punya sejenis kayu besar di sebuah pulau yang tentunya harus dikontrol," jawab Raya. "Seperti yang kau ceritakan soal surat kabar Inilah Preanger, berita kegiatan manusia dari satu koloni ke koloni lain. Kecuali soal siren dan penyelundup itu lebih heboh dari soal mahluk Bolo," terang Raya.
Lalu dia menoleh ke Purbaendah. "Kayak Kanaya menulis diary-nya, sesuai fakta bukan ngarang. Tulisan di media lebih banyak dan lebih selektif apa yang penting bagi orang banyak dan lebih akurat."
Kanaya merah mukanya. Rupanya Raya berapa kali mengintip dia menulis diarynya.
Kapten Daud sudah menyiapkan sebuah kapal pinisi. Mak Eti lebih suka di pantai. Yang naik kapal Raya, Bagus, Purbaendah, Atep, Kunihiro, Sari Okano, dua pengawal Purbaendah, Subarja dan Jumhana menunggu di pantai dan tidak ikut.
Dari Manuk Dadali yang ikut hanya Serda Reda, sementara Robin dan Made lebih suka menunggu di pantai. Sejumlah pelaut dan tentara ikut di kapal itu, juga ada beberapa penumpang warga Tanjung Jakarta.
Sementara Kanaya, Yura dan Maurizia bersepedaan di atas air mengiringi kapal pinisi. Kecepatannya diatur sama dengan kecepatan pinisi. Mereka menuju pulau Cendani berbentuk C yang menjadi pelindung bagian utara pulau Pelopor. Jaraknya sekitar 80 kilometer dari tepi Tanjung Jakarta.
"Tiga cewek itu benar-benar nggak ada takutnya. Untung gelombang di sini ringan. Tapi sepeda itu temuan yang hebat dari kalian, bisa jalan di atas air," puji Cynthia.
"Bukan itu saja, nanti kalian lihat sendiri," kata Bagus.
"Inikah laut itu?" tanya Purbaendah. "Aku pernah dengar lagu dari sebuah bangunan di Kabandungan. Nenek Moyangku orang pelaut. Aku hapal lagunya?"
"Kirain Manuk Dadali saja?"
Lalu Purbaendah bernyanyi, yang membuat para awak hormat. Bagus pun bangga. Kemudian Raya dan Cynthia mengikuti bernyanyi.
Nenek moyangku seorang pelaut/ Gemar mengarung luas samudera/menerjang ombak. Tiada takut/menempuh badai sudah biasa/ angin bertiup/layar terkembang/ombak berdebur di tepi pantai/pemuda berani/bangkit sekarang/ke laut kita beramai-ramai.
"Perempuan gunung yang ingin kenal laut," puji Bagus.
"Tapi mereka yang punya bakat untuk itu?" tunjuk Daud pada tiga perempuan yang begitu stabil bersepedaan air.
Kanaya, Yura dan Zia stabil mengemudikan sepeda bertenaga baterai matahari ini. Zia mengenakan hijab yang dibuat khusus untuk air juga membawa ransel kedap air untuk pakaian ganti. Begitu juga Kanaya dan Yura membiarkan baju mereka basah, dan mereka juga bawa baju ganti di dalam ransel.
Tanpa terasa sudah sejam mereka di laut, tetapi Pulau Cendani makin jelas di mata.
"Muke gile, tiga cewek itu nggak ada capek-capeknya," kata pelaut bernama Firdaus.
"Mempertahanan dialek Betawi?" ujar Bagus.
"Ialah memelihara tradisi," kata Firdaus.
Nahkoda kapal pinisi namanya Tubagus Ismail turun dari tempatnya menunjuk sesuatu yang tak jauh dari kapal kepada Kapten Daud.
Bagus, Purbaendah, Raya, Cynthia yang juga ada di dek ikut terperangah. Pecahan kayu bertebaran di laut. Juga tiang sebuah pinisi.
"Astagfirullah, ada apa ini?"
