Kanaya, Yura dan Zia stabil mengemudikan sepeda bertenaga baterai matahari ini. Zia mengenakan hijab yang dibuat khusus untuk air juga membawa ransel kedap air untuk pakaian ganti. Begitu juga Kanaya dan Yura membiarkan baju mereka basah, dan mereka juga bawa baju ganti di dalam ransel.
Tanpa terasa sudah sejam mereka di laut, tetapi Pulau Cendani makin jelas di mata.
"Muke gile, tiga cewek itu nggak ada capek-capeknya," kata pelaut bernama Firdaus.
"Mempertahanan dialek Betawi?" ujar Bagus.
"Ialah memelihara tradisi," kata Firdaus.
Nahkoda kapal pinisi namanya Tubagus Ismail turun dari tempatnya menunjuk sesuatu yang tak jauh dari kapal kepada Kapten Daud.
Bagus, Purbaendah, Raya, Cynthia yang juga ada di dek ikut terperangah. Pecahan kayu bertebaran di laut. Juga tiang sebuah pinisi.
"Astagfirullah, ada apa ini?"
Tampak seorang anak laki-laki berusia enam atau tujuh tahun memegang pecahan kayu cukup besar agar terapung dengan ketakutan. Bukan karena hanya sekadar takut di laut, tetapi ada sesuatu yang mengejarnya.
Beberapa mahluk berbentuk ular berwarna hitam bertotol putih dengan tiga sirip di setiap sisi dan ekor mirip ikan sepanjang tujuh meter meter dengan diameter 50 hingga 70 cm. Ikan itu melompat di atas air menuju anak itu.
Seorang pria dari kapal pecah itu berdiri di atas papan, tetapi belum sempat dia mengukuhkan pijakannya, mahluk itu meloncat menyambarnya. Begitu jatuh dikunyah ramai-ramai. Air laut berwarna merah, tanda sudah banyak dimangsa.