"Siap Dan! Aku bisa dipateni mahluk itu, kalau dia tidak menyambar!"
"Kita kirim kapal selam kita buat mengusir mahluk itu dari perairan kita!" geram Komodor Yasin.
Siang itu mereka diangkut ke Tanjung Jakarta. Mereka dijamu oleh Komodor Yasin. "Pertempuran berat, enam anak buahku gugur. Empat di antaranya tidak utuh lagi. Lima luka-luka. Kerugian terberat. Jadi kita hadapi dua musuh. Lanun Hitam dengan komplotan orang asing itu, serta mahluk alien itu."
Berita di televisi virtual segera ramai dengan berita ini. Presiden Alya Malahayati memerintahkan angkatan laut siaga. Namun aktivitas masyarakat belum dibatasi karena ancaman baru terbukti di belahan utara Pulau Cendani. Itu pun sudah diatasi.
"Bagaimana ekspedisi ke Kota Mahameru besok?" bisik Bagus pada Raya.
"Komandan meminta Kapal Pati Unus mengantar kita. Kebetulan mereka berpatroli melewati rute itu. Yang ikut Kamu dan Purbaendah, Letnan Robin, dan Subarja. Kanaya dan Yura dan Zia juga ikut.
Masalahnya Farid nempel terus dengan Zia. Seluruh keluarganya tewas di pinisi itu. Gubernur dan Komandan mengizinkan asal hanya sampai di Kota Mahameru. Dia sudah menghubungi Wali Kota Mahameru untuk menyiapkan orang menjaga Farid.
"Siapa saja yang ikut nanti, kau kan pimpinan ekspedisi?" tanya Robin.
"Made dan Serda Reda, Jumhana, Â Mak Eti tetap di Tanjung Jakarta. Tadinya aku hanya mau Kanaya. Tapi Kanaya dan Yura itu tampaknya satu paket. Zia aku pikir dibutuhkan karena pengetahuan dan naluri ternyata sangat dibutuhkan."
"Repot memang. Zia dan Farid kini satu paket."
Irvan Sjafari