Tampak seorang anak laki-laki berusia enam atau tujuh tahun memegang pecahan kayu cukup besar agar terapung dengan ketakutan. Bukan karena hanya sekadar takut di laut, tetapi ada sesuatu yang mengejarnya.
Beberapa mahluk berbentuk ular berwarna hitam bertotol putih dengan tiga sirip di setiap sisi dan ekor mirip ikan sepanjang tujuh meter meter dengan diameter 50 hingga 70 cm. Ikan itu melompat di atas air menuju anak itu.
Seorang pria dari kapal pecah itu berdiri di atas papan, tetapi belum sempat dia mengukuhkan pijakannya, mahluk itu meloncat menyambarnya. Begitu jatuh dikunyah ramai-ramai. Air laut berwarna merah, tanda sudah banyak dimangsa.
Zia dengan cepat menangkap anak itu dan dinaikan ke sepedanya dan dia menghidupkan perisai tepat ketika moncong mahluk itu akan memangsa. Akibatnya mahluk itu terpental dan pada saat terpental Kanaya menembakan lontaran high voltase tepat ketika mahluk itu melompat dari air hendak menyerang Zia dan anak itu hingga mahluk itu terkoyak di bagian kepala dan moncongnya. Darahnya hijau berhamburan.
Sepeda ini kini melayang dan Zia mendarat di dek pinisi. Perisai dimatikan.
"Itu kalau mereka beraksi," kata Bagus pada Kapten Daud yang terpukau.
"Mahluk itu kami sebut Yu Sanca, jarang kemari. Apalagi dalam kawanan. Habitat mereka lebih banyak di utara dan juga ada di dekat Kepulauan QQ."
Awak kapal dan tentara menembakan sinar merah kepada Yu Sanca lainnya. Satu kena menggelepar di air dan kemudian mengapung mati dengan tubuh hangus. Tapi yang satu melompat ingin memangsa Raya yang terbengong. Tetapi Purbaendah mengeluarkan cambuk apinya dan mahluk itu terbelah dua.
"Wah, dia punya senjata itu?" tanya Kapten Daud pada Raya.
"Aku yang memberikan. Aku tidak menyesalinya, terutama setelah kejadian ini."
Para pelaut menendang potongan mahluk itu kembali ke laut dan membersihkan darah kental yang baunya menjijikan.
Anak laki-laki masih dipelukan Zia. Bajunya basah kuyub. Dia tampaknya sudah lama di laut.
Sementara Yura dan Kanaya menembakan senjata serentak ke Yu Sanca ke empat dan mahluk itu juga hancur terkoyak di atas udara hingga jadi serpihan, kepala dan bagian tengah badannya. Seorang pelaut membidikan harpun dan Yu Sanca kelima juga mati.
Meriam paser merah yang dipasang di haluan kapal menembak satu mahluk lagi dan mengusir yang lain. Sementara Yura dan Kanaya melukai satu lagi ketika hendak menyerang mereka dari dalam air dan mahluk itu sempat berlari dengan darah berceceran.
"Setiap pinisi punya senjata, karena ada sejumlah mahluk buas di lautan ini. Tetapi bukan mahluk-mahluk yang menghancurkan pinisi. Yu Sanca datang karena mencium makanan," kata Tubagus Ismail.
"Jadi apa?" tanya Raya.
"Seperti ada yang menembak dengan meriam paser ke badan kapala atau menembakan torpedo. Bisa jadi dari bawah laut, bisa dari udara. Kalau dari kapal bisa saja atau ada yang meledakan dari dalam," ujar Ismail.
"Anak itu tidak bisa ditanyakan sekarang. Dia masih ketakutan. Lihat dia nggak lepas dari Zia," ucap Raya.
"Tunggu mendarat dulu di Dermaga Bantam, ada pemukiman manusia yang berpenduduk sekitar 500 jiwa tak jauh dari situ," kata Kapten Daud.
Pinisi merapat di Dermaga sekitar pukul sembilan pagi. Sepanjang sisi pantai di Barat dan Timur Dermaga dibatasi oleh tanggul yang cukup tinggi dan tebal. Tanda air di sana dalam dan bukan untuk berenang. Suasana dermaga tampak sepi.
"Biasanya warga menyambut kapal yang datang, sekalipun hari ini hari kerja," kata Kapten Daud.
Dia meminta para tamunya ada di belakangnya bersama dua belas tentara menggunakan senjata seperti senapan laras panjang. Bagus mengeluarkan pistol high voltasenya, begitu juga dengan Serda Reda dan Raya siap dengan senjata high voltase.
Bocah yang diselamatkan Zia untuk sementara mengenakan selimut yang dibawa Zia di ranselnya. Bajunya basah ditinggalkan ditanggul. Dia membonceng sepeda Zia dan memeluknya erat-erat.
"Nama kamu siapa?" sapa Zia. "Aku Zia."
"Farid..." jawabnya pelan, masih shock.
Kanaya dan Yura juga menggunakan sepedanya menelusuri jalan yang dibuat dari kayu dengan pasir di sisinya terdapat banyak pohon kelapa. Purbaendah juga menyiapkan cambuk apinya.
"Kalau ada masalah seharusnya mereka kasih tahu? Ada stasiun Radio di sini dan menara pemancar?" ucap Kapten Daud. "Berarti bukan kapal tadi saja diserang. Pantas tak ada bantuan."
Dia menunjuk menara pengawas yang tingginya lima meter dan ada orang yang hangus di atas.
"Wah, itu perbuatan manusia juga, tetapi juga bisa alien," tambah Kapten Daud.
Kunihiro dan Sari Okano mengeluarkan pedang katananya. Raya melihatnya. Tadinya hanya seperti tongkat sepanjang satu meter. Tetapi setelah memencet satu tombol keluar logam yang  berpijar di pinggirnya juga sepanjang satu meter. Pijaran berwarna kuning keputihan itu bersuhu ribuan derajat celcius hingga bisa menebas logam setebal apa pun.
"Itu senjata kalian ya?" tanya Atep.
"Mempertahankan tradisi," jawab Sari pendek.
Satu robot Lutung Kasarung juga bersiap dengan senjata high voltase yang disandangnya. Bagus memerintahkannya memanjat pohon kelapa dan memberi peta virtual situasi sekitar dermaga. Robot itu memanjat dan peta tersaji. Ada sejumlah manusia digambarkan dengan biru dikejar tiga sosok yang ditandai dengan cahaya merah.
"Terima kasih kawan. Biru manusia ya? Yang merah bukan, pasti?"
Mereka menyebar di antara pohon-pohon kelapa. Tak berapa lama kemudian belasan warga berlarian menuju mereka. Ada ibu yang menggendong anak.
"Pak, ada mahluk jahat di belakang. Mereka sudah membunuh tiga warga," teriak seorang ibu.
Di belakang warga tiga mahluk berwarna oranye keputihan seperti udang, tetapi memiliki sepuluh kaki dan mulut lebar dengan dua capit di samping kepalanya. Bagian dada dan kepala mahluk beruas lima itu bisa tegak setinggi tiga meter.
Kunihoro yang ada di depan mampu menebas satu kaki yang berfungsi sebagai tangan sedang memegang seorang bayi untuk diberi ke capitnya. Kaki itu putus ketika pedang itu melewatinya, sepertinya mentega terkena besi panas.Â
Dari potongan itu cairan kental hijau tua muncrat . Bayi itu jatuh disambar oleh Kanaya sambil menembakan pistol high voltasenya ke dagu mahluk itu yang membuatnya tersentak. Lalu Kanaya menjauh dan memberikan bayi itu pada seorang ibu yang memang kehilangannya.
"Terima kasih," ucap ibu itu.
Tembakan Kanaya membuat lubang di dagu dan cairan hijau berceceran. Kulitnya kelihatannya tebal hingga dia tidak mati, tetapi tembakan itu membuat luka. Mahluk itu berteriak mengerikan dan mencoba mencapit Kunihiro, tetapi Atep menembak tepat di mulutnya dan cairan kental hijau menyembur mengenai pohon kelapa.
Mahluk itu menghantamkan ekornya berbentuk tiga tanduk runcing membuat Kunihiro terlempar, tapi masih memegang katananya. Dan menghujamkannya di bagian ekor dan mengeluarkan lagi. Bagian ekornya berlubang dari atas hingga bawah. Mahluk itu kesakitan bergerak liar dan menghantam pohon kelapa hingga tumbang.
Yura menembak tepat di lehernya dan membuat lubang, mahluk itu belum mati juga, dia jatuh menggelepar dan Kunihoro melompat ke atas kepalanya dan menghujamkan katananya. Mahluk itu mati dengan jeritan keras.
Sementara mahluk kedua menewaskan seorang tentara dengan capitnya yang keras. Tembakan peluru yang didorong api membuat banyak luka ditubuhnya. Purbaendah dengan berani mencambuk apinya dan satu capit putus dengan cairan kental hijau keluar dan sebuah matanya pecah.
Seorang tentara terlempar ke pohon kelapa. Tangannya patah karena mahluk itu meronta. Yura dan Zia serentak menembak dan masing-masing membuat satu kaki putus. Bagus menembakan high voltase ke mulut mahluk itu bertubi-tubi dan kepalanya hancur dengan cairan hijau berhamburan. Mahluk kedua mati.
Mahluk ketiga ditembak bertubi-tubi oleh Serda Reda, Kapten Daud dan sejumlah tentara dan Robot Lutung Kasarung dari atas pohon. Mendapat tembakan gencar mahluk itu kewalahan dan akhirnya mati karena terlalu banyak luka. Cairan hijau membasahi pasir dan sejumlah pohon kelapa.
"Kalian beri nama apa mahluk ini? Yu Kangkang atau Yu Lobster?" celetuk Bagus.
"Entahlah, belum pernah bertemu mahluk ini. Sepertinya mereka dari tempat yang belum dijamah manusia dan kemari karena sesuatu," ujar Kapten Daud. "Kamu mau makan dagingnya?"
"Hatur nuhun, enakan cilok," kata Bagus.
Prajurit yang gugur diangkut dan ditutup dengan selimut. Yang tangannya patah diberi bidai, yang dibungkus gips yang dikeluarkan dari sebuah tabung oleh tenaga medis.
"Dari mana mahluk itu?" tanya Kapten Daud pada pemuka pemukiman.
"Dari hutan kelapa utara. Ada orang-orang yang bukan warga kami dan warga Tanjung Jakarta membuat kegiatan di tambak delapan kilometer dari sini. Tiga di antaranya kulit putih," kata Wak Syafei.
Sementara Zia mengganti baju Farid dari baju yang sepantarannya di pemukiman itu.
"Ooi, nggak di Bumi, nggak di planet lain, ada pengacau bule," Raya gusar.
"Mungkin nggak, ada manusia dari koloni lain sudah kontak dengan manusia di Kuantum XX dan itu berhubungan dengan Ikan QQ. Ini komplotan besar, ada pengusaha di Nusantara yang menemukan pasar?" tanya Bagus.
"Cakep pertanyaannya, kalau Kuantum X saja bisa, mengapa tidak dari koloni planet lain?" ujar Kapten Daud.
"Siapa pemilik tambak itu?" tanya Raya pada Cynthia.
"Joshua Kwik dan pertnernya Badillah Usman. Mereka punya kapal untuk mengangkut bibit dari ikan QQ dan membudidayakannya di tambak itu. Legal," jawab Cynthia.
"Seminggu lalu Pak kwik dan Pak Badillah masih bertemu kami. Dia memperkenalkan calon buyernya bernama Jan Pieter Van de Bosch yang dibawa oleh seorang berbahasa kita bernama Mujitaba. Tapi mereka bertengkar di aula. Lalu kembali ke tambak dan menghilang," terang Syafei masih ketakutan.
"Mujitaba, dari kelompok Lanun Hitam? Kamu nggak tahu dia pimpinan penjahat?"
Syafei menggeleng.
"Ada orang lain yang tahu soal pertemuan mereka?"
"Nahkoda kapal pinisi yang tadi pagi bertolak ke Tanjung Jakarta, Bapak Arif Zainuddin, mantan nahkoda kapalnya," jawab Syafei.
"Ini sudah kriminal besar Kapten. Ini komplotan yang tidak ingin  pemerintah Nusantara tahu dan melakukan apa saja untuk melindungi bisnis kotor mereka," kata Raya.
"Banyak korban. Aku kontak Tanjung Jakarta. Aku menyesalkan Arif tidak segera melapor. Atau dia tidak menyangka," kata Cynthia.
Pukul 11 siang bantuan dari Tanjung Jakarta datang dengan kapal cepat, sebanyak tiga peleton tentara bersenjata lengkap. Gubernur Benyamin Hamid ikut ke lokasi didampingi komandan Tanjung Jakarta Komodor Yasin.
Dua peleton menyisir ke pulau dengan jip dan sepeda motor. Satu peleton menjaga dermaga, memperkuat pemukiman.
"Satu prajurit gugur Dan, satu luka-luka. Kami Juga menemukan satu prajurit dalam tubuh hangus di atas menara dan dua lagi di pemukiman," lapor Daud.
Gubernur datang bersama dua orang ahli zoologi laut memeriksa tubuh mahluk yang tak bernama itu. Mereka menggeleng kepala.
"Harusnya ini hewan laut, tetapi ini bisa berjalan di darat mereka seperti punya paru-paru sekaligus insang. Kami belum pernah menemukan hewan ini hingga perbatasan areal Nusantara, sepertinya datang dari luar," ujar Dinda Marzuki, salah seorang bilog laut. "Capitnya keras bisa mematahkan batang pohon kelapa, kami temukan sepihannya."
Bagus, Purbaendah dan Raya mendengar dengan seksama dari dekat. Maurizia juga menyimak dari jauh sambil menghibur teman barunya, Farid.
"Apa ada informasi soal badai besar, mahluk itu bisa jadi dihanyutkan badai. Bukankah kemungkinan badai besar dan dengan bulan yang besar? Aku berpikir mahluk itu tadinya memangsa Ikan QQ dan mereka mencium keberadaannya di pulau ini," celetuk Zia.
"Memang kerap ada badai dari utara melanda laut di utara. Ada suatu gugus pulau yang pernah diduga lokasi habitat Ikan QQ selain habitat yang dihuni para siren itu wilayah yang kerap dilanda badai. Jaraknya 10 ribu kilometer dari pulau terutara kita, Pulau Komodora atau 15 ribu kilometer dari Tanjung Jakarta," tutur Komodor Yasin.
"Sudah ada pernah ke sana?" tanya Bagus.
"Satu kapal kita pernah hilang dalam pelayaran di sana, lima puluh tahun lalu. V-Cakrawala menemukan sepuluh awak masih hidup. Mereka bilang badai mampu membalikan kapal. Sejak itu ekspedisi resmi tidak ada ke sana."
"Tambak itu di mana? Apa ada yang ke sana?" Zia menyela lagi.
Komodor Yasin menepuk pundaknya. "Terima kasih kamu pintar sekali."
Dia menghubungi seseorang dari ponsel virtualnya. "Kapten Jonathan kamu sudah di tambak Kwik-Badilah?"
"Siap Komandan. Iya, kami menemukan Bapak Kwik dan Bapak Badillah di dalam ruang pendingin tewas. Mereka dikurung di dalam. Ada dua mayat hangus seperti ditembak sinar api, penjaga tambak Ikan QQ ini. Tambaknya sendiri kering."
"Apa lagi yang kalian lihat?"
"Ada banyak potongan daging manusia dan kambing berserakan dengan darah berceceran. Masih baru. Dari bajunya tampaknya dari kelompok Lanun Hitam pimpinan Mujitaba, yang kita cari sejak lama!" papar Kapten Jonathan.
"Berarti masih ada tambak yang belum dikuras karena dijaga?" Zia dengan berani bertanya.
"Siapa dia Dan? Tapi pertanyaannya bagus, ada tiga ratus meter dari sini terlindung terpal dan banyak ceceran darah ke sana? Kopral Yayan, Pratu Ali dan Pratu Nyoman baru hendak memeriksa ke sana?"
"Panggil mereka mahluk itu masih banyak di situ, mereka sedang menyantap QQ!" teriak Zia.
Komodor Yasin sebetulnya tahu bahwa diperintah orang bukan siapa-siapa itu lancang. Tetapi dia segera sadar, Zia bermaksud baik. Naluri tentaranya membenarkan usulan Zia
"Tarik mereka Kapten! Siapkan senjata!"
Dari layar virtual itu Komodor Jasin memperhatikan video live yang diarahkan ke tambak yang ditutup terpal biru. Tampaknya beberpa mahluk melompat keluar, Pratu Ali dan Pratu Nyoman nyaris dimangsa, kalau tidak sepuluh anak buah Kapten Jonathan memuntahkan peluru-peluru api
Mahluk berbentuk campuran udang dan kepiting itu terdorong, satu terluka berat, satu lagi hanya terluka ringan berhasil meraih Kopral Yayan dengan capitnya. Tubuh serdadu terpotong dua.
Anak buah Kapten Jonathan menembakan roket dan menghancurkan satu mahluk. Yang lain membunuh satu mahluk lain dengan tembakan beruntun.
"Cepat pergi dari sana! Mahluk itu terlalu banyak, kita perlu bantuan udara!" Komodor Yasin begitu khawatir.
"Pak, Kak Zia dan dua temannya naik sepeda terbang!" kata Farid menangis.
"Tiga cewek gila. Aku suka! Aku suka!" teriak Kapten Daud.
"Kau tidak cegah? Seharusnya kau lebih cepat dari mereka!" bentak Komodor Yasin,
"Canggihan sepeda mereka Dan! Mereka punya perisai"
Yasin menangguk. "Bukan kamu saja. Aku juga mulai suka!"
Kanaya, Yura dan Zia tiba ke areal tambak dalam berapa menit menembak dari atas membuat satu mahluk hancur menjadi sepihan dan satu lagi yang mendekati posisi Kapten Jonathan tewas dengan tubuh penuh lubang. Sementara di darat satu mahluk lagi dihancurkan roket.
Tiga sepeda itu melayang terus menembak satu mahluk lagi mati, satu lagi terluka tetapi yang terluka itu dibunuh tentara. Sayangnya, satu mahluk berhasil menerkam seorang serdadu dan mencabiknya.
Dengan geram Kanaya, menukik vertikal dari atas menembak di ubun-ubun mahluk itu dan mati, cairan kental hijau keluar seperti air mancur. Semua terekam virtual di video walau kadang terganggu layarnya.
"Good Job!" Komodor Jasin kagum.
Sementara seorang serdadu kakinya dipijak kaki seekor mahluk itu. Yura turun dan menembak dari samping, mahluk itu terlontar ke samping dan matanya terluka.
Yura menyambar tangan serdadu itu dan ikut memboncengnya. Tepat ketika mahluk itu menyerang Yura menghidupkan perisai dan mahluk itu terlontar kedua kalinya.
Ketika terlontar itu Kapten Jonathan menembakan roket dari peluncur yang tadinya dikendalikan seorang serdadu. Serdadu itu sendiri gugur dilempar potongan kayu runcing oleh mahluk itu.
Yura kemudian melarikan serdadu yang terluka itu, sementara Zia dan Kanaya menghadang dengan menembak bertubi-tubi dari ketinggian dua meter dari tanah memberi kesempatan bagi tentara untuk mundur dengan motor dan jip.
"Kami mulai kehabisan peluru, dua mahluk lagi sudah binasa, masih ada lagi!" Â seru seorang serdadu.
Tepat sebelum berapa peluru terakhir ada yang melayang dari atas Manuk Dadali kecil menembakan peluru-peluru api besar, sejumlah mahluk hancur sekalian.
'Made dan Robin datang!" Raya beteriak histeris.
Komodor Jasin tercengang. "Ya, mereka saya kasih tahu tadi."
Kanaya dan Yura pun segera mundur. Mahluk yang mengejar dihajar dari atas, lokasi itu sudah penuh serpihan tubuh mahluk dan tubuh manusia darah merah bercampur lendir hijau.
Dari perut Manuk Dadali kecil keluar sepeda terbang juga dikendarai Jumhana menyambar seorang prajurit yang terluka. Kemudian bersama-sama meninggalkan lokasi. Manuk Dadali dari atas terus menembak bertubi-tubi menghancurkan sebanyak mungkin mahluk.
Dari video virtual yang dikirim ke Bagus diperlihatkan sejumlah mahluk kembali ke laut. Apalagi dua V-Cakrawala muncul membom lokasi itu.
Pabrik itu ikut terbakar.
Manuk Dadali dan V-Cakrawala kembali ke Teluk Jakarta. Komodor Yasin dan Kapten Daud memberi hormat. Bagus melihat asap membumbung dari kejauhan pulau yang lebarnya lima belas kilometer itu tandanya api begitu besar.
Lima belas menit kemudian Zia, Kanaya dan Yura yang membawa seorang serdadu yang patah kakinya kembali dengan tepuk tangan. Serdadu itu langsung ditolong. Namanya Pelda Yogi Braja disalami Komodor Yasin. "Kau berhutang nyawa tampaknya dengan gadis itu!"
"Siap Dan! Aku bisa dipateni mahluk itu, kalau dia tidak menyambar!"
"Kita kirim kapal selam kita buat mengusir mahluk itu dari perairan kita!" geram Komodor Yasin.
Siang itu mereka diangkut ke Tanjung Jakarta. Mereka dijamu oleh Komodor Yasin. "Pertempuran berat, enam anak buahku gugur. Empat di antaranya tidak utuh lagi. Lima luka-luka. Kerugian terberat. Jadi kita hadapi dua musuh. Lanun Hitam dengan komplotan orang asing itu, serta mahluk alien itu."
Berita di televisi virtual segera ramai dengan berita ini. Presiden Alya Malahayati memerintahkan angkatan laut siaga. Namun aktivitas masyarakat belum dibatasi karena ancaman baru terbukti di belahan utara Pulau Cendani. Itu pun sudah diatasi.
"Bagaimana ekspedisi ke Kota Mahameru besok?" bisik Bagus pada Raya.
"Komandan meminta Kapal Pati Unus mengantar kita. Kebetulan mereka berpatroli melewati rute itu. Yang ikut Kamu dan Purbaendah, Letnan Robin, dan Subarja. Kanaya dan Yura dan Zia juga ikut.
Masalahnya Farid nempel terus dengan Zia. Seluruh keluarganya tewas di pinisi itu. Gubernur dan Komandan mengizinkan asal hanya sampai di Kota Mahameru. Dia sudah menghubungi Wali Kota Mahameru untuk menyiapkan orang menjaga Farid.
"Siapa saja yang ikut nanti, kau kan pimpinan ekspedisi?" tanya Robin.
"Made dan Serda Reda, Jumhana, Â Mak Eti tetap di Tanjung Jakarta. Tadinya aku hanya mau Kanaya. Tapi Kanaya dan Yura itu tampaknya satu paket. Zia aku pikir dibutuhkan karena pengetahuan dan naluri ternyata sangat dibutuhkan."
"Repot memang. Zia dan Farid kini satu paket."
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H